Sedari kecil, Indri sudah mengalami obesitas. Dia penganut pola makan yang tidak teratur dan tidak pernah olahraga. Kalau pun terpaksa melakukan olahraga, hanya saat perempuan itu duduk di bangku sekolah.
Karena bentuk badannya, tak jarang Indri mengalami ejekan yang semena-mena. Entah itu dari teman, tetangga, dan orang-orang yang tidak mengenalnya. Awalnya hanya biasa saja, tetapi lama-kelamaan hatinya tersakiti juga. Namun, Indri selalu berhasil memendam perasaannya. Meredamnya secara paksa agar tidak meledak.
Karena bentuk badannya jugalah, Indri selalu mengalah dalam segala hal. Akan tetapi, kali ini saja dia tidak ingin mengalah lagi. Dia ingin memenangkan sesuatu yang hatinya mau. Untuk itu, sepulang kerja, Indri menunggu seseorang dengan hati berdebar-debar. Dia takut tidak bisa mengucapkan sepatah kata setelah berhadapan langsung dengannya.
Sepuluh menit kemudian, orang yang ditunggunya datang. Melihat Indri, orang itu langsung menghampiri dan menyeret perempuan itu ke sebuah lahan sepi yang jarang dilewati orang, tak jauh dari rumahnya.
"Ngapain kamu di sini?" desisnya menahan jengkel.
Indri gelagapan sesaat. Matanya menatap penuh cinta pada wajah yang membuatnya jatuh cinta sejatuh-jatuhnya.
Andi Kurniawan. Laki-laki beruntung--menurut Indri--karena menjadi lelaki pertama baginya.
"Pulang sana!" usir Andi kejam.
Indri belum menjawab, Andi memutar badan. Berniat pergi. Tahu akan gelagat Andi, Indri segera mencengkeram lengan laki-laki itu. Sebagai upaya agar Andi tetap tinggal.
"Mas, jangan kayak gini," kata Indri merana.
Andi menatap Indri sewot. "Apa sih?"
"Maksud Mas apa?" tanya Indri, membuat Andi agak bingung.
"Apa?" Andi balas bertanya.
Indri menunduk, meremas kesepuluh jarinya gelisah. Dalam hati, Indri menguatkan diri untuk bertanya tentang gosip atau memang bukan sekadar gosip yang beredar ramai di pabrik tempatnya bekerja.
"Mas nyatain cinta ke Wulan?" Indri mengangkat wajahnya, menatap berani ke manik mata Andi.
"Memangnya kenapa? Masalah?" jawab Andi cepat dan nyolot.
"Mas kita kan--"
"Nggak ada hubungannya," kata Andi seolah tahu apa yang akan Indri katakan.
Indri merasa terjepit. Hatinya juga sakit. Berarti benar soal Andi dan Wulan yang akan segera menjadi pasangan. Indri menggeleng tidak mau dan tidak setuju. Tidak boleh. Untuk kali ini saja biarkan dia egois.
"Ada," sahut Indri lirih.
"Nggak!"
"Kita ud--"
"Denger," sela Andi menyabarkan diri karena emosinya benar-benar sudah di ubun-ubun. "Kenapa kamu mau padahal jelas-jelas aku nggak nawarin hubungan apa-apa saat itu."
Kata-kata Andi begitu menusuk. Indri merasa tertohok. Perempuan gendut itu menunduk. Memang benar apa kata Andi. Namun sekarang, bukankah itu tidak penting? Yang penting itu mereka pernah berbagi kehangatan dan harusnya bersama, bukan?
Bahu Indri berguncang. Perempuan gendut itu menangis dalam diam. Mau berpikir apa pun juga, kalau Andi tidak mau bersamanya, Indri bisa apa? Mungkin, bisa saja memaksa. Di dalam hati, Indri mengaku salah dan kalah, tetapi tetap menyangkal bahwa dia benar dan menang. Indri hanya mau Andi. Dia sudah menyerahkan semuanya demi laki-laki itu.
"Kamu nggak berhak sok minta pertanggungjawaban. Kamu melakukannya karena kamu mau!" Andi mempertegas.
Setitik pun Andi tidak merasa kasihan melihat Indri menangis. Laki-laki itu hanya ingin enyah dari sini sekarang juga. Dia sudah tidak tahan dekat-dekat dengan seorang budak cinta yang ada di hadapannya ini.
"Lagian, kamu goblok banget sih jadi cewek. Sadar diri kenapa. Siapa yang mau punya pasangan gembrot kaya kamu?" ejek Andi, tersenyum berengsek. "Belum lagi pasrah banget disuruh ngangkang."
Indri mengusap matanya yang berair. Pikirannya berantakan. Kepalanya pusing, sakit, panas, dan terasa akan pecah.
"Sudah sana pergi. Jangan ganggu aku lagi. Kalaupun kamu koar-koar soal apa yang pernah kita lakukan, toh nggak akan ada yang percaya," kata Andi, menyepelekan.
Tertekan dengan sikap Andi yang tidak mengenakkan, membuat Indri mengambil keputusan. Demi memiliki cinta yang perempuan itu mau, apa pun akan dilakukannya. Dia sudah kehilangan harta berharganya. Satu kehilangan lagi (harga diri), seharusnya tidak menjadi persoalan.
"Aku hamil," kata Indri. Perempuan itu nekat berbohong ketika Andi berpaling.
Andi memutar tubuh, menatap Indri dengan tatapan biasa saja.
"Bukan urusanku," jawab Andi enteng.
Itu bukan jawaban yang Indri mau. Indri menginginkan sikap Andi akan melunak. Laki-laki itu akan tersenyum, menangis terharu, dan memeluknya dengan erat.
"Ini urusanmu. Urusan kita!" seru Indri sedikit berteriak.
Andi tertawa mencemooh. "Atas dasar apa?"
"Karena ini anak kamu!" Indri menunjuk perut tertimbun lemak berlebihannya dengan tegas. "Anak kita!" Sudah kepalang basah, lanjutkan sekalian.
Refleks, Andi mencengkeram leher Indri. "Kalau ngomong jangan sembarangan!"
Ada sedikit rasa senang di hati Indri akan reaksi Andi. Tandanya laki-laki itu mulai sedikit paham dengan kondisi hamil bohongannya sekarang. Merasa takut dan mau tidak mau harus bertanggung jawab.
Ini adalah kesempatan, pikir Indri. Perempuan itu akan memanfaatkan rasa ketakutan Andi.
"Kamu sadar ini anak kamu," kata Indri tercekik.
"Itu bukan anakku," desis Andi tajam, mengeratkan cengkeramannya.
Indri megap-megap. Sekuat tenaga menahan kedua tangannya untuk tidak melepaskan cengkeraman Andi.
"A-nak ya-ng se-dang ku-kandung i-ni, an-nakmu, Mas," kata Indri susah payah.
Biarkan Andi mencekik perempuan sialan ini lebih lama. Laki-laki itu benar-benar berada pada titik tidak bisa mengontrol emosinya lagi dan ingin melenyapkan Indri untuk selamanya.
"Siapa yang bisa memastikan?" tanya Andi, setelah emosi yang sempat berkobar surut sedikit demi sedikit. Akal sehatnya mengambil alih. Dia tidak mau membunuh perempuan ini dan berakhir di penjara. Jadi, Andi melepaskan cengkeramannya dan mundur tiga langkah.
Indri terbatuk-batuk hebat. Dia mengusap lehernya yang terasa sakit dan mengambil napas banyak-banyak untuk mengisi paru-parunya yang hampir mati.
"Aku hanya melakukannya denganmu," kata Indri.
Andi tahu pasti Indri hanya melakukan hubungan layaknya suami istri dengannya. Namun, laki-laki itu tidak mau begitu saja bertanggung jawab jika benar anak yang berada di rahim Indri adalah anaknya. Andi juga tahu Indri sangat mencintainya. Maka dari itu dia memanfaatkannya.
"Kita hanya melakukan beberapa kali. Aku selalu pakai pengaman. Siapa yang tahu kalau sebenarnya itu anak orang lain, tetapi kamu menimpakannya padaku karena kamu suka aku," kelit Andi tidak mau kalah.
Indri menggeleng frustrasi.
"Sana pulang! Jangan ganggu aku lagi. Mulai detik ini kita nggak ada urusan apa-apa lagi," pungkas Andi telak.
"Mas, tunggu," pinta Indri, memegang lengan Andi yang akan pergi.
Andi segera menepis tangan Indri kasar. Perempuan itu tidak mau menyerah. Dia merengek dan gigih berusaha mencegah laki-laki yang dicintainya pergi. Sebaliknya, Andi yang tidak mau peduli, sibuk melepaskan diri dari Indri yang seratus kali lebih menyebalkan daripada hari kemarin.
"Cintai aku, Mas. Nikahin aku!" mohon Indri merana.
Merasa muak, Andi mendorong Indri hingga terjatuh lalu melengang pergi. Tidak tahu bahwa Indri menangis sesenggukkan sampai akhirnya jatuh pingsan.
