Biar Hujan Memilih

1.5K 492 16
                                    

Angin itu selalu mengarah ke ruang hampa udara

Mungkin itu alasannya mengapa kamu begitu dekat ketika cintaku hilang, lalu lenyap ketika cintaku menggebu

***

Rain masih bimbang akan sesuatu. Iya sudah memastikan diri tidak ikut trip sekolah. Namun sama sekali tidak memikirkan untung dan rugi untuk statusnya sebagai anggota OSIS.

Beberapa kali Rain sempat bertanya pada Sisca dan Magna walau hasilnya nihil. Mereka berdua memberikan saran yang sama, "Telpon Rian saja. Tanya sendiri."

Padahal Rain sudah berusaha untuk tidak berhubungan dengan Rian lagi. Masalah melihat pria itu dengan Maura masih melekatkan rasa perih di ulu hati. Namun akhirnya Rain memberanikan diri.

"Ini siapa?" Ketika telpon diangkat, yang terdengar malah suara perempuan. Walau tidak mengenali suara itu, Rain yakin itu pasti Maura. Rain berpaling ke arah jam dinding. Sudah pukul sepuluh malam dan mereka masih bersama. Sepertinya sejak awal firasat Rain sudah benar, menghubungi pria itu malah semakin menorehkan luka. Seperti belati yang tertancap lalu didorong semakin dalam menembus jantung.

"Bisa bicara dengan Rian?" tanya Rain dengan terbata-bata.

"Kamu siapa?" todong wanita itu membuat Rain ciut sendiri.

"Aku anggota OSIS yang waktu itu kirim dokumen ke rumahnya. Ada sesuatu yang harus aku tanyakan tentang masalah OSIS," jelas Rain.

"Tunggu!" jawabnya ketus.

Ingin rasanya Rain membanting ponsel jika bukan ingat harganya yang mahal. "Mereka memang pasangan yang pas, ketusnya sama," omel Rainy dalam hati.

Cukup lama Rain menunggu hingga akhirnya ia bisa mendengar suara Rian. "Maaf, ini siapa?" tanya Rian.

Rain mendengus. Bahkan nomor Rain saja tidak Rian simpan. Sekarang ia semakin merasa mendapat penjelasan akan statusnya di mata Rian. "Ini Rainy," jawab Rain singkat dengan nada sewot.

"Ouh, Ada apa Rain?" tanya Rian.

Rainy mulai mengatur napas untuk menyusun kalimat yang pas. "Itu, soal trip. Sepertinya aku tidak ikut. Apa tidak masalah?" tanya Rainy.

"Iya, tidak masalah. Lagi pula itu kegiatan bebas dari sekolah. Bukan hanya kamu saja yang tidak ikut," jawab Rian.

Rain memutar bola matanya. "Bahkan dia sama sekali tidak mencegah!" batin Rain. Terdengar suara Rainy membersut. "Ok, terima kasih banyak," timpal Rainy lalu menutup telpon.

***

"Ok, lanjut!" komando Sisca. "Kamu dan Rian tidak mungkin seperti ini terus, kan? Kamu masih punya kesempatan." Sepertinya dibandingkan pelaku utama, Sisca lebih bersemangat.

"Kesempatan apa? Rian itu sudah punya pacar. Bahkan wanita itu Maura. Sementara aku? Hanya seperti ini," tolak Rain.

Sisca menggelengkan kepala. Tidak ia sangka, gadis keras kepala yang dulu bisa begitu sabar menyukai Abbey hingga sulit dinasehati, kini semangat percintaannya lebih pendek dari pohon toge.

"Aku dengar katanya mereka putus." Sisca sempat mengorek-ngorek informasi dari Naldi dan hasilnya, Naldi bilang Rian akhirnya putus dengan Maura.

"Buktinya tadi malam aku telpon, ia sedang bersama Maura." Sebenarnya Rain tidak yakin jika itu Maura. Ia hanya menebak. Kalaupun bukan, Rian pasti sudah punya pacar lagi.

"Bahkan saat aku telpon dan bilang aku tidak ikut, dia biasa saja. Dia juga tidak menyimpan nomorku. Dari situ sudah jelas, aku tidak ada artinya untuk dia," tekan Rain.

Kelas saat itu masih sepi sehingga mereka bisa bebas membahas hal ini. Sisca mengetuk-ngetuk meja dengan jarinya. Tidak lama ponselnya berdering. "Tuh, pacar kamu menelpon lagi!"

