Sebelas

3.2K 219 19
                                    

Indri merasa gelisah. Sudah lebih dari seminggu Ghani tidak merespon atau menyinggung surat yang telah diselipkannya di gerobak bakso. Sikap laki-laki bertubuh kerempeng itu masih seperti biasa. Selalu mengajak Indri bicara, juga mengajaknya jalan-jalan. Jalan ke Pulau Pantai Kodok sampai ke Curug Sanga.

Menurut Indri, hubungan mereka semakin dekat. Pernah Ghani mengandeng tangannya dengan sengaja ketika menyeberang jalan raya. Walau hanya sebentar, ini merupakan kemajuan yang signifikan buat Indri. Ghani juga pernah menyuapinya pisang goreng pemberian Indri. Padahal pisang goreng itu murni untuk laki-laki penjual bakso keliling itu sebagai ucapan terima kasih. Intensitas obrolan mereka meningkat pesat. Bukan hanya secara face to face saja, melainkan saling say hi di sms atau telepon.

"Masuk siang, Mbak?" tanya Susan yang baru bangun tidur. Sepertinya hari ini tidak ada kerjaan. Jadi, perempuan itu malas bangun pagi.

Dengan rasa kantuk yang masih mendera, Susan melihat kakaknya duduk di lantai depan TV. Dia pun menghampiri dan duduk di kursi kayu yang ada di sana. Mata Susan terpejam ketika mencari posisi nyaman dalam duduknya. Dia menyandarkan punggung dan disandarkan kepalanya pada ujung kepala kursi. Membiarkan rambutnya jatuh terayun-ayun karena tertiup angin dari kipas angin yang menyala.

Indri tidak menjawab pertanyaan Susan. Pikirannya masih terpusat pada Ghani. Kalau pukul sepuluh begini, biasanya Ghani sudah berkeliling menjajakan dagangannya atau Ghani masih mangkal di tikungan Banjaranyar. Apa sebaiknya Indri ke sana dan bertanya langsung soal suratnya?

"Ibu mana, Mbak?" tanya Susan lagi, tanpa menatap kakaknya.

Nggak! Nggak! Indri berseru dipikirannya. Akan tetapi, kalau Indri tidak bertanya, seumur hidupnya akan dihantui rasa penasaran.

"Mbak?" panggil Susan karena tidak mendapat respon dari kakaknya. Pikirnya, Indri sudah beranjak pergi, makanya berlaku demikian. Untuk memastikan, Susan menegakkan duduk dan membuka mata. Kakaknya masih di tempatnya semula. Indri memang terlihat sedang menonton TV. Namun, fokusnya tidak ada di acara yang sedang ditontonnya.

"Mbak," panggil Susan sekali lagi, kali ini sambil mencolek lengan Indri.

Indri tersentak kaget dan segera menoleh ke arah adiknya. Dalam kebingungan, dia bertanya, "Eh, apa?"

Susan memasang muka masam. "Mbak kenapa sih?"

"Nggak apa-apa." Indri menggeleng.

Susan menyipitkan mata. "Bohongnya jelas banget."

Indri menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan.

"Coba cerita sama aku, Mbak," kata Susan. "Kali aja bisa bantu."

Indri menatap Susan yang menunggu dengan serius.

"Aku kirim surat ke Ghani. Nyatain perasaan," kata Indri jujur.

Susan manggut-manggut mengerti.

"Udah seminggu lebih, tapi nggak ada respon apa-apa. Biasa aja," kata Indri lagi, setengah mengeluh.

Susan mencebikkan bibir sambil menggeleng tak percaya.

"Padahal kamu tahu, Ghani sering ngajak jalan," kata Indri lagi, kali ini matanya seperti menerawang jauh. Membayangkan Ghani dan perjalanan mereka.

Susan manggut-manggut lagi.

"Kalau gitu, menurutmu, kami lagi HTS-an?" tanya Indri, menatap sungguh-sungguh adiknya.

"Hm ... entahlah," gumam Susan ambigu.

Indri mendesah berat. Seketika wajahnya butek tidak enak dipandang.

Love me, Marry me (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang