Seminggu berlalu sejak insiden buku dan Kevin masih juga belum menyapa Ruby. Di rumah, biasanya Kevin akan menyapanya, meski hanya sekedar memanggilnya 'hei' sebagai ganti kata 'permisi' saat Ruby menghalangi jalannya. Atau percakapan-percakapan kecil tidak berarti lainnya.
Bahkan, dia tidak pernah keberatan mengingatkan Ruby untuk makan malam, meski itu juga karena mama Ruby meminta tolong padanya. Namun, setidaknya saat Kevin memanggilnya untuk makan malam, dia masih memanggilnya dan berbicara padanya, bukannya hanya mengetuk pintu kamarnya, lalu pergi begitu saja. Seperti tadi.
Tidak. Ini salah. Seharusnya Ruby yang bersikap dingin pada Kevin, dan bukan sebaliknya. Memang, sikap Kevin selama tinggal di rumah Ruby tidak bisa dikatakan manis, tapi tidak juga sedingin kali ini. Kini, bahkan setiap kali mereka berpapasan, entah itu di rumah ataupun sekolah, Kevin tidak menatap Ruby. Seolah Ruby tidak ada. Invisible.
Jika dipikir-pikir, bukankah ini yang Ruby inginkan? Kevin yang menjaga jarak dan tidak menyeret Ruby dalam masalahnya. Jadi, alih-alih memikirkan sikap dingin Kevin, Ruby akan menganggap ini sebagai keberuntungannya. Ini tepat seperti yang dia inginkan.
Dengan pikiran positif itu, Ruby akhirnya benar-benar mengalihkan pikirannya dari Kevin dan mulai fokus dengan tugas Matematika pertamanya tahun ajaran baru ini.
***
"Tidak mengerjakan tugas! Suka terlambat! Sering membolos! Selalu tidur di kelas! Kamu ini niat sekolah atau tidak, Kevin?!" Suara marah Pak Iwan, sang Guru Matematika, membahana di ruang kelas. "Kamu itu Ketua Kelas, tapi tidak ada tanggung jawabnya sama sekali!" lanjut Pak Iwan.
Jika Ruby ada di posisi Kevin, dia pasti sudah akan menangis karena malu dan kecewa pada dirinya sendiri. Namun, tidak dengan Kevin. Cowok itu tampak cuek berdiri di depan Pak Iwan, seolah semua yang dikatakan Pak Iwan hanyalah angin lewat.
"Kevin!" bentak Pak Iwan. "Apa kamu mendengarkan?!"
Kevin berdecak, dengan malas menatap Pak Iwan, masih tak mengatakan apa pun.
"Kamu ... apa orang tuamu tidak mengajarimu sopan santun?!" Pak Iwan meledak.
Seketika tatapan Kevin berubah menjadi dingin. Lalu, dengan nada yang sama dinginnya, dia berkata, "Nggak mengerjakan tugas, suka terlambat, sering membolos, selalu tidur di kelas. Ya, sejauh ini cuma itu yang bisa saya kerjain di sekolah. Tapi bahkan meskipun saya nggak niat sekolah, saya terpaksa harus berangkat ke sini, kan? Jadi, kenapa Bapak nggak keluarin saya aja dari sekolah ini? Dan lagi, saya sama sekali nggak tertarik dengan kelas ini. Saya bukan orang yang ngerti tanggung jawab."
Kalimat terakhir Kevin menohok Ruby. Ruby tahu Kevin memang sama sekali tidak tertarik untuk bertanggung jawab atas kelas ini, tapi mengatakannya seperti itu, mau tak mau mengingatkan Ruby bahwa dialah satu-satunya yang mengatakan itu pada Kevin di hari pertama mereka di kelas ini. Seolah itu belum cukup, Kevin masih melanjutkan,
"Kalau Bapak udah selesai, Bapak bisa hukum saya. Keluar kelas? Nggak ikut pelajaran Bapak selama seminggu? Dua minggu? Sebulan? Atau ... sepanjang tahun? Oke, saya keluar."
Dan begitulah, lalu Kevin meninggalkan kelas. Meninggalkan kesunyian yang mencekam di sana, sementara wajah Pak Iwan sudah memerah karena marah.
"Ini benar-benar keterlaluan," geram Pak Iwan seraya memberesi buku-bukunya, lalu dengan langkah marah, guru Matematika itu meninggalkan kelas.
Ruby menghela napas berat sementara murid kelasnya mulai ribut.
"By, sekarang gimana?" Dina menatap Ruby cemas.
"Menurut lo?" sinis Ruby. "Ini kesalahan Kevin. Jadi, dia sendiri yang harus beresin masalah ini. Bukan kita yang bikin masalah. Tapi Kevin."
"Tapi, Kak Kevin kan murid kelas ini," Dina keukeuh.
"Dan semoga bisa segera keluar dari kelas ini," sengit Ruby seraya bangkit dari kursinya. Mengabaikan keterkejutan Dina, Ruby meninggalkan kelas, menuju ruang guru.
Yah, setidaknya jika Kevin tidak ada di kelas ini, Ruby tidak perlu terus-menerus melihatnya atau menerima sikap dinginnya yang belakangan entah mengapa sedikit mengusiknya. Ruby menyimpulkan, semakin jauh Kevin darinya, justru semakin baik.
