Di teras
depan Gavin sedang bersama Geri—Ayahnya. Hari ini Ayahnya baru pulang dari Bandung, kebetulan Hari ini tanggal merah dan yang lebih senangnya lagi Nino. Dia lah yang yang paling banyak dibawakan oleh-oleh. Satu lemari hanya penuh dengan robot-robotan milik Nino.
Suasana sedang hening, Gavin sedang memainkan ponsel miliknya sambil menyeruput kopi yang ia ambil tadi.
"Vin." Panggil Geri.
"Iya, Yah?" Gavin menyahut, tetapi tatapannya masih pada ponselnya.
"Kamu mabok ya?"
Gavin hampir menyemburkan kopi yang masih penuh di mulutnya itu. Kelopak matanya melebar kaget.
"Astagfirullah, Ayah. Gak baik nuduh anaknya kaya gitu." Gavin mengelus dadanya sambil menggelengkan kepalanya ke kanan dan ke kiri.
"Iya kamu mabok. Buktinya kopi ayah kamu minum." Geri tertawa kecil.
Gavin masih tidak mengerti, bahkan cangkir berisi kopi itu masih ia genggam. 5 detik kemudian ia baru mencerna apa yang baru dikatakan Ayahnya itu. "Eh iya, ketuker hehe." Gavin langsung meletakkan cangkir kopi milik ayahnya dan hanya menunjukkan sederet giginya. "Maaf bos."
"Makanya jangan liatin handphone terus, ada apa sih?" Tanya Geri penasaran.
"Gak ada apa-apa."
"Lagi chat pacar ya?"
"Apa sih Ayah, orang aku gapunya..."
"Halah kamu ini. Oh iya, minggu depan kamu akan Ayah pindahkan ke sekolah teman Ayah. Apa kamu setuju?"
Gavin hanya mendengus malas, "Aku udah pindah dua kali, Yah."
"Itu kan karena pekerjaan Ayah, Ayah janji untuk sekali ini saja kamu tetap di sekolah yang ini sampai lulus."
"Emangnya aku bakal dipindahin ke mana?"
"SMA Pelita. Ayah pastikan kamu akan di sana sampai lulus."
Gavin menelan ludahnya. Nara lah yang pertama kali ia pikirkan.
"Ya udah, aku ke kamar dulu."
Ia berjalan menuju dapur dan membuka kulkas, ia mengambil kaleng minuman. Setelah itu ia membuka kaleng itu dan meminumnya sambil berdiri. Ia menutup kulkas dan segera naik menuju kamarnya.
Sampai di sana, Gavin hanya berdiri di depan jendela kamarnya sambil merenungi perkataan Ayahnya barusan. Sebenarnya ia juga bingung apa yang sedang ia pikirkan. Tetapi pikirannya hanya melayang-layang kepada salah satu gadis. Gadis yang kemarin baru saja diantarnya pulang.
"Apaansi." Decaknya sambil menjambak rambutnya sendiri. Ia melempar kaleng minuman yang sudah habis itu ke tong sampah kecil dekat kasurnya tanpa melihat-lihat.
"Aw!"
Gavin mendengar ringisan Nino. Ya benar saja, lemparan kaleng Gavin salah sasaran.
"Nino? Ngapain di situ?"
"Tau ah, kakak jahat banget sama aku. Baru masuk aja udah dilemparin kaleng." Nino berlari kecil menuju Gavin sambil membalas perlakuan kakaknya itu sambil mencubit keras lengan Gavin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nara [SUDAH TERBIT]
Teen FictionRasa itu yang memulai, rasa itu yang membuat semuanya berbeda, rasa itu yang menemukan kata cinta, tetapi cinta yang dapat mengubah rasa itu. Meskipun Nara belum mengenal cowok itu sepenuhnya, rasa itu mulai ada. Sampai akhirnya ia lebih memilih dia...