Kesialan

1.8K 499 20
                                    

"Tak satu pun manusia yang ingin hatinya tersakiti. Percayalah, rasa sakit itu tidak bisa dibagi."


***

Hari ini rasanya seluruh jiwa dan raga Rainy tidak berisi. Perasaan seperti ini biasanya muncul ketika mendengar Abbey punya pacara baru. Namun kali ini rasanya itu dipenuhi ketakutan hingga tidak nafsu makan serta tidak enak tidur. Penyebabnya juga bukan karena Abbey, tapi sebuah buku yang hilang sejak kemarin dan tidak Rain temukan.

"Belum kamu temukan juga?" tanya Sisca. Rainy geleng-geleng kepala. "Sepertinya aku yakin ada yang mencurinya. Aku melihat buku itu di atas meja dan tidak kamu bawa kemana pun," tekan Sisca. Sudah kesekian kalinya Sisca mengucapkan kata-kata itu. Namun masalahnya, manusia sejenis apa yang betapa kurang kerjaannya sampai mencuri buku catatan Rainy? Untuk apa? Lagi pula Rainy itu manusia paling tidak penting di sekolah ini, apa manfaatnya mencuri catatan orang tidak penting ini? Kecuali jika orang itu berniat menjualnya ke tukang rongsokan. Ah, siswa sekolah ini 'kan kaya semua, masa jual barang rongsokan? Mana barangnya hasil mencuri pula.

“Aku takut apa yang aku tulis di sana sampai ke telinga banyak orang," keluh Rain.

Magna mengusap pundak gadis itu. “Semoga tidak ada apa-apa. sejauh ini keadaan sekolah masih aman dan tidak ada keributan," Magna mencoba menenangkan hati Rainy. Namun kata-kata apapun tidak akan bisa menyebuhkan perasaan ini selama buku itu tidak ia temukan. "Memang kamu menulis apa di buku itu?" Magna kembali bertanya. Dia merasa heran karena sebuah buku saja bisa membuat sahabatnya itu urung-uringan. Magna menatap makanan yang sudah tersedia di atas meja kantin. Rainy tidak mencolek satu pun makanan itu.

"Aku menulis tentang perasaanku pada Abbey," ucap Rainya berbisik takut ucapannya terdengar.

"Hah?" Magna dan Sisca tertegun. Keduanya geleng-geleng. Mata berwarna coklat Sisca sampai terbuka lebar. "Kamu itu ceroboh sekali, sih! Hal semacam itu kenapa kamu tulis di sebuah buku yang kamu bawa ke sekolah, sih? Kamu ini memang, ya! Itu sama saja menggali lubang kuburan kamu sendiri!" omel Sisca.

Firasat Rainy benar, ia akan kena omel jika Sisca sampai tahu apa yang ia tulisdi buku itu. "Kamu bayangkan saja apa yang akan terjadi padamu jika sampai Aileen tahu hal ini! Aku yakin kamu tidak akan selamat!" Sisca memberi peringatan yang membuat tubuh Rainy bergetar.

Rain merebahkan kepalanya di atas meja kantin. Pipi tembamnya begitu empuk bersandar di sana. Ingin rasanya Rainy menangis hingga guling-guling di lantai. "Makanya aku takut waktu buku itu hilang. Aku nyari di sekolah sampai kemarin maghrib dan tidak ditemukan juga. Aku takut, Sis! Aku juga malu kalau sampai Abbey tahu. Yakin, aku tidak akan berani memperlihatkan wajahku lagi di depannya," timpal Rainy.

Lain dengan Rain, seisi kantin nampak ceria. Makhluk-makhluk di sana menikmati hari yang sedang cerah. Pagi ini tidak lagi hujan meski ini adalah awal musim. Cuaca masih tidak menentu dan angin berhembus lumayan kecang hingga malam rasanya sangat dingin di tubuh. Bio sempat menjelaskan jika pembentukan awan hujan masih belum sepurna, karena itu seringnya mendung walau tidak hujan. Rain mengetuk-ngetuk kepalanya mengingat hal itu. "Memang apa bedanya awan biasa dengan awan hujan?" pikir Rain. Tidak salah jika Rian sering mengatainya bodoh.

