"Kalau kamu beneran sayang sama aku, bisa kamu merelakan keperawanmu?"
Perempuan itu tercenung menatap noda kemerahan bercampur sedikit air mani pada sprei putih yang seperti mengejeknya. Perasaannya mulai campur aduk. Senang, tidak senang. Marah, tidak marah. Kecewa, tidak kecewa. Menyesal, tidak menyesal. Dan, perlahan dia mulai menyadari ada satu bagian darinya yang terasa hampa. Perempuan itu sadar bahwa yang berharga baginya telah hilang.
Sekilas matanya melirik ke arah laki-laki yang sedang merokok dan memainkan ponsel tanpa memedulikannya. Perempuan itu menutup tubuh polosnya dengan selimut, beranjak dari ranjang, dan berjalan ke kamar mandi tanpa kata.
Di dalam kamar mandi, dia melepaskan selimut yang membungkus tubuhnya. Ada tanda merah kebiruan yang tersebar di sana. Dia memegang salah satunya yang berada di payudara seraya memejamkan mata. Kilasan nikmat yang baru saja diteguknya melintas di benak.
Saat tubuh mereka saling menyatu, saling menabrak satu sama lain. Teriakan, erangan, rintihan tertahan yang menjadi suara latar. Keringat beraroma seks yang menguar di sekeliling, serta lenguhan panjang laki-laki itu yang tidak menyebut namanya, melainkan menyebut nama perempuan lain. Satu kesadaran lagi menyentaknya keras-keras. Perempuan itu menggigit bibir bawahnya keras. Ternyata laki-lakinya membayangkan wanita lain di sela keintiman mereka. Sekarang dia merasa tolol dan ingin membenturkan kepalanya pada kaca besar di depannya.
Suara pintu terbuka dengan kasar, membuat perhatiannya tercuri. Dia menoleh, menatap laki-laki berparas tampan yang kini melongokkan kepala.
"Aku pergi dulu. Kamu juga cepet pulang sana."
Perempuan itu tidak menjawab. Dia memilih segera membasuh wajahnya dengan air dingin. Berharap air mata yang mulai berguguran luruh terbawa air. Satu isak tangisnya melompat keluar. Buru-buru dia membekap mulutnya. Akan tetapi, rasa sesak yang tak bisa dibendungnya lagi, membuatnya menangis pilu. Meratapi cinta bodohnya yang sedang menertawakannya habis-habisan.
