Pertemuan Pertama

4.3K 740 68
                                    

Jodoh itu bisa ditemukan dimana saja, bahkan di dalam angkot. Namun karena tidak diberi label, kadang bisa tertukar.

***

"Geser!" suara bass itu terdengar begitu kasar. Rain yang 'diusir' terpaksa mengiyakan 'permintaan' laki-laki yang memiliki rambut coklat bermodel fringeitu. Ia mengenakan seragam bermodel sama dengan Rain, sepertinya mereka memang sekolah di SMA yang sama. Pantas saja nada bicaranya agak songong, dia pasti salah satu murid kaya di SMA itu. Namun mengapa laki-laki ini naik angkot?

Akhirnya Rain menggeser kedudukannya lebih jauh ke dalam angkot. Meskipun yakin laki-laki itu sudah ia berikan cukup ruang, Rain masih mendapat perlakuan kurang menyenangkan. Dia tak bisa duduk tenang dan grasak-grusuk berusaha mengeluarkan sesuatu dari kantong celananya. Sikutnya sempat menyenggol lengan Rain dan sama sekali tak ada kata maaf terucap dari mulut layaknya orang yang sudah berbuat kesalahan.

"Mobilnya kenapa dek?" Pak sopir sedikit mengintip lewat spion tengah.

"Gak tahu, mati," jawabnya. Namun mata coklat itu sama sekali tak beralih pada lawan bicara. "Dia tak punya sopan santun," pikir Rain. Ketika bicara pada orang tua ada baiknya dia menatap mata orang tua tersebut dengan tatapan lembut, bukannya terpaku pada layar gadget dan menjawab dengan nada datar - malah lebih terdengar seperti tak niat menjawab.

Syukurlah pak sopir lebih pengertian dan memilih melanjutkan perjalanan. Bagi Pak Sopir yang sudah berusia puluhan tahun, pasti bukan sekali atau dua kali bertemu dengan anak-anak jaman now yang keracunan budaya angkuh akibat terlalu banyak berinteraksi di media sosial.

Tubuh laki-laki ini wangi, wangi lembut tak seperti kebanyakan parfum laki-laki lainnya. Aroma yang mendominasi tapi tidak menganggu hidung. Adrian Bailey Caerleon, nama itu tertulis di badge yang disematkan di dada kanan blazer hitamnya. Nama yang cocok dengan wajah putih bersinar dan licin bak guci keramik. Hidungnya mancung dan sedikit bulat dibagian puncaknya. Bahkan dari pinggir terlihat jelas hidungnya seperti Gunung Everest.

Rain memeluk tas coklat yang ia beli sebulan lalu. Sesekali ia berbalik untuk melihat pemandangan dari jendela dibelakangnya. Rambut hitam yang panjangnya sudah sesikut itu tertiup angin karena jendelanya sedikit terbuka. Beberapa helai rambutnya ternyata sempat menempel di wajah pria di sampingnya itu. Rain yang menyadarinya cepat-cepat mengikat rambut, tapi terlambat karena si pria sudah membuka kelopak mata besar-besar dan menunjukkan tanda merasa terganggu.

"Maaf." Senyuman tersungging di bibir tipis Rain yang berwarna merah muda. Pria itu hanya berbalik dan masih memasang tampang masam seakan tak menghargai kata maaf yang Rain ucapkan. Rain tidak heran, kebanyakan murid di sekolah Rain memang kurang memiliki rasa empati. Harga diri mereka tersimpan jauh di atas bulan saking tak ingin hilangnya.

Angkot itu berhenti tepat di depan gerbang hitam tinggi. Aura kekakuan sekolah itu terasa bahkan hingga ke tepi jalan. Ini salah satu sekolah termahal di kota kelahiran Rain. Tak heran jika sedari tadi banyak mobil mewah melewati gerbang. Sepertinya hanya Rain yang turun dari angkutan umum. Ouh, laki-laki menyebalkan ini juga!

"Ini, Mang!" Rain memberikan empat lembar uang dua ribuan sebagai ongkosnya. Jarak dari sekolah ke rumahnya memang lumayan jauh sehingga ongkosnya pun lumayan mahal. Belum lagi Rain naik angkot di jam-jam sibuk sehingga banyak angkot yang penuh akan penumpang.

Lancangnya seseorang menarik tas baru Rain hingga gadis ini hampir terjungkal. Rain berbalik dan menemukan tangan pria yang duduk di angkot bersamanya sudah berada tepat memegang tasnya erat-erat. "Bayarin!" titahnya.

