Langit sore sudah terlukis di atas sana. Warnanya yang cantik, selalu memukau di mata-mata siapa saja yang memandangnya. Tak terkecuali Indri. Perempuan berambut singa itu sampai tergoda untuk berlama-lama menatapnya, meski dengan tatapan kosong karena terlalu asik melamun perkataan adiknya kemarin sampai-sampai di hari liburnya ini, Indri tidak memanfaatkannya sebaik mungkin. Seperti tidur seharian, misalnya.
"Kenapa, Cah Ayu?"
Indri tersentak kaget. Dia yang sedang duduk di teras langsung menoleh, mendapati Birin--bapaknya--berdiri di pintu sambil membawa segelas kopi hitam yang masih mengepulkan asap tipis.
Tubuhnya yang sudah terlihat bersih dan memakai baju koko serta sarung, membuat Indri menyimpulkan bapaknya sudah pulang dari sabin kurang lebih tiga puluh menit yang lalu, lewat pintu belakang.
"Kamu mikirin apa?" tanya Birin saat duduk di samping anaknya. Dia meletakan kopinya di lantai, jaraknya hanya sejengkal dari tempatnya duduk. "Ada masalah?"
"Indri mau nikah, Pak. Biar Susan juga nikah!" tegas Indri, menatap bapaknya.
Birin tersenyum. Dalam hati lelaki senja itu merasa bahagia. "Kamu sudah ada calonnya?"
Ditanya demikian, Indri terdiam beberapa saat. Merasa konyol dan lucu pada dirinya sendiri. Memangnya dia mau menikah dengan siapa? Orang yang diharapkan bersamanya saja sudah dengan orang lain. Indri menggelengkan kepala lemah. Perlahan, mendung mulai bergelayut di bola matanya.
"Mau Bapak carikan?" tanya Birin berhati-hati.
Indri menggeleng lemah. Emange ana seng gelem karo inyong? batin Indri bertanya. Matanya menyusuri tubuhnya sendiri. Lipatan-lipatan lemak di sana-sini terpampang nyata. Wajahnya yang pas-pasan. Belum lagi masalah harta berharganya yang harusnya dijaga baik-baik, sudah hilang. Tidak ada yang tersisa. Tidak ada yang bisa dibanggakan.
"Terus?" tuntut Birin. Laki-laki berkumis itu sedikit kecewa setelah melihat gelengan kepala anaknya. Padahal, kalau Indri menyetujui usulnya, Birin akan mengenalkannya dengan Heru, putra dari temannya.
Bukannya menjawab, pikiran Indri malah berjalan ke mana-mana. Dia ingin menyewa seseorang untuk menikahinya, tetapi dengan sistem kontrak. Mungkin satu tahun atau enam bulan saja. Namun, tentu saja ide itu gila. Mana ada lelaki yang mau seperti itu. Kecuali ada bayaran yang setimpal. Masalahnya, Indri tidak mempunyai uang banyak.
Atau Indri berpikir akan menikah dengan kakek-kakek saja supaya tidak mempermasalahkan kondisinya. Namun, lagi-lagi ide itu terasa gila. Kalaupun si kakek mau, apa dia bakal sanggup menjalani rumah tangga yang tidak diinginkannya?
Tanpa sadar, Indri bergidik sendiri. Walaupun dia memiliki bobot berlebih dan sudah tidak perawan, setidaknya Indri ingin menikah dengan laki-laki yang cukup pantas untuknya.
"Nduk?" panggil Birin karena Indri tidak kunjung merespon.
Indri menunduk. "Nggak tahu, Pak."
"Nduk, mung--"
"Tapi, Indri bakal nyoba nyari sendiri Pak," sela Indri cepat seolah tahu apa yang akan dikatakan oleh bapaknya. Ada nada tak yakin ketika perempuan itu berkata, "Kalau udah mentok dan nggak dapet, Bapak boleh carikan."
Birin menghela napas pasrah dan mengangguk. "Ya sudah."
Indri tersenyum kecut. Ada rasa tidak enak di hatinya ketika secara tersirat menolak ide bapaknya yang akan mencarikan pendamping untuknya. Masalahnya, bukan karena Indri tidak mau dijodoh-jodohkan. Akan tetapi, ada pada dirinya sendiri. Kalau saja Indri masih perawan (karena kalau hanya gendut saja, dia bisa melakukan diet mati-matian), perempuan itu akan senang hati menerima dengan siapa pun itu orangnya.