Empat

3.5K 267 14
                                        

Pagi-pagi sekali, Susan--adik Indri--sudah wangi dan rapi dengan setelan kemeja berwarna biru muda dan skinny jeans. Rambutnya yang panjang dan lurus hasil smoothing dibiarkan tergerai. Wajahnya yang tirus, terpulas make-up tipis. Rencananya, hari ini gadis bertubuh ramping itu akan mendandani dan mendampingi sepasang calon pengantin untuk melakukan foto prewedding di alam terbuka.

Dalam hatinya, setiap Susan melakukan pekerjaan yang sangat dicintainya itu, terbesit sedikit rasa iri. Susan ingin segera menjadi pengantin. Umurnya sudah dua puluh lima tahun. Pacar dan calon mertuanya juga sudah memberi lampu hijau untuk menjalin hubungan ke arah yang lebih lanjut. Sayangnya, ibunya tidak mengijinkan dirinya untuk melangkahi kakaknya karena menurut kepercayaan ibunya, kakaknya itu akan susah mendapatkan jodoh. Jadi, dengan lembut dan penuh permohonan, ibunya meminta Susan untuk bersabar. Susan yang sangat sayang dengan ibunya, menurut dan berusaha tegar bahwa kesabarannya akan berbuah kebaikan.

"San, esuk-esuk wis ayu. Arep mengendi?"

(San, pagi-pagi sudah cantik. Mau ke mana?)

Susan yang sedang duduk di teras sambil memakai wedges setinggi lima sentimeter, menoleh. Mendapati salah satu tetangga berperawakan pendek sedang mengamatinya terang-terangan. Susan tersenyum tipis. Tidak menanggapi omongan tetangganya itu yang sudah terkenal dengan sebutan biang gosip.

"Itu oh si Indri diajari, ben kaya koen."

(Itu oh si Indri dibelajari, supaya kaya kamu)

Susan masih tidak menanggapi.

"Diajari merawat diri ngono lho. Ben awake ora kelemon. Ora apik tahu. Akeh penyakite. Terus diajari dandan juga. Ben age-age payu."

(Dibelajari merawat diri gitu lho. Supaya badannya nggak gendut. Nggak bagus tahu. Banyak penyakitnya. Terus dibelajari dandan juga. Supaya cepet laku)

Tangan Susan yang sedang menyelipkan rambut ke balik telinga terhenti. Rasa panas mulai menyambar-nyambar hatinya. Ucapan Ibu Tarisih, semakin lama semakin tidak enak untuk didengar.

"Emange koen ora melas karo kakange? Wis tua, tapi urung mbojo? Koen juga ora pengin mbojo emange?"

(Emangnya kamu nggak kasihan sama kakakmu? Udah tua, tapi belum menikah. Kamu juga nggak pengin menikah emangnya?)

Susan melirik tajam Ibu Tarisih. Tangannya mulai gatal ingin merobek mulut tetangganya itu.

"Deleng oh awit gemien kakangmu ora tahu pacaran. Ya sapa juga seng gelem? Wong lanang ya pertamane mandeng awake, bagus apa ora. Terus raine, ayu apa ora."

(Lihat oh sejak dulu kakakmu nggak pernah pacaran. Ya siapa juga yang mau? Laki-laki ya pertamanya lihat badannya, bagus atau nggak. Terus wajahnya, cantik atau nggak)

Cukup. Susan tidak mau mendengar lagi. Dia tahu tetangganya itu resek sekali. Bukan hanya kepada keluarganya, tetapi juga sama orang-orang. Susan menegaskan pada diri sendiri bahwa kali ini dia tidak akan diam lagi seperti yang sudah-sudah. Biasanya kalau Ibu Tarisih sudah menyerocos ini itu eta, Susan akan berkomentar, 'Udahlah nggak usah didengerin. Nanti juga berhenti sendiri. Capek sendiri' atau 'Ya, namanya juga orang. Ada yang baik, ada yang enggak. Biarin ajalah nanti juga ada yang bales'.

"Dong--"

(Misal--)

"Maaf, Bu Tarisih, Ibu suka makan kotoran, ya?" potong Susan, membuat tetangganya itu bingung. "Kok mulutnya keluar taik sih?"

Ibu Tarisih terperangah sampai memegang dada sebelah kiri yang seperti baru kena pukulan benda tajam. Wanita berumur lima puluh tahun itu tidak menyangka Susan bakal berkata demikian dengan tampang sesongong dan sikap tidak hormat kepadanya. Selama ini, Susan terkenal tidak pernah berani atau melawan orang yang lebih tua darinya. Susan adalah tipe perempuan kalem kelewat cuek.

"Heh! Bocah gendeng! Ora due unggah-ungguh. Seng sopan koen karo wong tua! Esih bocah koen, banyak tingkah!"

(Heh! Bocah edan! Nggak punya sopan santun. Yang sopan kamu sama orang tua! Esih bocah kamu, banyak tingkah)

Susan mendengkus jengkel. Dia meniup poni miringnya dengan kasar. Kedua tangannya berkacak pinggang. Dia siap beradu mulut meski dengan resiko dimarahi klien dan tukang foto (mitra tempat kerjanya) karena telat datang.

Dari dalam rumah, Ibu Maryam tergopoh-gopoh menghampiri anaknya yang tampak berang.

"Ana apa, Bu Tarisih?" tanya Ibu Maryam. "Esuk-esuk wis gemeder."

(Ana apa, Bu Tarisih? Pagi-pagi sudah ribut)

"Kie anakmu!" Ibu Tarisih menunjuk-nunjuk Susan seraya matanya melotot maksimal. "Ora due tata krama." Ibu Tarisih mendengkus-dengkus kasar. "Rika becus ora sih dadi ibu? Dong ora becus, mene anake tak ajar daning aku!"

(Ini anakmu! Nggak punya tata krama. Kamu becus nggak sih jadi ibu? Misal nggak becus, sini anaknya belajar sama aku)

Ibu Maryam tidak membalas ucapan tetangganya. Wanita berusia senja itu memilih menghadap ke arah Susan dan mencengkeram lembut lengan atas anaknya.

"Ana apa, Susan? Ana apa?" tanyanya cemas.

(Ada apa, Susan? Ada apa?)

Susan menunjuk Bu Tarisih. "Kae disit, Bu, seng marai."

(Dia duluan, Bu, yang mulai)

"Iya, apa?" tanya ibunya, minta penjelasan lebih.

Susan terdiam beberapa saat untuk berpikir. Kalau pertengkaran ini dilanjutkan, tidak ada gunanya. Hasilnya akan sama saja. Mulut milik tetangganya itu tetap akan bercicit cuit seperti yang sudah-sudah karena sudah wataknya, akan sulit berubah. Kecuali ada kemauan dari diri sendiri untuk menjadi lebih baik. Bisa saja watak itu berubah.

"Sudahlah, Susan berangkat dulu, Bu. Udah telat." Susan mencium punggung tangan ibunya yang kedua kali. Padahal dia sudah pamit sebelum keluar rumah.

Ibu Maryam memandang khawatir Susan. Namun, tidak mengatakan apa-apa. Hanya mengangguk sambil menggelus-elus punggung anaknya lembut. Berharap amarah yang menguasai anaknya bisa mereda.

"Bocah edan!" kata Ibu Tarisih sengit ketika Susan berjalan melewatinya.

Susah berhenti melangkah. Dia membasahi bibirnya yang terasa kering dan membalikkan badan.

"Bu Tarisih, aku juga punya perasaan. Aku bisa sakit hati." Susan memukul-mukul dadanya sendiri. Suaranya bergetar. Matanya mulai memanas. "Siapa sih yang mau denger kalau keluarganya dijelek-jelekin? Kalau aku jelekin si Marni yang giginya--" Susan terdiam. Perempuan itu tidak berani meneruskan kata-kata nyelekit yang hampir terlontar dari mulutnya.

"Maaf. Permisi," kata Susan kemudian dan berlalu pergi sambil mengusap matanya.

Di balik pintu, Indri yang sedari tadi mendengar percakapan adiknya, meremas tali tasnya kuat-kuat. Dia sadar, harusnya segera keluar untuk mencegah adiknya melakukan serangan balik. Sayang, kakinya tidak bisa diajak bekerja sama seolah-olah ada lem yang melekatnya. Indri hanya mampu menatap kepergian adiknya yang sebentar-sebentar mengusap wajah seperti sedang menyeka air mata dan ibunya yang sedang memberi pengertian kepada tetangganya itu.

Love me, Marry me (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang