"Kamu udah dikasih foto copy catatan pelajaran selama seminggu kemaren sama Kak Kevin?" tanya Dina saat dia menghampiri Ruby di jam istirahat di hari pertama Ruby masuk setelah sakit.
Ruby menoleh pada Dina, mengangguk. "Kok lo tau kalau Kevin ..."
"Dia pinjam catatanku," sela Dina, tampak geli. "Aku sempat kaget waktu dia pinjam buku catatanku kemaren. Tapi abis dia bilang kalau itu buat kamu, aku sadar, dia mungkin nggak se-trouble yang kita pikir."
Ruby mendengus. "Liat aja ntar. Dia juga pasti bakal buat masalah lagi."
"Tapi seenggaknya kan, dia udah sedikit berubah, By," bela Dina. "Buktinya, dia udah ngerasa bersalah karena selama ini udah buat kamu susah. Kalau bukan karena ngerasa bersalah, ngapain coba dia mau repot-repot pinjam catatan ke aku?"
Ruby mengedikkan bahu. "Manusia nggak bisa berubah semudah itu. Lagian, elo sama sekali nggak kenal Kevin."
Dina meringis. "Tapi, selama seminggu kemaren dia juga ngerjain tugas-tugasnya sebagai ketua kelas. Seminggu kemaren, hampir nggak ada anak-anak yang rame meski kelas kosong. Soalnya, Kak Kevin bilang kalau dia sampe dihukum sama guru disipliner gara-gara kelas ribut, Kak Kevin bakal ngehukum anak-anak satu kelas."
Ruby terlongo tak percaya mendengarnya. "Ngapain dia mau repot-repot ngelakuin itu?" gumamnya.
"Dan dulu pas minggu pertama di kelas, pas kita abis dimarahin Pak Ronald, kan anak-anak nggak ada yang berani bikin ribut dan keluar kelas. Cuma pada ngobrol sendiri-sendiri. Soalnya diperingatin Kak Kevin, tuh. Alasannya sih, waktu itu dia mau tidur, jadi jangan ada yang berisik. Tapi berkat itu, nggak ada yang berani bikin ribut." Dina tersenyum geli.
Ruby mengerutkan kening. Kenapa Kevin mau melakukan semua itu? Karena yang Ruby tahu, Kevin bukan orang yang akan berubah dengan mudah. Jadi, kenapa dia melakukannya?
***
Baru beberapa hari Ruby masuk sekolah, dia sudah harus disibukkan dengan persiapan lomba debat bahasa Inggris yang diselenggarakan salah satu universitas di kota itu. Di tengah kesibukannya, dia masih harus mengurus kelasnya. Tepat seperti dugaannya, Kevin tidak akan berubah dengan mudah.
Kevin mungkin hanya terpaksa harus mengurus kelas selama seminggu Ruby tidak masuk karena Bu Anez. Setelah Ruby kembali masuk sekolah, Kevin kembali dengan kebiasaan lamanya; tidur di kelas, tidak mencatat, tidak mengerjakan tugas. Dan Ruby harus melakukan semua itu untuknya.
Sementara itu, Ruby hanya punya waktu sekitar dua minggu sebelum kompetisi debat yang akan diikutinya sementara rekan setimnya masih belum ditentukan oleh Bu Anez karena dia tidak ikut latihan sejak hari pertama empat hari lalu. Latihan kali ini juga, Ruby harus membuat semua materi untuk first, second dan third speaker timnya, sembari melatih adik-adik kelas yang baru pertama ikut kompetisi debat tahun ini.
Memenangkan perdebatan melawan adik-adik kelas bukan hal yang patut Ruby banggakan, karena dia masih kewalahan ketika harus melawan teman-teman dari klub bahasa Inggris yang sudah sama berpengalaman dengannya.
"Ruby, tahun ini kamu sama anak baru, ya?" pinta Bu Anez ketika Bu Anez masuk ke ruang klub bahasa Inggris dengan setumpuk koran berbahasa Inggris di tangannya.
"Saya nggak ikut latihan pertama bukan karena bolos, Bu. Kenapa saya harus dihukum gara-gara sakit?" keluh Ruby.
Bu Anez tertawa kecil seraya meletakkan tumpukan koran di meja Ruby. "Kamu sendirian saja masih bisa mendebat adik-adik kelasmu. Rekan setimmu mungkin anak-anak baru di klub, tapi mereka cukup bagus."
"Kalau mereka setara Dekha atau Irin, saya nggak keberatan, Bu," Ruby menyebutkan dua speaker terbaik di klub.
Bu Anez tersenyum geli sementara teman-teman Ruby mencibir.
"Lo mau maju ke kompetisi nasional?" ledek Lita.
Ruby menyeringai. Pasalnya, tim debat terbaik di klub bahasa Inggris adalah tim Ruby, Dekha dan Irin. Tahun kemarin mereka bahkan berhasil mengalahkan tim kakak kelas mereka dan meraih juara dua di tingkat provinsi. Itu pun karena mereka mendapat topik yang sulit, dan kebetulan mereka mendapat bagian negative team (tim yang kontra dengan topik debat) yang sama sekali tidak menguntungkan untuk topik itu. Seandainya saat itu mereka mendapat bagian positive team (tim yang pro dengan topik debat), Ruby yakin, mereka pasti bisa meraih juara satu di kompetisi itu.