***
"Ini bukan pertama kalinya, Ruby. Tahun lalu dia juga seperti ini. Bahkan kali ini lebih parah. Tadi dia juga sudah menerima surat panggilan untuk orang tuanya. Jika kejadian ini terulang lagi, dia akan dikeluarkan dari sekolah. Apa kamu tega melihat temanmu dikeluarkan dari sekolah?" Bu Anez berusaha menjelaskan alasan kenapa Ruby harus membantu Kevin memperbaiki sikapnya di sekolah, dan juga prestasi dan absensinya.
"Teman-temanmu bilang, rumah kalian dekat. Kalian tinggal di komplek yang sama, kan? Apa tidak bisa, kamu mampir ke rumahnya setiap pagi, mengajaknya berangkat bersama, lalu pulang sekolah kalian belajar bersama? Kamu juga tahu kan, Kevin jadi seperti ini sejak mamanya meninggal. Kevin tidak bisa seperti ini terus.
"Dulu dia juga murid yang baik. Tapi setelah mamanya meninggal, dia jadi seperti ini. Bahkan teman-teman dekatnya tidak bisa melakukan apa pun karena Kevin tidak mau mendengarkan mereka. Setidaknya saat ini, teman-temannya bisa menjaga Kevin agar tidak terjebak dalam kehidupan yang lebih parah di luar sana. Tapi mereka tidak bisa membantu tentang prestasi dan absensinya.
"Jika seperti ini terus, tidak sampai semester awal berakhir, dia pasti akan dikeluarkan. Tapi Ibu rasa, kamu bisa membantunya, Ruby. Ibu percaya, kamu pasti bisa. Karena itu, tolonglah bantu Kevin, ya?" Bu Anez menatap Ruby penuh harap.
Ruby tahu lebih baik dari siapa pun tentang apa yang menimpa Kevin tahun lalu. Bagaimana dia memberontak pada papanya, bagaimana dia selalu bertengkar dengan papanya, dan bagaimana Kevin tampak sangat membenci papanya. Ruby bisa mengerti jika Kevin kecewa, tapi jika sudah sampai sejauh ini, Ruby tidak bisa lagi bersimpati padanya. Ini adalah jalan yang dipilih Kevin.
Menjadi seperti ini, berjalan sejauh ini, ini pilihannya. Dia sudah cukup besar untuk mengerti apa yang baik dan buruk untuk dirinya, tapi dia tetap memilih jalan ini. Jadi, kenapa harus Ruby yang membereskan semua masalah yang diperbuat Kevin?
Ruby sendiri tidak pernah bisa hidup dengan tenang sejak Kevin tinggal di rumahnya dan menjadi troublemaker di sekolah. Ruby tidak akan keberatan jika Kevin yang tinggal di rumahnya adalah Kevin yang pintar dan bertanggung jawab. Namun, saat ini, orang yang berada di rumahnya adalah Kevin yang selalu membuat masalah.
Tahun kemarin, Om Vino sudah dua kali datang ke sekolah karena ulah Kevin. Ini adalah panggilan ketiga, mungkin terakhir. Karena setelah ini, Ruby yakin, Kevin benar-benar akan dikeluarkan dari sekolah. Meski begitu, Ruby mengangguk menyetujui permintaan Bu Anez. Toh pada akhirnya dia tak akan sempat melakukan itu karena Kevin akan terlalu sibuk membuat masalah dan berusaha membuat dirinya sendiri ditendang keluar dari sekolah.
***
"Om Vino kapan pulang?" Ruby memberanikan diri memulai percakapan saat mereka hanya tinggal berdua di meja makan.
Kevin menatap Ruby sekilas, lalu menenggak habis air putih di gelasnya dan bangkit dari kursi, tanpa menjawab pertanyaan Ruby.
"Lo udah kasih tau ke Om Vino kan, tentang surat panggilan itu?" Ruby menuntut.
"Bukan urusan lo," sahut Kevin dingin, sebelum meninggalkan ruang makan.
Ruby mendengus tak percaya. Apa Kevin benar-benar ingin dikeluarkan dari sekolah? Baiklah, itu tidak akan merugikan Ruby. Namun, jika sampai orang tua Ruby, dan juga Om Vino tahu, bahwa Ruby juga tahu tentang surat panggilan itu tapi tidak mengatakan apa pun pada mereka, sama saja dengan Rubylah penyebab Kevin dikeluarkan, jika nanti Om Vino tidak datang ke sekolah karena tidak menerima surat panggilan.
Meskipun Ruby ingin Kevin segera meninggalkan sekolah, atau lebih tepatnya, meninggalkan hidupnya, dia tidak ingin menjadi penyebab anak itu dikeluarkan. Dia tidak butuh tambahan rasa bersalah yang menyebalkan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Introduction of Love (End)
Teen FictionDear, you... Kenapa aku tak bisa berhenti memikirkanmu? Kenapa aku selalu mengkhawatirkanmu? Kenapa aku merasa sakit jika melihatmu terluka? Kenapa jantungku berdegup kencang saat berada di dekatmu? Ketika kau ada di sampingku, aku merasa tenang. N...