"Kevin!" Seruan keras Ruby membuat seluruh pengunjung kafe kontan menoleh ke arahnya. Namun, mengejutkan Ruby, mereka semua justru langsung tersenyum ketika melihatnya. Ruby bahkan tidak mengenal mereka. Sementara pemilik nama yang diteriakkannya tadi, tampak sangat terkejut.
"Ruby, lo ... ngapain lo di sini?" Kevin mendadak panik ketika dia menghampiri Ruby.
Ruby menatap Kevin kesal. "Harusnya gue yang tanya, apa yang lo lakuin, bikin gue keliatan bodoh gitu di depan lo?" sengitnya.
"Gue nggak ngerti apa maksud lo," ucap Kevin.
"Kenapa lo nggak bilang kalau lo ikut tawuran itu karena ... astaga, Kevin, lo percaya kalau mereka bakal nyulik gue atau nyelakain gue?" Ruby menatap Kevin tajam.
Kevin menatap ke belakang Ruby, ke arah Aga dan Reno, lalu dia mendesah berat. "Sori karena gue ngelibatin lo dalam masalah gue, tapi ..."
"Apa lo udah gila?" potong Ruby tajam. "Lo bisa aja celaka gara-gara hal nggak penting kayak gitu, lo tau nggak sih?!"
"Trus, gue harus diem aja dan ngebiarin mereka ngelibatin lo lebih jauh lagi, bahkan nyelakain lo?" balas Kevin gusar.
Ruby mendengus tak percaya. "Kalian ini gangster atau apa, sih? Apa mereka berani ngelakuin tindak kriminal sejauh itu? Ngehancurin masa depan mereka cuma buat ..."
"Ya! Mereka bakal ngelakuin itu! Mereka bakal ngelakuin apa pun yang mereka suka sampai mereka puas! Masa depan mereka toh udah hancur, anyway. Cuma masalah waktu sampai mereka bener-bener ngehancurin hidup mereka. Karena itu, gue harus ngelakuin itu kalau nggak mau lo celaka." Kevin menatap Ruby lekat, tak ada keraguan dalam kata-katanya.
Ruby agaknya terkejut karena Kevin tiba-tiba berteriak padanya seperti tadi. Tak tahu harus berkata apa lagi, Ruby berbalik dan bergegas meninggalkan tempat itu. Entah kenapa, dia merasa semua orang di sana mengenal Kevin. Mungkin, mereka semua teman-teman Kevin, orang-orangnya, anggotanya, atau apa pun itu namanya.
"Ruby!" Kevin menyerukan namanya. Lalu, Ruby merasakan Kevin menggenggam tangannya erat. "Sori karena gue ngelibatin lo sampai sejauh ini. Gue juga nggak tau kalau mereka bakal make lo buat alasan. Sori ..."
Ruby memejamkan matanya. Setidaknya, bisakah Kevin menjelaskan semua ini pada Ruby? Kenapa dia membiarkan Ruby mengatakan hal-hal yang kejam tentang teman-temannya, dirinya, padahal yang mereka lakukan adalah berusaha menghindarkan Ruby dari orang-orang yang mungkin akan mencelakainya? Kenapa Kevin membiarkan Ruby tampak begitu bodoh di depannya? Seolah selama ini tidak cukup. Seolah semua penghakiman Ruby tentangnya selama ini tidak cukup ...
"Ruby, gue bener-bener minta maaf. Gue janji mereka nggak bakal ganggu lo. Gue ..." Kalimat Kevin terhenti begitu berdiri di depan Ruby, dan melihat mata Ruby yang berkaca.
"Kenapa lo nggak bilang sejak awal? Kenapa lo selalu bikin gue ngerasa bersalah?" Suara Ruby bergetar. "Dan gimana kalau sampai lo celaka gara-gara tawuran itu? Lo pikir gue nggak khawatir? Lo kan pinter, Kev, bisa nggak sih, cari cara yang lebih cerdas? Mereka punya orang tua, sekolah, toh polisi juga ada. Lo bisa kan, minta bantuan ke orang-orang itu? Kenapa lo harus nantang bahaya kayak gitu?" Ruby tak dapat menahan air matanya.
Kevin terpaku tatkala melihat Ruby menangis di depannya. "Ruby ... gue ... sori ..." Kevin terbata, sebelum dengan kaku tangannya terulur, menghapus air mata yang jatuh satu-persatu di pipi Ruby.
"Sori ..." Berkali-kali, hanya itu yang dia ucapkan.
***
"Besok lo nggak keluar, kan?" tanya Kevin saat mereka sudah duduk bersisian di ayunan taman komplek.
KAMU SEDANG MEMBACA
Introduction of Love (End)
Fiksi RemajaDear, you... Kenapa aku tak bisa berhenti memikirkanmu? Kenapa aku selalu mengkhawatirkanmu? Kenapa aku merasa sakit jika melihatmu terluka? Kenapa jantungku berdegup kencang saat berada di dekatmu? Ketika kau ada di sampingku, aku merasa tenang. N...