Bahari, 2018.
Dear you ....
Aku tidak tahu kapan kamu akan membaca surat ini. Malam atau pagi? Entahlah. Yang pasti, aku menulis ini malam hari, saat bulan lagi tinggi-tingginya dan sayangku lagi dalam-dalamnya kepadamu.
Sebelumnya aku minta maaf kalau aku terkesan lebay, diam-diam menulis surat, diam-diam mengirimnya, diam-diam berharap kamu meluangkan lima menit dari hidupmu untuk sekadar membuka dan membaca surat ini. Dan terakhir, aku juga minta maaf karena diam-diam mendambamu.
Iya, aku mendambamu. Tolong jangan tanya kenapa karena aku juga kebingungan, merelakan banyak waktu memikirkanmu. Sekadar menatap wajahmu atau ucapan salam selamat pagi darimu menjadi suplemen tersendiri buatku. Menurutku, itu adalah satu-satunya kepastian yang paling realistis untuk saat ini.
My dear ....
Malam saat aku menulis surat ini, bulan yang mengantung di angkasa sungguh indah, bulat, besar, dan terang. Kadang aku berpikir, adakah kamu dengar doa-doa yang kutitipkan pada malam dan bulan? Atau kamu justru sibuk mengasuh sayangmu pada nama lain? Ah, terlalu takut aku untuk bertanya, seperti aku juga terlalu takut untuk bilang cinta sambil menatap wajah atau matamu yang teduh. Maka, tertulislah surat ini lewat jemariku yang sedetak dengan harap dan doa yang keterlaluan konyolnya.
Aku tak akan meminta kamu membalas atau bahkan aku pesimis kamu akan membaca surat ini. Meski sejujurnya, aku berkhayal bahwa kamu mau berbaik hati membaca, kemudian menyimpan surat ini di kotak khusus. Hatimu. Lalu, memberinya parfum. Cintamu. Dan kamu akan menjamah saat kamu rindu. Oke, aku berlebihan. Seperti kata lagu, cinta membuat anak kecil menjadi dewasa dan membuat orang dewasa kekanak-kanakkan. Lebih tepatnya, kulucuti semua malu dan harga diriku demi menulis dan mengirim surat ini.
Yang cinta kamu,
W.I