Angin sepoi-sepoi dari arah air mancur di tengah kolam bulat yang tidak jauh dari Rainy, meniup rambut hitam panjangnya pelan. Rain menutup mata. "Aku takut masuk sekolah lagi jika sampai berita menyebar ke telinga Abbey," Rain terisak. Dari semua kebodohannya, baru kali ini Rain merasa paling bodoh. Ibarat senjata makan tuan, buku itu Rainy buat sebagai tempat ia mencurahkan hati. Namun kini berubah menjadi senjata untuk menjatuhkan harga dirinya.

Rain bangkit dari duduknya. Ia berjalan ke luar kantin melalui pintu belakang. Ada semacam aturan di kantin sekolah ini, masuk dari pintu depan dan keluar dari pintu belakang. Anehnya ada saja yang tidak mematuhi. Sisca mengikuti dari belakang, Berkali-kali ia menggelengkan kepala melihat Rain berjalan sempoyongan. Magna lebih memilih kembali ke kelasnya. Sejak ia duduk sekelas dengan Andrian, Magna jadi lebih betah di kelasnya.

"Apa itu ramai-ramai di depan mading?" tanya Sisca melihat kerumuman orang di depan papan pengumuman sekolah yang di simpan di tembok seberang aula. Rain mengingat mimpi buruknya semalam dimana sobekan halaman bukunya ditempel di depan mading. Mimpi buruk yang membuat ia tidak bisa tidur nyenyak dan terjaga semalaman. Pemandangan di depan mading itu terasa buruk di mata Rainy. Ia takut apa yang ada di mimpinya menjadi kenyataan.

Tubuh Rainy bergetar dan keringatnya bercucuran. Terasa kedua kakinya tidak menapak ke lantai. Beberapa orang siswa yang sudah kenyang melihat apa yang tertempel di papan itu mulai meninggalkan tempat. Mereka tiba-tiba tertawa ketika berbalik dan melihat Rainy di sana. Sempurna sudahlah ketakutan di hari Rainy.

Rain berdoa. Mudah-mudahan itu bukan tentang dirianya. Namun harapan itu sirna ketika ia mulai melangkah ke depan papan pengumuman itu dan melihat mata orang-orang di sana menatap sinis kedatangannya. Langkah demi langkah Rainy lewati. Beberapa siswa langsung memberikan Rain ruang agar bisa maju ke depan papan. Terjawab sudah apa yang mengusik pikiran Rain selama ini. Tidak ada info seputar pendidikan dan juga dunia remaja. Kali ini semua sudut dihiasi buku catatan pribadinya yang hilang termasuk catatan tentang perasaannya pada Abbey.

Rain menunduk lesu. Ia sampai mundur beberapa langkah karena kagetnya. Di belakang, murid yang lain tertawa terbahak-bahak menertawakannya. Mereka mungkin tidak mengenali siapa Rainy yang menulis buku itu, tapi pelaku utama penyebar buku catatan itu menempel foto Rainy di sana. Seingat Rain, itu foto yang dulu di pajang di selembaran pengumuman remedial.

Tangan Rain dengan gemas menarik semua bagian buku catatannya yang tertempel di mading. Sisca membantunya. Satu per satu halaman ia remas dan ia kumpulkan di tangannya.

“Bahayanya orang gak pernah ngaca itu begitu!” ledek salah satu diantara mereka. Rain tak menggubrisnya. Namun Sisca tidak tinggal diam. Ia mengusir semua siswa itu hingga di sekitar mading kosong hanya bersisa mereka berdua. Rain memukul papan mading itu dengan kesal lalu menangis sambil berjongkok dan menyandarkan jidatnya di tiang penyangga papan besar itu.

Sisca mengusap punggung Rainy. Ia bingung bagaimana ia bisa menyebuhkan luka gadis itu karena ia tahu seisi sekolah akan menggunjingkannya. Mungkin Rainy juga akan menjadi bulan-bulannanya Aileen. Akan lebih baik jika sampai waktu yang tidak bisa ditentukan, ia menjadi tameng untuk sahabatnya itu. "Kita bakar kertasnya, yuk. Pinjam korek ke anak kelas IPA," ajak Sisca. Rainy menggeleng. Ia sudah cukup malu hingga tidak ingin pergi memperlihatkan wajahnya pada orang-orang.

My rainy season (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang