8

796 61 14
                                    

"Kau lupa cara mengetuk pintu, ya?" Camila menatapnya tak percaya. "Katanya dewasa tapi tak tahu sopan santun. Bagaimana bila aku sedang telanjang? Kau mau tanggung jawab?"

Taylor tak menjawabnya, malah langsung berjalan ke arahnya dengan tatapan tajam yang terarah tepat ke dalam mata coklatnya. Camila panik.

"Taylor, kau mau apa?" ia bertanya dengan nada panik. "Taylor..."

"Jangan pernah mencoba untuk merusak karirku dengan tingkah konyolmu." Taylor memegang bahunya dengan erat, matanya tak berpindah dari mata sang adik. "Jangan membuat Tn. Jauregui membenciku karena kau."

"Woah, woah, woah... tenanglah." Camila melepas tangannya perlahan, berdiri tegak menghadapnya. "Calon atasanmu itu takkan membenciku hanya karena celanaku yang robek. Lauren juga sering mengenakan celana seperti ini, dan jangan lupa bahwa dia itu seorang bos jadi dia pasti tahu fashion itu seperti apa."

"Bukan soal itu, bodoh." Taylor memutar bola matanya, membuat adiknya bingung. Kalau bukan karena itu lalu karena apa?

"Aku tak tahu maksudmu, Taylor. Dan sebenarnya aku juga tak peduli, jadi sekarang keluarlah dari kamarku dan bersihkan pikiranmu." Camila mencoba mendorongnya tapi gadis berkaki panjang tersebut menghentak tangannya.

"Jangan pikir kau bisa membodohiku." Taylor menggertak giginya, kesal di suaranya. "Aku tahu kau punya hubungan spesial dengan Lauren. Kau pikir..."

"Apa? Kau bergurau, ya? Aku tak punya hubungan apa pun dengan Lauren. Kau berkhayal..." ia mencoba menjelaskan tapi gagal.

"Kau mungkin bisa membohongi orang lain, tapi aku tak termasuk." Taylor melanjutkan maksudnya. "Aku tak buta untuk melihat itu, Camila."

"Oh, ayolah. Kau ini benar-benar tak waras." Camila mendesah, menggeleng tak percaya. "Aku bahkan baru saja dekat dengannya. Lagipula, apa yang membuat kau bisa berpikir sekonyol itu?"

"Aku melihat semuanya. Dari cara kau menatapnya dan cara dia menatapmu." Taylor memberitahunya. "Saat di meja makan aku melihat dia selalu melirik ke arahmu. Dan itu cukup untuk menjelaskan bahwa kalian berdua memang memiliki hubungan."

"Apa? Kau... kau serius?" Camila bertanya, ingin kepastian dari hal tersebut. "Maksudku, bila aku menatapnya itu wajar karena dia cantik dan sudah jelas aku menyukai wanita. Tapi apa benar dia melirikku? Dia bukan lesbian seperti aku."

"Jangan pura-pura bodoh, Camila. Aku tahu." Taylor menegaskan.

"Tidak, tidak. Kau salah paham, Tay." Camila berubah lembut, membuat saudarinya bingung. "Kami tak punya hubungan apa-apa." ia menegaskan. "Tapi apa benar yang tadi kau katakan? Apa dia benar melirikku?"

"Ya. Tadi aku mengobrol dengannya dan kulihat matanya selalu terarah padamu. Tapi saat tertangkap, dia berusaha menyembunyikannya. Kalian berdua pasti berusaha menyembunyikan hubungan kalian, 'kan?" ia menjelaskan, menciptakan senyuman lebar di bibir Camila. "Kenapa kau tersenyum seperti itu?"

"Kau yakin?" Camila bertanya penuh harap, dan Taylor mengangguk pelan, mulai sedikit ragu dengan pemikirannya.

"Tunggu, tunggu. Jadi maksudmu, kau berdua tak pacaran?" Taylor memastikan dan Camila mengangguk. "Lalu yang tadi kulihat itu apa? Kau serius, Camila?"

"Aku serius, Taylor." Camila duduk di ujung kasurnya, meminta saudarinya melakukan hal yang sama. "Kami berdua baru saja dekat dan dia adalah gadis yang selama ini kuceritakan. Gadis yang selalu tak sengaja terkena lemparanku. Apa kau ingat ceritaku dua minggu lalu soal teman sekolahku yang kutolong saat ban mobilnya pecah?"

"Ya. Tentu saja aku ingat." Taylor mengangguk.

"Itu adalah Lauren." Camila memberitahunya dengan girang. Entah mengapa cerita Taylor membuatnya merasa begitu bahagia. "Saat kau bilang dia tak memaafkanku, aku langsung berniat bicara padanya. Dan untungnya dia menerima permohonan maaf dariku. Semenjak saat itu kami berteman."

Coincidence {Camren}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang