"Makan yang banyak. Biar nggak pingsan lagi."
Indri bergeming. Tidak menghiraukan ucapan ibunya. Pikirannya masih bergumul pada penolakan Andi yang sadis. Laki-laki itu jahat, tetapi Indri masih mau sama dia.
"Mau Ibu suapin?" kata ibunya penuh kasih sayang.
Indri masih bergeming. Andi, kalau saja laki-laki ganteng itu bisa menerima Indri dengan lapang dada, perempuan itu bakal mencurahkan semua perhatiannya hanya pada laki-laki itu seorang. Indri akan menghujani Andi dengan cinta tak terbatas.
"Ibu sengaja beli makanan kesukaanmu." Ibu mengambil piring yang sudah terisi nasi yang disiram semur jengkol. "Biar selera makanmu naik."
Indri tetap tidak bereaksi. Apa yang akan dilakukannya sekarang agar Andi mau menerimanya? Apakah dia harus sujud dan memohon-mohon padanya? Jika dengan demikian Andi akan menerimanya, Indri rasanya akan sanggup melakukannya.
"Soalnya Ibu perhatikan, akhir-akhir ini kamu malas makan," kata ibunya terdengar sedih.
Indri bergerak begitu merasakan elusan lembut di kepalanya. Dia menoleh, menatap ibunya yang tersenyum hangat.
"Maaf kalau Ib--"
"Ibu, aku mau keluar bentar," sela Indri, tidak mau mendengar apa pun perkataan yang akan keluar dari mulut ibunya.
"Mau ke mana kamu?" tanya ibunya khawatir.
"Ke rumah Yeni," jawab Indri berbohong.
Indri langsung beranjak pergi. Tidak mau menunggu persetujuan atau penolakan ibunya. Dia butuh keluar. Mungkin udara malam mampu mendinginkan otak dan hatinya yang masih panas.
Dalam benak Indri, mungkin saja kalau dia tidak dilahirkan, dia tidak akan mengalami semua kejadian yang menimpa hidupnya. Kalau sekarang dia tidak ada di dunia ini, semuanya akan sama saja. Tidak akan ada perubahan. Tidak ada yang dirugikan. Tidak ada yang menghiraukan. Semuanya akan melupakannya. Mungkin ada yang akan merasa sedih sebentar, tetapi orang tuanya, adiknya, bahkan orang-orang lain akan tetap melanjutkan hidup.
Indri merogoh saku celana dan mengambil silet. Ketika dia keluar rumah, perempuan itu sempat mampir ke warung untuk membeli benda itu dan sekarang Indri sedang bersandar di jembatan semen depan gang yang jauh dari rumahnya.
Didekatkannya silet itu pada pergelangan tangan, kemudian dijauhkannya lagi seraya menggeleng-nggelengkan kepala. Berkali-kali Indri melakukan adegan demikian. Jujur, perempuan itu takut mengoreskan nadinya dengan silet, berdarah-darah tanpa ada yang menolongnya lalu mati. Akan tetapi, dia juga ingin mengoreskan benda tajam itu lalu mati.
Mati?
Mengingat kematian, Indri mengingat keburukannya. Melalaikan perintah-Nya dan mendekap larangan-Nya. Ibadahnya masih bolong-bolong.
Melakukan dosa besar bersama Andi, yang tidak diketahui orang-orang, tetapi lupa bahwa Tuhan maha mengetahui.Napas Indri tersendat-sendat. Satu tangannya terkepal erat. Rasa sesak yang menyiksa menggerogotinya perlahan.
"Jangan sibuk mencari kematian karena kematian pasti akan datang!" seru seseorang, membuat Indri tersentak kaget sampai menjatuhkan silet. Perempuan itu menggelus-elus dadanya sambil melirik ke arah asal suara.
Ghani Ramadhan. Tukang bakso keliling langganannya. Mereka sudah saling mengenal dari setahun yang lalu karena Ghani sering melewati jalan ke rumahnya atau mangkal di depan pabrik roti. Hanya perkenalan biasa. Layaknya penjual dan pembeli, tetapi mereka cukup akrab karena sering mengobrol hal-hal biasa. Itu juga karena Ghani yang memulai percakapan. Kalau tidak, bisa dipastikan mereka akan saling membisu sampai transaksi jual-beli selesai.
