Wulan Inggita merasa sangat bahagia. Wajahnya berseri-seri. Senyum menawannya yang memabukkan bagi para lelaki selalu terukir ketika tanpa diminta bayangan kejadian semalam melayang-layang di benaknya. Tidak ada dalam mimpinya sekali pun hal semalam bisa terjadi padanya. Namun, kenyataan memang tidak selalu pahit. Adakalanya manis seperti gula. Misalnya sekarang, dengan bangga Wulan telah mengumumkan statusnya yang akan berpacaran dengan Andi. Teman satu lingkungan kerjanya yang sangat famous karena kegantengan dan keramahannya yang bisa membuat kaki lemas.
"Cieeee ... senyum-senyum mulu. Nanti gila, lho," ledek Fitri antara mengamini kata-katanya dan tidak. Masalahnya, di satu sisi dia merasa iri setengah mampus. Namun, di sisi lain dia sadar bahwa Wulan adalah sohibnya.
Wulan hanya tertawa cantik sambil mengangkat wajahnya sedikit.
"Biarin ajah sih. Orang lagi bahagia. Iya, nggak?" kata Risma sambil menusuk-nusuk pinggang Wulan dengan jari telunjuknya. "Cieee ... calon pacarnya Andi. Cieee ...."
Wulan mengelinjang--masih tertawa-tawa--tetapi, kali ini wajahnya merona.
"Andi emang sukanya tipe-tipe barbie kayak kamu gini, ya? Kurus, lurus gitu nggak ada belokan?" celetuk Lina. Ada nada sedikit mengejek dari suaranya. "Tahu gitu rela deh dada sama bokong nggak kumontokin."
"Idih, iri ajah nih air kobokan," sahut Risma yang langsung dihadiahi cubitan dan jambakan dari Lina, sampai Risma berteriak heboh dan cekikikan yang bisa menular kepada teman-teman lainnya.
"Memang udah rejekinya Wulan kali," timpal Reni, mengusap matanya yang berair karena banyak tertawa. "Tapi, aku heran gitu. Kenapa kamu nggak langsung nerima? Ini malah pake acara mikir-mikir segala."
"Alah ... kayak nggak tahu gayanya cewek. Hal kayak gitu mah udah melekat di nadi," jawab Tari tanpa diminta.
Reni menyipitkan mata. "Kok yang jawab kamu sih, Tari, orang aku tanya sama Wulan kok. Ya daripada aku nyinyirin dia di belakang."
Semua kepala yang berada di warung sebelah pabrik roti, menoleh ke arah Wulan. Ditatap dengan berbagai ekspresi membuat Wulan tergagap sejenak. Senyum kecilnya kemudian muncul setelah gadis itu bisa menguasai diri.
"Ya, gimana dong? Aku maunya sih langsung nerima, tapi nanti Mas Andi nganggepnya aku cewek gampangan," jawab Wulan dengan ekspresi wajah sok diimut-imutkan.
"Cieee ... Mas Andi. Hahaha."
"Taik kucing rasa cokelat."
"Inginku berkata kasar. Kuatkan hamba, ya Allah."
"Bazingan kau Wulan."
"Najis, najiiiiiiis, najis, najis, najis."
Wulan tertawa-tawa saja mendengar ucapan teman-teman kerjanya. Dia menyadari perasaan dongkol dari sebagian teman-temannya yang lain. Atau lirikan bahkan nyanyian tidak suka yang ditujukan kepadanya. Akan tetapi, Wulan juga tidak bisa memungkiri perasaan menang dalam dirinya. Menang dari perempuan-perempuan yang secara terang-terangan mengincar Andi. Jika Wulan mau, dia ingin mendrama dengan menarik-ulur perasaan Andi agar teman-temannya merasa geregetan padanya. Sayangnya, sifat Wulan yang baik hati dan realitisnya yang tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan, membuatnya enggan melakukan hal demikian.
"Mbak Wulan."
Dengan gerakan slow motion, Wulan menoleh ke sumber suara. Ternyata suara teman yang masih satu kerjaan dengannya. Windi Indriani.
"Apa?"
"Jangan mau nerima Andi." Begitulah kata-kata yang diucapkan Indri selanjutnya, membuat semua yang mendengar ternganga-nganga syok. Tak terkecuali Wulan. Ekspresi wajahnya syok berat.
"Heh, Gajah, kalau iri ya iri saja. Nggak usah sok ngatur-ngatur gitu deh," kata Fitri. Murni karena refleks memanggil Indri dengan sebutan 'gajah' karena bentuk badannya yang bengkak tak tertolong.