Sumpah demi naga yang sering disebut setelah astaga, Rain tak percaya ada anak orang kaya songong memintanya membayar ongkos angkot. Sayangnya dibanding meminta, nada bicaranya lebih seperti memalak. Mendengar itu manusia normal mana yang akan menyetujui. Rain tersenyum licik, ia ingin sekali saja menjahilinya.

"Aku gak mau. Memangnya siapa kamu? Kenal saja tidak," Rain menepis lengan laki-laki itu dari tas coklatnya. Tadinya ia ingin melenggang pergi tapi manusia itu dengan lancangnya memegang tangan Rain dan menahan Rain di sana. Tangannya cukup kuat hingga Rain tak bisa melepaskannya dengan mudah.

"Adrian Bailey Caerleon. Putra pemilik Carestand Internasional. Biar aku jelaskan, perusahaan keluargaku yang memberikan sumbangan untuk sekolah ini, memproduksi bahan pakaian sampai beberapa fasilitas umum!" pamernya. Rain memutar kedua bola matanya karena kesal. Lagipula ia juga tak bertanya darimana asal usul laki-laki ini.

"Kalau memang keluarga kamu sekaya itu, kenapa kamu gak bisa bayar ongkos angkor sendiri? Keluargaku saja yang hanya pegawai negeri masih bisa memberi ongkos pulang-pergi." Rain tak mau kalah.

Beberapa kali terdengar suara klakson dari angkot yang tadi mereka tumpangi. Sopirnya sudah terlihat tak sabar menunggu uang ongkos laki-laki ini yang belum dibayar.

"Dia yang bayar pak!" Laki-laki itu menunjuk Rain kemudian memeletkan lidah. Setelah itu dia berlari meninggalkan Rainy yang masih tercengang melihat perilakunya. Rain mendengus kesal, ia ingin melempar pria itu ke dalam penjara. Sayang dia anak orang kaya.

Dengan terpaksa karena takut menjadi bulan-bulanan tukang angkot, Rain lebih baik membayar yang bukan menjadi kewajibannya. Ongkosnya juga lumayan mahal, kira-kira cukup untuk makan mie spesial di warung makan yang tak jauh dari sekolah.

"Hei, anak pemberi sumbangan!" Rain berlari menyusul pria tadi sekuat tenaga. Karena kaki laki-laki itu yang cukup panjang, Rain agak kesulitan menyusul. Bahkan napas Rain terasa sudah sampai di ujung batas akibat mengejar laki-laki itu.

Tiba-tiba pria itu berhenti kemudian berbalik dan hampir membuat jantung Rain mencelat dari tempatnya. Wajah mereka sangat dekat hingga hanya tersisa jarak sekitar lima senti meter. "Rainy. Hujan deras. Nama kamu aneh!" ledeknya sambil menunjuk hidung Rain menggunakan telunjuk. Sungguh perbuatan yang sangat tidak sopan.

Rain menepis telunjuk itu. "Kelas kamu di mana?" tanya laki-laki itu tak sabaran. Mata Rain berkedip-kedip. "Jawab!" paksanya dengan nada ketus.

Rain menghela napas panjang lalu mendengus karena kesalnya. "Tolong tanya dengan sopan," tekan Rain. Kali ini laki-laki itu menegakkan tubuhnya kemudian berkacak pinggang. Rain mengangkat alis dan menatap laki-laki itu dengan tajam.

"Kelas kamu di mana cantik?" tanya laki-laki itu. Kali ini dengan nada nakal kemudian tertawa puas. Tangan Rain sampai mengepal dibuatnya. Otot-otot tubuh Rain terasa keram tak kuasa menahan amarah.

"11 bahasa 1," jawab Rain galak. Sepertinya memang lebih baik Rain lekas mengakhiri pembicaraan tak berguna ini.

Laki-laki itu mengangguk-angguk. "Nanti jam pulang jangan kemana-mana. Aku akan bayar lunas plus dengan bonus," tekannya. Setelah mengucapkan itu ia langsung berbalik lalu berjalan pergi. Rain mengusap dada. Seumur hidup baru pertama kali Rain bertemu dengan manusia tak tahu rasa berterima kasih semacam ini. Dunia memang semakin aneh. Alangkah lebih baik jam pulang nanti setelah menerima pelunasan hutang dari pria itu, Rain tak bertemu lagi dengannya.

My rainy season (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang