Camila mengetuk pintu rumah sahabatnya tiga kali, menunggu dengan sabar sampai pintu tersebut untuk terbuka. Ia membawa sebuah plastik yang berisikan buah dan vitamin untuk sahabatnya yang masih sakit tersebut. Setelah sahabatnya yang lain mengaku tidak bisa ikut untuk menjenguk Selena, ia memutuskan untuk pergi sendirian. Bukannya tak ada orang lain yang bisa diajak untuk pergi, hanya saja ia merasa sahabatnya tersebut akan merasa lebih nyaman dengan sedikit orang yang mengunjunginya dalam keadaan sakit. Setelah membersihkan pikirannya dari gadis bermata hijau yang dalam sejarah, baru hari ini marah-marah dan banyak bicara, ia memutuskan untuk langsung ke rumah sahabatnya dan tak menunggu waktu sampai malam hari. Sekarang ini masih sore, waktu masih menunjukan sekitar pukul 5pm dan Camila telah siaga didepan rumah sahabatnya.
Meski begitu, Lauren belum benar-benar terhapus dari benaknya. Ia merasa bersalah. Akibat dari kelakuan konyolnya, seseorang harus berubah menjadi orang lain. Lauren yang tak pernah marah sama sekali menjadi pemarah dalam sehari karnanya dan itu artinya gadis pendiam tersebut bukan lagi dirinya sendiri. Hal terakhir yang Camila inginkan adalah memaksa atau mengubah seseorang menjadi orang lain yang tidak seharusnya. Ia tak pernah ingin hal itu terjadi dan selalu menganggap hal terbaik yang perlu dilakukan adalah menjadi diri sendiri. Itulah yang selalu ditanamkan orang tuanya sejak ia kecil. Tak perlu berubah untuk disukai, tak perlu sempurna untuk dicintai, cukup menjadi diri sendiri yang apa adanya dan suatu saat Tuhan akan menunjukkan seseorang yang pantas dan mencintai kita apa adanya.
Pintu yang dari tadi tertutup akhirnya terbuka dan Camila disambut oleh ibu Selena yang langsung memberikannya senyuman hangat dan memeluknya. Wanita paruh baya tersebut menyuruhnya agar langsung naik ke kamar putrinya dan Camila menurut. Ia juga tak keberatan sama sekali karna tak terlalu tertarik untuk mengobrol dengan orang dewasa. Mereka selalu saja menasehati remaja; bilang tak boleh begini, tak boleh begitu, suka menyalahkan zaman dan tak pernah sadar bahwa zaman dulu dan zaman sekarang sudah sangat jauh berbeda. Menggeleng kepalanya, ia berlari ke kamar sahabatnya yang sudah tak asing lagi bila mengingat keduanya sering menghabiskan waktu bersama.
Ia mengetuk pintu kamar sahabatnya dan memanggil namanya namun tak ada jawaban. Memberanikan diri untuk membuka pintu tersebut, ia hanya mendapati tempat tidur yang kosong dan tak melihat tanda-tanda dari sahabatnya. Bukannya seharusnya orang sakit itu berbaring di kasur? Ia menoleh saat mendengar suara pintu yang terbuka dan melihat Selena keluar dari kamar mandi dengan rambut yang basah dan hanya mengenakan handuk. Bisa dikatakan ia baru selesai mandi dan itu membuat Camila bingung.
"Hei, sejak kapan kau berada disini?" Selena menyapanya, sedikit terkejut.
"Baru saja." ia mengangguk, menyimpan plastik yang tadi dibawanya diatas meja. "Tak kusangka kau sedang mandi."
"Mengapa ekpresimu seperti itu?" Selena bertanya, menyadari ekspresi aneh sahabatnya. "Apa salah bila aku membersihkan diriku?"
"Bukan begitu. Hanya saja dipikiranku orang sakit biasanya hanya bisa terbaring di tempat tidur, tak mandi, tak makan dan tak sanggup berdiri." Camila mengakui saat Selena mengeringkan rambutnya dengan handuknya yang lain. "Bukannya itu yang membuatmu tak masuk sekolah hari ini?"
"Well, sebenarnya aku tak benar-benar sakit." Selena berjalan menghampirinya dan berdiri dihadapannya. "Aku hanya sedang tak ingin keluar dan tak ingin bertemu beberapa orang, kau tahu?" ia mengangkat bahu dan membuat handuk di dadanya sedikit bergesar kebawah hingga belahan payudaranya sedikit terlihat. Seketika mata Camila langsung melotot.
"Kau, um... kau tak ingin bertemu seseorang? Siapa?" Camila berusaha menenangkan dirinya sendiri agar tak terhipnotis pemandangan tersebut, matanya masih menetap ditempat yang sama. Selena terkikih, menyadari apa yang diperhatikan sahabatnya.
"Jangan bertingkah seakan kau belum pernah melihat ini sebelumnya, idiot." Selena mencubit pipinya, dan saat tangan dingin tersebut menyentuh kulitnya, Camila sadar akan apa yang masih dilihatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Coincidence {Camren}
FanfictionTidak semua orang percaya pada kebetulan yang dapat mengartikan sesuatu. Meski tidak selalu. Kebetulan adalah salah satu hal yang terkadang membuat seseorang menjadi dilema dan bimbang akan perasaannya. Kisah anak sekolah dengan karakter yang sanga...