Tari mengangguk sekali. "Iya."
"Lagian kamu siapa sih berani ngomong gitu? Istrinya Andi? Yakali tuh laki mau sama truk gandeng," ujar Reni memutar matanya dramatis.
Tari mengangguk lagi. "Betul."
"Dasar gembrot! Tapi, aku tadi mau bilang gitu sih. Makasih udah diwakilin," kata Lina, tersenyum miring.
"Idih," jawab Tari, lalu tertawa sendiri.
Risma menahan Fitri yang seperti akan meneruskan pertengkaran sepihak. "Sudah, sudah," lerai Risma.
"Ih, Emak tah sukanya bela yang nggak wajar," protes Fitri.
"Ho'oh." Reni mengangguk setuju. "Padahal si Gembrot main bacot ajah."
Risma berkacak pinggang. "Siapa yang bela?"
"Diem, diem. Diem dulu," ucap Wulan tanpa terkesan kesal, begitu merasa semuanya teman-temannya akan terus berbicara yang tidak-tidak.
Semuanya saling memandang satu sama lain. Seperti sedang mengukur keberanian siapa yang akan membantah kata-kata Wulan.
Wulan cukup terkesima melihat teman-temannya menuruti apa yang diucapkannya. Dihelanya napas panjang sebelum akhirnya menghadap ke objek yang sedang menjadi sasaran empuk.
"Kenapa kamu bilang gitu? Alasannya apa?" tanya Wulan kepada Indri yang sedari tadi diam menunduk tak mampu membalas ucapan rekan-rekan kerjanya.
Indri tidak bisa menjawab.
"Kamu harus punya alasan, biar aku bisa mempertimbangkan," kata Wulan yang langsung mendapat misuh-misuh dari teman-temannya.
Indri masih diam. Bibirnya terlalu kelu untuk berbicara.
"Bilang ajah. Aku nerima saran apa pun kok." Wulan menepuk lembut pundak Indri.
Indri mengangkat wajah. Pandangannya bertemu langsung dengan Wulan. "Karena aku sayang kamu. Ak--"
"Buseeet si gajah ternyata lesbong, Saaaaaay. Pantesan minta si Wulan nggak nerima cintanya Andi. Dasar gajah bengkak!" potong Fitri yang terkesan mengompori keadaan.
"Cepet tobat, In. Iiiih, geli bayangin si Indri gituan sama Lina." Risma bergidik jijik.
"Bangcaaaaat, Mak, bancaaaaat!" sahut Lina, menarik cepat ujung rambutnya Risma.
"Nggak nyangka ajah sih," celetuk Tari malas. "Tiati lho ya, Say. Hmmmm."
Reni berdecak sambil geleng-geleng kepala. "Ya ampun, gembrot ... gembrot. Segitu depresinya ya nggak ada laki yang mau sama kamu, makanya kamu puter haluan?"
"Sakit nih otaknya," kata Lina menusuk.
"Udahlah tinggalin. Biar ajah makanan kita semua dibayarin sama dia," ketus Fitri dengan entengnya.
"Jangan--"
"Sekarang, kamu yang diem!" Reni memotong ucapan Wulan dengan galak. "Kalau kamu baikin dia, nanti ngelunjak lagi. Nggak tahu diri."
Wulan mendesah pasrah.
"Gajah, bayar ya ini semua. Awas loh kalau nggak mau. Aku bakal sebarin masalah tadi," ancam Fitri sambil menunjuk Indri yang menunduk dalam-dalam.
Indri tidak mengiyakan juga tidak menolak. Tubuhnya gemetar menahan tangis. Dia merasa tidak berguna. Harusnya dia lebih berani mengatakan apa yang harus dikatakan. Akan tetapi, nyalinya menciut ketika lawan bicaranya mulai mengejek bentuk tubuhnya. Dari dulu. Selalu begini. Terlalu pengecut.
Melihat Indri yang seperti kucing kejebur got, membuat Wulan tidak tega. Dia ingin mengatakan dan berbuat sesuatu, tetapi dicegah oleh teman-temannya yang sudah terlanjur emosi.
"Udah sih biarin." Reni mengajak Wulan berjalan dengan sedikit menyeretnya. "Mending kita balik kerja ajah."
Wulan menghela napas panjang. Mau tidak mau perempuan itu menurut. Meninggalkan Indri dengan penjelasannya yang masih mengantung di awang-awang.