"Biarkan dulu!" Sisca melotot. "Lepas dari itu, saat penutupan acara pensi kemarin dan kamu pulang lebih dulu, Rian sempat bertanya," ungkap Sisca.

Rain memalingkan muka. "Jelas, dia pasti mencari jika anggota OSISnya pergi sebelum acara berakhir," tandas Rain.

Sisca mencubit gadis itu hingga memekik kesakitan. "Dengar dulu! Aku sempat bilang kalau kamu sakit dan jelas dia terlihat khawatir. Bahkan meminta agar aku menemanimu di rumah," lanjut Sisca.

Bahkan Rainy masih bertahan dengan egonya. "Dia hanya kasihan. Bahkan dari dulu ketika ia peduli padaku, itu hanya rasa kasihan," tekan Rainy. Buktinya jika Rain tidak mengalami kemalangan, Rian biasa saja.

Sekali lagi ponsel Sisca berdering dan masih terlihat nama Naldi muncul di layar. "Lihat! Pacar kamu sudah manggil dari tadi! Daripada mengurus hal tidak penting, lebih baik kamu pergi padanya."

"Kan aku sudah bilang biarkan! Sekarang lebih penting bagaimana cara kalian bisa dekat." Sisca sama kerasnya.

"Tidak," tolak Rain. Dia bukan Melly yang masih nekat mengejar Naldi walau sudah tahu jika Naldi milik Sisca. "Kamu mana tahu rasanya ditolak laki-laki. Bahkan pertama kali jatuh cinta saja, Naldi langsung kamu miliki."

Sisca memegang pundak Rain. "Dengar! Kali ini ada aku yang bantu kamu. Dulu mungkin pada Abbey aku tidak setuju, tapi aku lihat peluang dari Rian. Pokoknya kamu harus maju. Kamu harus ikut ke London dan dekati dia di sana," tekan Sisca.

"Ikut ke London? Kamu gila, ya? Aku mana punya uang. Tante dan Oom tidak akan mengizinkannya," tolak Rainy.

"Semua dokumen biar aku urus. Magna juga siap bantu. Pokoknya aku mau kamu ikut." Lagi-lagi Sisca memaksa.

"Kalau ternyata gagal? Aku tidak mau membuat pengorbanan kalian sia-sia."

"Karena kita ini satu paket, Magna, aku dan kamu. Ingat waktu tahun lalu kita ke KL tanpa kamu, itu sangat membosankan. Kalaupun gagal, yang penting kali ini kita liburan bersama kamu." Sisca mengusap rambut Rainy.

"Aku bingung ...."

"Kenapa?" tanya Sisca.

Rain menunduk. "Kenapa kalian begitu banyak berkorban untukku, sih? Aku ini bukan siapa-siapa, kan?" tanya Rainy.

Sisca menepuk lengan Rain. "Kita keluarga. Kenapa kamu bilang bukan siapa-siapa?"

Rain menggeleng. Tanpa ia sadari air matanya mengalir. Mendengar kata keluarga seakan membuka luka yang sudah mulai terjahit. "Bahkan Ayahku saja menganggapku tidak berharga. Kenapa kalian semua begitu baik padaku?" tanya Rain lagi.

Sisca memeluk Rainy. "Kita bersama bukan baru satu atau dua bulan. Kita kenal dari kelas satu SMP. Selama itu kita selalu saling berbagi."

Rain mengangguk. Ia tidak ingin menghancurkan harapan Sisca. Namun tentang Rian memang tidak akan mungkin.

"Kalian lagi main drama?" tanya seseorang membuat Rain dan Sisca berpaling ke arah pintu. Keduanya menghembuskan napas lega ketika melihat Magna di sana. Magna berjalan mendekati keduanya. Ketika melihat air mata di pipi Rainy, Magna langsung bingung.

"Kamu kenapa?" tanya Magna. Rain menggeleng. Magna mencubit gemas pipi Rainy. "Jangan bilang kamu menangis karena ayah kamu lagi."

Rain menggeleng. "Aku sudah bilang padanya untuk ikut ke London," ucap Sisca.

Magna lagi-lagi mencubit pipi tembam Rain. "Ikut! Kalau tidak aku tidak mau lagi bicara padamu!" ancamnya.

Rain berpikir sejenak kemudian ia mengangguk.

My rainy season (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang