Indri menepuk-nepuk kedua pipinya yang memanas setiap membayangkan perbuatan Ghani yang menurutnya manis. Padahal lelaki itu hanya menepuk-nepuk punggungnya lembut seolah sedang menenangkan jiwanya yang terserang badai.
"Semua udah terjadi. Lupakan lelaki berengsek itu. Sekarang kamu harus menerima kondisimu dengan lapang dada. Masa lalu nggak bisa dihapus. Jadikan saja sebagai pelajaran. Lagi pula, nggak ada masa lalu yang suci. Pasti ada sedikit remah-remah kotoran." Begitu kata Ghani setelah mendengar pengakuan Indri. Sempat terkejut dan tidak nyaman, tetapi berhasil Ghani sembunyikan agar Indri tidak merasa lebih sedih lagi.
Indri menggelengkan kepala. Kemudian meletakkan telapak tangan kanannya ke dahi. Agak panas dan berpikir dia mulai demam karena terlalu memikirkan Ghani.
"Sekarang aku boleh maki-maki nggak?" tanya Ghani begitu Indri tenang sore itu. Tanpa menunggu jawaban Indri, dengan serius Ghani berseru, "Goblok! Mau-maunya begitu tanpa ada ikatan sah. Ngotak apa ngotak! Sekarang gimana? Nggak mau tanggung jawab lakinya, kan? Rasain! Sukurin! Emang enak?"
Hati Indri kembali sesak. Napasnya memburu dan tsunami tangisnya pecah lagi sore itu, membuat Ghani panik sendiri dan segera menarik tubuh gendut Indri untuk mendekat padanya, merengkuhnya dengan erat dan menyenandungkan kata-kata penghiburan.
Indri menghentikan langkah. "Wah, Indri, kamu harus berhenti memikirkannya. Sadar Indri," katanya pada diri sendiri.
Kembali Indri menggelengkan kepala. Mencoba mengusir bayangan Ghani yang tertawa setelah memeluknya dan meledek, bahwa pelukannya mujarab membuat Indri seketika berhenti menangis ditambah muka gadis itu yang memerah seperti tomat busuk.
"Selamat pagi."
Indri terlonjak kaget mendengar sapaan itu. Tiba-tiba saja muncul rasa senang menyelimuti hatinya, tetapi juga merasa ingin kabur secepatnya dan itulah yang Indri lakukan tanpa membalas sapaan Ghani. Pagi ini Indri tidak sengaja bertemu Ghani yang seperti habis dari pasar karena kedua tangan laki-laki itu menjinjing kantong plastik yang isinya penuh. Namun, siapa yang menyangka Indri bakal berpura-pura sengaja bertemu dengan Ghani pada pagi hari setelahnya hanya untuk mendengar sapaan dari laki-laki itu.
***
Untuk beberapa menit, Indri mematung menyaksikan pemandangan yang tertangkap retina matanya. Perlahan wajahnya panas dan perempuan itu segera membalikkan badan, memilih bersembunyi di balik tembok dengan langkah sepelan mungkin. Indri menyandarkan punggungnya yang mendadak tegang. Detak jantungnya berpacu cepat ketika perempuan berkulit putih itu tidak sengaja memergoki Andi dan Wulan yang sedang berciuman panas di pojok halaman gedung pabrik paling belakang yang jarang dilalui orang-orang. Mungkin hanya Indri saja yang suka nongkrong di situ karena tempat itu merupakan tempat teradem baginya istirahat setelah makan siang. Ada meja kayu yang sudah tak terpakai di sana. Kalau tubuh Indri terasa remuk dan pegal-pegal, dia akan berbaring sebentar di atasnya.
Kilasan bayangan tentang percumbuan panas Wulan dan Andi melintas di benak Indri. Beberapa kancing seragam kerja Wulan sudah terlepas, memperlihatkan payudaranya yang tergantung menggoda. Mata Wulan terpejam ketika Andi melumat bibirnya ganas seraya tangannya meremas-remas dan memilin puting payudaranya.
Kepala Indri menggeleng-geleng cepat. Berusaha mengenyahkan slide demi slide adegan mesum itu. Dengan ragu, kaki Indri maju selangkah, berniat menghentikan aktivitas Wulan dan Andi dengan berpura-pura membuat keributan agar mereka tidak terlalu jauh melakukan perbuatan yang bisa berakibat fatal seperti dirinya. Namun, Indri mengurungkan niat. Dia mundur dan kembali menyandarkan punggung.
Indri memikirkan perasaan Wulan, bagaimana kalau teman kerjanya itu merasa malu tak terhingga sampai membuat hubungan pertemanannya dan Wulan menjadi canggung dan tidak menggenakan? Dan juga memikirkan kemarahan Andi yang bisa jadi dilampiaskan padanya dengan memaki-maki, merendahkannya lagi, dan menuduh sedang menganggu keasyikan mereka. Indri tidak mau begitu. Dia sudah cukup terbebani dengan rasa bersalah atas kebodohannya.
Indri memeras otaknya cepat. Berharap mendapat cara memisahkan mereka. Bukan karena Indri merasa tidak suka--meski memang tidak suka karena takut ada satu gadis lagi yang Andi rusak masa depannya--melainkan seperti memiliki tanggung hawab untuk melindungi perempuan dari kenakalan laki-laki macam Andi.
Satu ide terlintas di otaknya. Indri mengeluarkan ponsel jadulnya dari kantong celana dan membuat panggilan.
Indri menggigit kuku jempolnya selama menunggu sambungan telepon. Dia merasa ketar-ketir. Kalau seandainya Andi mengganti nomornya, bisa gawat. Masalahnya, Indri tidak memiliki nomor ponsel Wulan.
Tarikan napas penuh kelegaan keluar dari mulut Indri begitu panggilan itu tersambung dan telinga Indri mendengar bunyi nyaring sebuah nada dering tak jauh dari tempatnya bersembunyi. Diam-diam Indri melongokkan kepala, berniat mengintip. Andi dan Wulan sudah memisahkan diri. Karena Andi berdiri membelakanginya, Indri tidak tahu ekspresi apa yang tergambar pada wajah laki-laki itu. Indri hanya melihat Wulan membenahi dandanannya, lalu berkata sesuatu seperti meminta ijin pergi karena beberapa saat kemudian perempuan itu berjalan ke arahnya, membuat Indri kalang kabut dan cepat-cepat pergi dari sana.
Indri mengantongi kembali ponsel jadulnya ketika suara operator mengatakan bahwa 'nomor yang Anda tuju tidak bisa menerima panggilan. Cobalah beberapa saat lagi.'
Hari ini, Indri resmi mengiklarkan telah melepaskan Andi. Tidak mau lagi dibayang-bayangi apa pun namanya yang pernah terjadi di antara mereka. Indri akan mencoba menyingkirkan sekelumit lelaki berengsek itu tanpa harus melupakan. Menganggapnya sebagai alarm peringatan bahwa Indri pernah berbuat salah dan tidak akan menggulanginya lagi.
Tidak perlu ada kata selamat tinggal yang perlu diucapkan Indri kepada Andi. Hubungannya dengan Andi hilang begitu saja. Karena dari awal hubungan itu tercipta hanya sebatas napsu belaka. Lebih tepatnya, tidak ada cinta.