Indri meminum teh manisnya sambil melirik ke arah Ghani yang sedang melayani pelanggan. Bibir laki-laki itu tidak bosan tersenyum, membuat hati Indri berdebar-debar meski senyum itu bukan untuknya. Wajahnya juga merona tanpa diminta. Indri menekan dadanya, berharap dengan begitu perasaan senang yang sedang meledak cepat kembali ke posisi biasa saja. Namun, semakin Indri mencoba, semakin tidak berhasil. Perempuan gendut itu menunduk, malu dengan perasaan noraknya sendiri.
Kembali Indri melirik Ghani. Kali ini lirikannya tertangkap laki-laki itu yang langsung mengembangkan senyum, membuat Indri tidak bisa membuang muka. Ini konyol. Sejak kapan memandang senyum Ghani menjadi kegiatan menyenangkan buat Indri?
Jika diperhatikan lebih seksama, tampang Ghani tidak jelek. Malah terlihat lumayan. Meski warna kulitnya sawo matang, tetapi terlihat beda. Tidak kucel apalagi kusam. Wajah Ghani bersih tanpa jerawat. Ada tahi lalat kecil di pipi kirinya. Kedua alisnya tebal. Matanya indah karena dinaungi bulu mata lentik alami. Hidungnya juga pas. Tidak mancung, tidak juga pesek. Bibirnya sedikit tebal, tetapi juga cukup seksi. Indri menggelengkan kepala dan membuang pandangan.
Cukup seksi? batin Indri menjerit. Yak Indri, kamu benaran gila, hah?
Indri berdeham sekali. Mati-matian perempuan berambut singa itu menahan pandangannya untuk tidak menatap Ghani dan menekuri mangkuk baksonya. Melahap isinya yang tinggal tiga butir.
"Kak Ghani, beli baksonya satu dong. Kayak biasa. Nggak pake kecap. Pake mie putih aja." Terdengar suara Susan, membuat Indri mendongak. Adiknya itu baru pulang bekerja.
"Siap bosquuuuee!" jawab Ghani, lalu terkekeh.
Susan ikut terkekeh lalu menghampiri kakaknya yang duduk di teras. Susan mengerjapkan mata heran. Tidak biasanya kakaknya itu mau makan di depan rumah. Kakaknya itu selalu makan di tempat tersembunyi di dalam rumah alias kamar tidurnya atau pojok samping kursi tempat makan yang berada di dapur. Ketika ditanya, jawabannya malu kepada orang-orang yang akan melihat porsi makannya
"Mau nambah, Mbak?" tanya Susan, meletakkan buku notes dan pulpen yang tadi digenggamnya di atas lantai.
"Nggak," jawab Indri pendek.
Keheranan Susan bertambah. Dia menatap lama kakaknya itu. Kemudian menatap sekeliling kakaknya, kali saja kakaknya sudah memakan bakso beberapa mangkuk. Namun, tidak ada mangkuk kotor di sana. Ini aneh. Susan merasa ada yang tidak beres dan akan melakukan penyelidikan segera.
"Dingin banget nggak sih malem ini, Mbak? Nggak kayak biasanya deh." Susan bergidik sebentar lalu memeluk tubuhnya sendiri.
"Makanya beli bakso, kan?" tanya Indri retoris.
"Ini pesanannya." Ghani mengulurkan semangkuk bakso kepada Susan yang langsung diterima perempuan itu. "Dan selamat menikmati." Ghani tersenyum seraya menangkupkan kedua tangan.
Mulut Indri melongo ketika matanya menatap Ghani. Dari jarak dekat, indera penciuman Indri menangkap bau wangi parfum yang dipakai laki-laki itu. Susan menatap Ghani yang tidak beranjak, lalu menatap kakaknya. Mereka ternyata saling memandang satu sama lain, membuat Susan paham apa yang sedang terjadi. Tidak perlu melakukan penyelidikan lagi. Susan sudah tahu jawabannya.
"Ada sawi hijau di pipi kamu," kata Ghani kepada Indri, mengambil sayuran nakal itu.
Seketika wajah Indri memanas dan rasanya seperti terbakar. Ghani yang tidak menyadari itu, tersenyum lebar dan meninggalkan Indri yang perasaannya sudah tak keruan menyenangkan.
"Oh my god!" seru Susan lebay, menatap kakaknya lalu menatap punggung Ghani. "Oh my god!"
Indri tidak bereaksi. Dia menyentuh kedua pipinya dengan pikiran mengembara. Membayangkan padang ilalang yang indah. Bersama Ghani. Berdua saja. Saling mengejar dan menawarkan senyum bahagia.
"Kalian saling suka?" tebak Susan, membuat khayalan indah Indri terputus.
Indri menatap Susan. "Nggak," jawabnya begitu selesai memproses apa yang diucapkan adiknya.
Susan menyipitkan mata, curiga. "Sumpah?"
"I-I-ya," jawab Indri gugup.
"Jangan bohong! Keliatan tahu," tepis Susan tersenyum menggoda.
"Emangnya keliatan?" tanya Indri bodoh.
Susan menuding Indri. "Tuh, kan?"
"Nggak gitu, San?" Indri menggeleng-nggelengkan kepala cepat. Menolak tuduhan adiknya.
Susan mengibaskan rambut panjang smoothing-nya dramatis. "Maksudnya cuma Mbak yang suka, begitu?"
Indri tidak langsung menjawab. Dia menatap punggung Ghani lalu menoleh ke arah Susan lalu menatap punggung Ghani. Begitu seterusnya sampai helaan napas panjang Indri terdengar jelas.
"Kayaknya begitu," kata Indri pelan. "Tapi Mbak belum berani bilang langsung."
Indri menunduk. Setelah pengakuannya saat di Trasa waktu itu, Ghani masih baik kepadanya. Tidak menjauhinya. Komunikasi mereka lancar. Pertemuan mereka juga cukup intens. Sehingga membuat perasaan Indri berubah, membuat pandangan Indri kepada laki-laki itu juga berubah. Ada yang berbeda. Dan Indri tahu hatinya telah menyukai penjual bakso itu.
"Mau aku bantuin ngomong?" tanya Susan yang langsung mendapat gelengan Indri.
Susan mendesah. Dia mengaduk-aduk baksonya malas. Entah kenapa perasaannya menjadi sedih. Mungkin karena tadi Susan berharap ada hubungan spesial antara kakaknya dan Ghani sehingga mereka bisa melanjutkan ke tahap selanjutnya. Dengan begitu dirinya juga bisa mencapai titik yang sama. Pernikahan.
Tanpa Susan sadari, Indri melihat perubahan ekspresi adiknya itu. Rasa bersalah perempuan gendut itu bertambah banyak. Indri tidak suka melihat adiknya murung begitu. Dia menginginkan kebahagiaan adiknya. Bukankah semua kakak juga begitu? Dengan cara apa pun, sang kakak harus bisa membuat adiknya mengembangkan senyum.
Indri membasahi bibirnya yang terasa kering. "Dek, minta kertas sama pinjem pulpennya, ya?"
Tanpa menunggu adiknya menjawab, Indri menyobek buku notes dan membawa kabur pulpen milik adiknya. Perempuan itu masuk ke kamar dan menguncinya. Sayup-sayup Indri masih mendengar adiknya berkata panjang-panjang. Namun, yang tertangkap telinganya hanya kata 'Mbak' dan 'lupa'. Indri juga mendengar gelak tawa Ghani yang langsung membuat hatinya ser-seran. Kini, mendengarkan tawa laki-laki kerempeng itu juga termasuk kegiatan yang menyenangkan bagi Indri.
Indri memposisikan tubuhnya tengkurap di atas kasur. Kertas dan pulpen sudah ada di tangannya. Malam ini, perempuan berambut singa itu akan mengukir perasaannya lewat kata-kata.
