"Gosh!" desis Ruby tak percaya ketika dia kembali masuk ke kamar Kevin tanpa mengetuk pintu. Di depannya, Kevin yang sepertinya baru selesai mandi, dan sedang sibuk memeriksa punggungnya di depan kaca, kontan berbalik dan langsung memakai kaos, menutupi lebam di punggungnya.
"Lo tuh emang ..."
"Lo digebukin orang atau apa, Kev?" gumam Ruby kesal seraya menghampiri Kevin.
"Bukan urusan lo," desis Kevin seraya berjalan ke tempat tidurnya, menabrak bahu Ruby dengan sengaja saat melewatinya.
Menyadari penolakan Kevin, Ruby tidak lantas meninggalkan kamar. Justru, dia mengikuti Kevin dan duduk di tepi tempat tidur Kevin.
"Lo mau ngapain lagi, sih?!" Suara Kevin meninggi.
Ruby tak menjawab, dan akhirnya menurunkan kotak obat yang tadi dibawanya di sebelahnya. Tadinya dia berniat mengabaikan Kevin, tapi dia tak tega juga membiarkan Kevin begitu saja setelah melihat luka-luka Kevin. Maka di sinilah dia berakhir.
"Sini," ucap Ruby seraya membuka kotak obatnya. "Biar gue obatin luka lo."
"Nggak perlu," tolak Kevin pedas.
Mengabaikan penolakan Kevin, lagi, Ruby menarik lengan Kevin. Karena Kevin tak siap dengan serangan Ruby, dia jatuh berbaring di dekat Ruby. Ketika Kevin berusaha bangun, Ruby menahan bahunya.
"Kalau lo ngelawan terus, ntar gue bangunin Mama biar Mama yang ngobatin lo. Sekalian biar Mama nginterogasi lo semalaman," ancam Ruby, otomatis menghentikan penolakan Kevin.
Dengan hati-hati, Ruby mulai mengobati luka-luka di wajah Kevin. Dia tahu Kevin pasti kesakitan, tapi dia sama sekali tak protes ataupun bersuara.
"Lo boleh nangis kok kalau emang sakit," Ruby berbaik hati menyarankan, yang dibalas Kevin dengan dengusan kasar. "Makanya ... kenapa juga lo pake berantem gini?" omel Ruby seraya menekan memar di pipi Kevin, membuat cowok itu melotot kesal ke arahnya.
"Udah selesai. Tinggal tangan lo," ucap Ruby kemudian.
Kevin beranjak duduk. Dengan patuh, dia mengulurkan tangan kanannya yang terluka ke arah Ruby, membiarkan Ruby mengobatinya.
"Bukan gue yang mulai," Kevin tiba-tiba berkata.
Ruby mendongak dari tangan Kevin. "Apa bedanya? Lo sampai luka kayak gini. Nggak peduli siapa pun yang mulai, lo juga pasti salah, kan?"
Kevin tak membalas kata-kata Ruby.
"Temen-temen lo itu ... apa lo harus ikut mereka berantem kayak gini?" keluh Ruby.
"Bukan mereka yang ngajak gue," balas Kevin.
"Kalau lo emang mau berubah, lo harus bisa nentuin temen lo, Kev. Lo nggak bisa ..."
"Udah gue bilang, bukan karena mereka!" bentak Kevin.
Ruby menatap Kevin dan menyadari ketidaksukaan cowok itu jika ada yang membicarakan teman-temannya seperti itu. Ruby tidak akan bicara seperti tadi jika teman-teman Kevin ...
"Lo juga nggak suka punya temen munafik, kan?" ucap Kevin kemudian. "Gue juga. Gue nggak suka punya temen-temen munafik. Dan temen-temen gue itu, mereka nggak cuma jadi temen gue pas gue ngasih contekan ke mereka waktu ujian aja. Bahkan saat semua orang ngejauhin gue, nyalahin gue, cuma ada mereka di samping gue.
"Mungkin mereka emang nggak sepinter elo, nggak serajin elo, dan kadang suka buat masalah. Tapi, mereka nggak pernah ninggalin gue sendiri. Bahkan masalah hari ini juga, seandainya nggak ada mereka, mungkin gue udah terluka lebih parah lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Introduction of Love (End)
Teen FictionDear, you... Kenapa aku tak bisa berhenti memikirkanmu? Kenapa aku selalu mengkhawatirkanmu? Kenapa aku merasa sakit jika melihatmu terluka? Kenapa jantungku berdegup kencang saat berada di dekatmu? Ketika kau ada di sampingku, aku merasa tenang. N...