"Timnya Ruby dari kelas berapa, Bu?" tanya Dekha penasaran.
"Sebentar lagi juga pasti datang. Tadi Ibu sudah minta dispensasi ke kelas mereka," jawab Bu Anez enteng.
Ruby mengangguk seraya mengambil koran di tumpukan teratas. Dia urung membaca koran di tangannya ketika pintu ruangan klub terbuka dan dua murid yang sudah dikenal Ruby masuk. Ruby melongo selama beberapa saat ketika melihat Dina dan Kevin.
"Dina dan Kevin mendapat nilai esai bahasa Inggris tertinggi saat ujian tengah semester kemarin," Bu Anez menjelaskan, seolah itu perlu. "Nilai Dina sama kayak Ruby dan nilai Kevin bahkan lebih tinggi dari Ruby," lanjut Bu Anez, disambut gumaman kagum anggota klub lainnya.
Ruby mendengus tak percaya ketika menatap Kevin. Lagi? Anak itu? Sungguh, tak bisakah Kevin pergi saja dari hidup Ruby? Saat ini, hal yang paling disesali Ruby adalah memaksa Kevin tinggal di sekolah ketika dia begitu ingin pergi dari sini awal tahun ajaran baru lalu. Seandainya saat itu Ruby mengabaikan rasa bersalahnya ... seandainya dia bisa ...
"Dina, Kevin, kalian satu tim dengan Ruby. Nanti Ruby yang akan mengajari kalian. Hari ini kalian berlatih dengan Ruby dulu, besok baru latihan dengan tim lainnya," Bu Anez berbicara pada Kevin dan Dina.
Dina mengangguk, dan Ruby bisa melihat keengganan Kevin dengan jelas. Ruby tak mengerti, kenapa Bu Anez terus memaksa Kevin melakukan hal-hal yang tidak anak itu inginkan? Tahukah Bu Anez bahwa Ruby yang harus menderita karenanya?
"Ibu tinggal dulu, ya? Hari ini kalian berlatih dengan topik dari koran itu. Ambil topik yang menurut kalian bisa kalian pakai, lalu pilih tim lawan kalian. Tiga puluh menit cukup, kan?" instruksi Bu Anez, membuat ruang klub ramai dengan erangan protes. Ruby bahkan tak sanggup protes lagi setelah mendapat Kevin dan Dina sebagai rekan setimnya.
Ruby tidak akan terlalu keberatan dengan Dina, tapi Kevin?
Sebenarnya, Ruby tidak akan sebegini terganggu jika Dina dan Kevin hanya bergabung di klub sebagai anggota, bukan sebagai tim Ruby. Dia toh sudah pernah berjanji pada Om Vino untuk mengajak Kevin ikut ekskulnya, meski klub ini bukan sekadar kegiatan ekskul. Hanya saja, tidak seperti ini juga.
"By," panggil Dina yang sudah duduk di sebelah Ruby, sementara Kevin dengan cueknya duduk di seberang meja Ruby.
Ruby menghela napas berat.
"Kenapa kamu nggak ngomong sama Bu Anez?" tanya Dina hati-hati. "Kalau kamu nggak mau satu tim sama aku?"
Ruby kembali menghela napas. Bukan Dina masalahnya. Dan bukannya Ruby juga tidak mau mengatakannya. Dia hanya tidak bisa.
"Kalau gue ngomong gitu ke Bu Anez, setelah Bu Anez ngasih tau alasan kenapa Bu Anez milih kalian, menurut lo, apa yang bakal anak-anak klub pikir tentang gue? Gue yang sombong dan nggak mau kalah? Gue nggak keberatan dengan julukan itu di luar kelas. Tapi nggak di klub ini," sinis Ruby. "Tapi asal lo tau kalau gue nggak terlalu setuju dengan anggota tim gue, itu udah cukup. Jadi, jangan buat masalah selama lo ada di tim gue."
Dina tak membantah dan hanya mengangguk. Ruby bergerak pelan di tempatnya, merasa sedikit tidak enak pada Dina karena kata-katanya tadi. Sebenarnya, dia menujukan kata-kata itu pada Kevin. Sementara orang yang dimaksudkan Ruby masih secuek sebelumnya, sama sekali tak merasa ataupun peduli.
Menyerah, akhirnya Ruby memutuskan untuk mulai menjelaskan tentang debat dan peraturan-peraturannya pada kedua anggota baru timnya. Karena Ruby tahu dengan sangat baik, membuang waktu dengan menyesali nasib tidak akan mengubah apa pun.
***
Dear Beloved Readers,
Satu lagi surprise buat kalian. 😉
Ditunggu ya, surprise-surprise lainnya.. And thanks a lot buat support kerennya.. 😘Love,
Ally Jane
KAMU SEDANG MEMBACA
Introduction of Love (End)
Fiksi RemajaDear, you... Kenapa aku tak bisa berhenti memikirkanmu? Kenapa aku selalu mengkhawatirkanmu? Kenapa aku merasa sakit jika melihatmu terluka? Kenapa jantungku berdegup kencang saat berada di dekatmu? Ketika kau ada di sampingku, aku merasa tenang. N...