[Chapter 7] Sebenarnya Kenapa Sih?

51 3 1
                                    


Sudah beberap hari berlalu, tapi aku sama sekali tidak melihat Diki di sekolah. Kemana dia? Sudah semenjak hari Minggu kemarin dia absen dan pak Bai (wali kelas Diki) pun tidak mau memberitahuku ketarangan dia absen. 

Apa nii? Mana dia? Sakit? Nggak mungkin, masa' cuma sakit pak Bai nggak mau ngasih tau. 

Seharian aku memikirkan beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan Diki. Tapi tidak satupun dari pertanyaanku terjawab. Bagaimana bisa? Aku hanya memikirkannya seorang diri. Sekarang adalah hari Sabtu. Dan besok hari Minggu. Mungkin Diki besok datang untuk main basket lagi.

Karena tidak sabar untuk besok, aku dengan sabar menunggu bel pulang berbunyi. Dan hanya 5 menit lagi sebelum bel bunyi. Jadi, aku membersihkan barang-barangku dan diam-diam memakai sepatu ke dalam kelas. 

*Kring kring kring* 

Bel sudah bunyi, secepat kilat aku berlari dari kelas ke koridor dan mamaku sudah menunggu didepan koridor. Lalu, dengan girangnya berlari, buka pintu mobil, dan melompat masuk. Sesampai di rumah, papa ternyata udah pulang. Lalu aku salam papa dan berlari ke kamar untuk menyiapkan barang-barangku untuk basket besok.

*****

Minggu, 12. 45 AM

WAH!! Udah jam 12 aja. Aku janji sama adek-adek itu mainnya jam 11! Aduhh, gaswatlah ni. Dengan cepat aku mandi dan makan siangku jadi bekal aja karena udah terlambat. Jadi, aku pamit ke mama dan papa, lalu... LARI!! Dari rumah ke lapangan basket. 

Karena lapangan basket lumayan jauh, jadi sedikit-sedikit jalan terus lari lagi dan berulang. Pas udah sampai ke lapangan basket adek-adek itu. Rian, Radit, dan Roni. Ya betul si 3R, menatapku dengan raut muka yang serius.

"Kak Rana terlambat! Kan kita janjinya jam 11, sekarang udah jam 12! Bang Diki aja datang tepat waktu. Contohlah kami berempat!" Kata Radit.

"Eh? Diki datang?! Mana dia? Dia dat--" tanyaku dengan penuh penasaran.

"Jangan bang Diki dulu. Pikirkan kesalahan kakak dulu!" Potong Roni.

"Iya, 3R. Kakak minta maaf. Tadi kakak bangun kesiangan, tolong dimaklumi. Kakak ini adalah orang yang selalu bangun kesiangan." Jawabku mengakui kesalahanku.

"Itulah, udahlah SMP, OSIS pula lagi! Nggak terlambat datangnya tuh?" Tanya Rian.

"Nggak yaa.. Rumah kak sama sekolah dekat. Nggak dekat kali sih. Tapi, kalau naik sepeda nggak akan terlambat." Jawabku dengan sombong.

"Ya udahlah, daripada lama-lama. Mending kita main lagi, kan semuanya udah datang. Dit, tolong panggilin bang Diki." Ucap Roni.

Dengan teliti, mataku yang sangat lebar mengikuti kemana si Radit berjalan. Selama beberapa saat mataku kehilangan Radit. Sampai dia kembali dengan menarik tangan seorang anak laki-laki. Dan tebakanku adalah si Diki. 

.

.

.

Dan iya, dia dengan tenangnya jalan kearah ku dengan senyuman yang tidak bersalah. Sedangkan aku semakin dekat dia berjalan, semakin nggak bisa diriku ini tenang. 

Karena dia, isi kepalaku masih seperti yang kemarin. Kemana aja dia selama seminggu ini? Ada masalah apa? Kenapa dia bisa begitu tenang? Dan masih banyak pertanyaan yang haus dengan jawaban. 

Badanku penuh dengan determinasi ingin bertanya tapi, aku merasa ini bukan urusanku. Jadi dengan hati berat aku mengambil pernyataannku itu dan bermain dengan hati yang tidak beres.

Ada apa dengan perasaan tidak enak ku ini? Kenapa aku ingin sekali tanya ke Diki? Kenapa aku tiba-tiba menjadi sepenasaran ini?

Sudah jam 4 sore dan kami memutuskan untuk melanjutkannya Minggu depan. Dan Diki mengajakku untuk pulang bersama-sama. Dan karena rasa penasaran ku ini sudah mencapai batasnya, tanpa ragu aku menanya. Dan sepertinya Diki yang akan memulai percakapan.

"Ran, pasti kamu menahan diri untuk bertanya tentang ketidak hadiranku." Ucapnya sambil tersenyum ke aku.

"I-iya sih. Tapi, pertama aku kira ini bukan urusanku untuk masuk urusan orang lain. Jadi aku menolak untuk nanya. Tapi sekarang aku nggak bisa nahan diri karena orangnya udah ada didepan ku. Apa yang terjadi denganmu? Aku khawatir lho kalau misalnya terjadi apa-apa denganmu!" Ujarku dengan muka yang penuh penasaran dan kekhawatiran.

"Oh iya, maaf ya Ran. Aku udah membuatmu khawatir", jawab Diki dengan senyuman yang perlahan berubah menjadi kosong.

"Gimana aku bisa tenang coba?! Sahabatku yang tiba-tiba absen selama seminggu dan sekarang ada didepan mataku." Ujarku lagi dengan emosi yang bercampur.

"Sa-sahabat? Makasih, kalau misalnya kamu menganggapku seperti itu." Jawab Diki yang tersenyum kembali.

"E-eehh maaf, aku keceplosan. Tapi, sebenarnya apa yang terjadi? Nggak apa-apa kok. Aku akan selalu ada disisi-mu." Jawabku kembali.

"Iya, makasih Ran. Rasanya udah bisa tenanglah." Kata Diki yang tiba-tiba gerak-gerik nggak jelas.

Lalu Diki menjelaskan tentang masalahnya satu persatu. Dan tibalah masalah yang paling membebaninya. Dia maupun ayah dan ibunya.

"Jadi Ran, masalah yang paling membebani ku hanya satu." Ucapnya. Dan membuat kupingku semakin tajam.

"Sebenarnya...." Kata Diki.

To be continued..

The Bestfriend Zone ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang