Dua belas

3.2K 221 4
                                        

Ghani melamun. Tidak peduli jalanan yang ramai oleh lalu lalang kendaraan. Tidak peduli orang-orang yang berisik di sekitarnya. Otak Ghani masih sibuk memikirkan kejadian tiga hari yang lalu. Laki-laki bermanik hitam itu tidak pernah menduga Indri akan berkata begitu kapadanya. Ghani tidak berniat memberi harapan. Sungguh. Niatnya tulus menjalin pertemanan dengan perempuan gendut itu. Maka dari itu, Ghani bersikap biasa seperti semula. Tidak menjauh. Apalagi ilfel ada perempuan yang menyatakan cinta duluan. Penjual bakso keliling itu tetap membangun komunikasi dengan Indri. Sayangnya, perempuan gendut itu sengaja tidak mengubrisnya seolah-olah sedang menjaga jarak darinya dan menjadi orang paling sibuk yang tidak dapat ditemui olehnya.

"Yang," panggil Luna, calon istri Ghani dengan lembut.

Ghani tidak menyahut. Dia masih terlarut dalam pikirannya sendiri. Bagaimana bisa Indri merasa cinta padanya? Kalau dipikir lagi, Ghani tidak merasa menspesialkan perempuan itu. Mereka berteman selayaknya Ghani berteman dengan perempuan-perempuan lain.

"Yang," panggil Luna lagi, kali ini sambil memegang lengan Ghani.

Ghani berjengit sedikit. Dia menoleh ke arah Luna dengan memasang wajah tak mengerti. Saat ini, Ghani sedang menjemput calon mempelai wanita beserta keluarganya di tikungan Banjaran.

"Ya," kata Ghani bingung. "Apa, Sayang? Kamu ngomong apa?"

Luna mengerucutkan bibirnya sesaat, kemudian menyipitkan mata tak suka. "Ayang ngelamunin apa? Jorok, ya?" tuduhnya, menunjuk Ghani.

Ghani tertawa saja. Dia meraih tangan Luna dan menariknya mendekat. Gadis ini, Luna Pradina, sudah Ghani pacari dua tahun lamanya. Meski menjalani LDR, hubungan mereka terbilang cukup mulus. Tidak pernah ada pertengkaran besar yang sampai membuat kepala mau pecah. Bisa dibilang hanya ada pertengkaran kecil soal rindunya ingin bertemu yang membuat pusing saja karena berat diongkos. Ghani tinggal di Banjaranyar, sementara Luna di Lampung.

Ghani mengenal Luna di salah satu jejaring sosial. Facebook, namanya. Awalnya mereka saling komen-like status, lalu berujung kirim pesan lewat messenger. Lambat laun, mereka merasa saling nyaman dan sayang. Dengan penuh tekad dan keberanian, akhirnya Ghani menyatakan perasaannya yang disambut baik oleh Luna.

Ini konyol. Bagaimana bisa merasa sayang jika belum bertemu orangnya secara nyata? Namun, itulah yang terjadi pada Ghani. 

Pertemuan Ghani-Luna pun terjadi hanya tiga kali. Adalah Ghani yang menghampiri Luna dengan uang sangat mepet. Cukup untuk ongkos kendaraan saja. Setelah pertemuan terakhir yang diwarnai adegan drama Luna menangis pada hari kepulangan Ghani, Ghani memutuskan dengan mantap akan menikahi Luna agar nantinya mereka bisa bertemu setiap hari.

"Udah yuk pulang," kata Ghani sayang sambil melepaskan genggamannya.  "Bapak-Ibu sama yang lain juga kelihatan capek tuh. Kasihan."

Ini adalah kesepakatannya. Mereka akan menikah di kampung halaman Ghani. Bukan karena Ghani tidak mau melakukan pernikahan di Lampung. Masalahnya, Luna sangat pantang menyerah. Gadis itu ingin melakukan pernikahan di kediaman Ghani.

Ghani menentang habis-habisan, awalnya. Namun, dia luluh dan kalah  ketika Luna mengancam tidak mau menikah dengannya biarpun hatinya sakit.

Luna tersenyum cerah. "Aku udah nggak sabar menjadi istrimu, Yang."

"Sebentar lagi, ya? Sabar sebentar lagi," kata Ghani menahan diri untuk tidak merangkul mesra calonnya karena ada calon mertua di belakang.

***

Rumah Ghani ramai. Suasananya begitu menyenangkan. Semua orang tertawa gembira. Di balik kegelapan, Susan mengepalkan kedua tangan di sisi tubuh. Amarah yang sudah ditahannya tiga hari lalu, ingin segera dilepaskan. Susan masih ingat ekspresi kakaknya setelah pengakuan Ghani. Sangat terpukul, sedih bercampur frustrasi. Perempuan itu juga sering mendengar kakaknya menangis di malam-malam yang sunyi.

Susan tidak berniat merusak pernikahan Ghani. Namun, setidaknya, perempuan itu ingin memberi kado pernikahan satu-dua kali tendangan untuk laki-laki yang sudah membuat sedih kakaknya. Susan tidak habis pikir dengan jalan pikiran Ghani. Kalau seandainya laki-laki itu sudah memiliki calon, kenapa mendekati kakaknya yang bisa terkena virus baper? Harusnya antisipasi dulu dengan menceritakan statusnya meski kakaknya itu tidak bertanya.

Susan mengertakkan gigi. Dia merangsek ke depan, tetapi tangan kanannya dicekal seseorang.

Mata Susan membeliak kaget. "Mbak?"

"Kamu mau apa?" tanya Indri pelan.

Indri sudah menduga dari gelagat adiknya bakal nekat melakukan sesuatu yang akan disesalinya nanti. Tiga hari lalu, adiknya marah besar setelah Ghani pulang. Dia memaki-maki Ghani yang berujung nangis sendiri. Ibu-bapak sampai kebingungan. Mereka bertanya ini-itu. Namun, Susan bungkam. Dia hanya memeluk kakaknya sesaat lalu pergi ke kamarnya.

Hari setelah itu, Susan berlagak aneh. Indri pernah memergokinya sedang mencari Ghani. Akan tetapi, setelah ditanya, Susan tidak menjawab terus terang. Dan puncaknya malam ini. Ketika ada tetangga yang bercerita soal calon Ghani yang baru datang, Susan mendadak geram. Dia pergi keluar rumah dengan beralasan mau bertemu Hilman. Indri yang tidak mempercayai, membuntuti adiknya diam-diam.

"Memberi selamat," jawab Susan sekenanya.

"Nanti, Dek. Kalau mereka udah sah saja," cetus Indri.

"Udah sih, Mbak! Biarin aku kali ini aja," ketus Susan, melepaskan cekalan kakaknya.

"Apa maksudmu, Dek?" tanya Indri kemudian.

Susan menatap sadis kakaknya. "Mbak tahu maksudku!"

Indri menghela napas panjang dan mengeluarkannya perlahan. Dia meraih tangan adiknya dan menggenggamnya erat.

"Mbak nggak mau ribut, Dek. Mbak yang salah di sini," kata Indri menyabar-nyabarkan diri.

Susan tidak menyahut.

"Mbak yang berani berharap," kata Indri lagi.

"Tapi, kalau dia nggak memberi harapan kepada Mbak, Mbak nggak bakal sedih begini," tepis Susan emosi sampai-sampai tak sudi menyebut nama laki-laki yang sekarang tengah bahagia di sana.

Indri tersenyum kecut. "Siapa bilang dia memberi harapan?"

"Mbak!" seru Susan setengah membentak.

"Dek, Ghani nggak salah. Kasihan calon istrinya kalau kamu tiba-tiba datengin Ghani dan melakukan apa pun yang sekarang ada di otakmu. Udah, biarin mereka bahagia. Ayo kita pulang," ajak Indri. Tidak mau berdebat dengan adiknya.

"Nggak mau!" seru Indri keras kepala.

"Dek, jangan begini," mohon Indri nelangsa.

Susan mengatur napasnya yang memburu. Perasaannya tidak keruan. Dia menyayangkan kakaknya yang terima-terima saja dan membuat dirinya kesal sendiri.

"Kalau kamu begini karena takut nggak menikah gara-gara Mbak belum menikah, perkataan Mbak yang waktu itu masih berlaku," kata Indri, membuat kening Susan mengernyit bingung.

"Mbak nggak apa-apa dilangkahi, Dek. Mbak ridho. Ikhlas," kata Indri lagi dengan setulus hati.

Susan tidak mampu berkata apa-apa. Dia menatap kakaknya tak percaya. Susan hanya ingin membela kakaknya, demi Allah. Tidak ada sangkut pautnya dengan keinginannya menikah lebih dulu.

Bukan begitu. Bukan begitu maksudku, Mbak. Mbuhlah ... mbuhlah, rintih Susan dalam hati. Dia berjongkok dan menangis sejadi-jadinya.

Note :

Mbuhlah : nggak tauk lah macem udah masa bodo gitoooh.

Love me, Marry me (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang