Tujuh

2.9K 232 10
                                    

Dibanding dengan Susan, Indri tidak ada apa-apanya. Walaupun perempuan gendut itu bersekolah sampai ke jenjang SMA, sedangkan Susan hanya tamat SMP dan melanjutkan kursus rias karena menyadari otaknya tidak sanggup, Susan masih setingkat di atas Indri.

Susan pintar dan rajin dalam merawat diri sehingga selalu kelihatan bersih, rapi, dan wangi. Jam kerjanya juga fleksibel. Dia seorang asisten rias pengantin dan tempatnya bekerja sudah terkenal apik, sehingga perempuan itu tidak sepi job meski dibulan-bulan sepi kawinan. Karena, biasanya Susan bukan hanya merias pengantin saja. Jika ada karnaval atau wisuda, dia ikut ambil bagian.

Indri tersenyum tipis. Dia bangga kepada adiknya yang bisa menata hidup dan tahu apa yang dimau. Dulu, Indri tidak tahu apa yang mau dia lakukan setelah lulus SMA. Kalau Indri mengikuti arus seperti teman-temannya yang melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, Indri merasa tidak yakin dan juga merasa kasihan kepada orang tuanya. Hingga pada akhirnya datanglah penyelamatnya. Yeni, teman sekaligus tetangganya itu mengajaknya melamar pekerjaan di pabrik roti. Untungnya, karena ada saudara Yeni yang kebetulan sudah lama bekerja di pabrik roti, tidak membuat keduanya kesulitan menjadi buruh.

Terkadang, Indri ingin mencontoh adiknya (yang harusnya dia sebagai contoh karena seorang kakak), tetapi dia kesulitan untuk memulai.

Indri meraih karet gelang di rak bagian cantolan gelas dan mengikatkan rambut singanya yang kalau sehabis bangun tidur mekarnya tak tertolong. Kemudian, pelan-pelan perempuan itu menghampiri adiknya yang sedang makan sambil memainkan handphone. Jika mau dibandingkan sekali lagi, secara materi, Indri masih tidak ada apa-apanya. Susan sudah mahir menggunakan ponsel layar sentuh dan memiliki akun di semua sosial media, sementara dirinya masih menggunakan ponsel jadul yang hanya untuk telepon dan SMS. Indri tidak mempunyai media sosial apa pun. Bahkan, baru-baru ini perempuan gendut itu tahu apa artinya kuota.

"Dek, hubungan kamu sama Hilman gimana?" tanya Indri begitu duduk di depan Susan.

"Baik."

Hening kemudian. Indri tidak tahu mau memulai obrolan dari mana. Dia ingin mengatakan sesuatu, tetapi lagi-lagi kesulitan. Bukan karena Indri dan Susan tidak dekat. Mereka akrab layaknya saudara dan baik satu sama lain.

Susan menatap Indri. "Ada apa, Mbak?" tanyanya ketika merasa ada yang aneh dari gelagat kakaknya.

Indri meremas-remas ujung bajunya. Dia menatap manik mata Susan dan berniat mengeluarkan suara, tetapi malah terlihat seperti orang yang sedang bengong.

"Mbak," panggil Susan, meletakan ponselnya dengan posisi layar di bawah.

Indri menelan ludah susah payah dan bertanya dengan cepat. "Dek, Hilman udah ngajak kamu nikah?"

Susan mengerjapkan mata. Otaknya segera mencerna apa yang diucapkan kakaknya. Kemudian senyum ragu-ragunya muncul.

"Jujur, Dek," pinta Indri kemudian.

"Udah sih, Mbak. Tapi—"

Indri menyentuh tangan kanan Susan dan berkata, "Dek, Mbak ikhlas kamu duluan."

Susan menggaruk-ngaruk alisnya yang tidak gatal.

"Mbak juga minta pelangkahnya nggak neko-neko kok. Cukup kamu masakin oreg tempe buat Mbak," kata Indri meyakinkan.

Susan menghela napas panjang dan menyandarkan punggung ke sandaran kursi. "Entahlah," jawabnya lesu.

"Dek, kalau kamu yakin, Mbak bakal bantu ngomong sama Ibu." Indri memasang wajah memelas. "Mbak nggak mau kamu nggak nikah-nikah karena Mbak."

Susan memincingkan mata tak suka. "Apaan sih Mbak? Kok ngomong gitu?"

"Mbak nggak enak juga sama Hilman, Dek." Indri menunduk dalam.

"Nggak enaknya kenapa?" tanya Susan sedikit ketus.

Indri menatap Susan. Dirinya agak kaget mendengar nada bicara adiknya. Kalau sudah seperti itu, adiknya mulai merasa tidak nyaman dan ingin cepat-cepat menyelesaikan pembicaraan.

"Kalian udah pacaran lama. Masa mau pacaran terus." Indri tersenyum tipis.

"Entahlah, Mbak," ucap Susan melunak.

"Dek—"

"Aku takut, Mbak." Susan memotong ucapan Indri. Dia mencondongkan tubuhnya ke depan. "Bukan hanya Mbak yang nantinya diomongin. Aku juga bakal kena."

Indri tidak bisa berkata apa-apa. Dia bahkan tidak memikirkan kemungkinan itu bakal terjadi. Indri hanya mau adiknya tidak menunda pernikahan gara-gara dia.

"Mereka bakal bilang, itu si Susan wis kebelet kawin, makane ngelangkahi kakange." Susan mulai meniru suara ibu-ibu tukang gosip.

(Mereka bakal bilang, itu si Susan sudah kebelet kawin, makanya melangkahi kakaknya)

Indri nyaris tertawa mendengar itu. Untungnya, dia masih bisa menahan agar tidak menyembur keluar.

"Atau, si Susan ora melas ya karo kakange. Mentang-mentang wis due pacar, terus njaluke disitan." Susan masih meniru suara ibu-ibu tukang gosip.

(Atau, si Susan nggak kasihan ya sama kakaknya. Mentang-mentang udah punya pacar, terus maunya duluan)

Indri meringis. Apa memang seracun itu mulut orang-orang yang suka mengurusi hidup orang lain?

"Atau ...." Susan sengaja menggantung ucapannya agar terdengar dramatis lalu menunjuk-nunjuk Indri. "Goblok nemen si Indri. Geleman dilangkahi adine."

(Atau, goblok banget si Indri. Mau-maunya dilangkahi adiknya)

Spontan Indri melotot saking terkejutnya. Tidak menyangka adiknya akan mendalami peran itu dengan begitu baik.

"Dan, masih banyak lagi omongan-omongan sakti lainnya. Aku nggak mau kayak gitu, Mbak. Aku nggak kuat. Aku bisa gila. Selama ini aku diem, bukan berarti hatiku nggak panas dingin!" seru Susan, dia menyambar gelas miliknya dan meminum isinya hingga tandas.

Indri menatap adiknya nelangsa. Ada ribuan kata maaf yang terpancar dari sorot matanya.

"Aku mau nikah, kalau Mbak udah nikah!" pungkas Susan, meninggalkan meja makan, makanan yang masih setengah, dan Indri yang bermuram durja.

Love me, Marry me (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang