Lima

3.2K 242 3
                                        

"Selamat pagi."

Wulan tersenyum manis mendengar sapaan Andi. Perempuan itu berhenti di depan pos satpam tempat biasa Andi berjaga. Hari ini seharusnya tidak ada yang berbeda dari penampilan Andi. Seperti biasa, laki-laki itu memakai seragam satpam yang pas membentuk badannya yang tegap. Wajahnya ganteng dan bersih. Senyum yang tersungging ramah, mengintip lesung pipit di sebelah kanannya. Namun, kali ini berbeda. Di mata Wulan, laki-lakinya itu jauh lebih ganteng. Mungkin ini yang disebut efek ketiban bahagia saat melihat orang yang tadinya bukan siapa-siapa menjadi berharga. Karena mulai tadi malam, mereka sudah resmi menjadi sepasang kekasih.

"Cie ... suit suit. Udah sah nih? Jangan lupa pajak jadiannya," celetuk Risma menggoda karena semalam Wulan dengan heboh memberitahu berita bahagianya di grup chat.

"Iri aku mah iri. Udah ah. Bye." Dengan muka bete, Lina mendahului teman-temannya masuk ke wilayah pabrik.

"Yeee ... dasar air kobokan!" seru Risma yang langsung dihadiahi jari tengah di udara oleh Lina yang terus berjalan.

"Hahahaha."

"Hahahaha."

"Hahahaha."

Terjadi chord tawa di belakang Risma, membuat perempuan berumur dua puluh enam tahun itu menoleh. Ada Tari, Fitri, dan Reni di sana.

Andi mendekatkan bibirnya ke telinga Wulan. "Selamat pagi, Cinta."

Seketika muka Wulan memanas. Tanpa disadari teman-temannya, mereka saling memandang penuh arti. Ada janji di mata-mata itu untuk memadu kasih sepulang kerja nanti.

"Selamat pagi," ucap Andi kepada Indri, meski laki-laki itu melakukannya karena terpaksa, tidak ingin mengundang kecurigaan jika Andi memilih-milih dalam menyapa seseorang.

Indri yang masih memikirkan soal adiknya, tidak menghiraukan sapaan Andi yang terdengar ramah. Bahkan, perempuan itu tidak menyadari keberadaan Andi, Wulan, dan lainnya. Indri terus saja berjalan dengan lunglai.

"Heh, gembrot, kalau disapa itu jawab dong!" teriak Fitri tiba-tiba sambil melempar sepatu ke arah Indri.

Indri mengaduh. Dia mengusap-usap kepalanya dan membalikkan badan. Detik itu juga dia menyesali tindakannya.

"Oh, kamu masih nggak rel--"

"Pagi, Mas Andi," sapa Indri buru-buru agar Fitri tidak meneruskan ucapannya yang Indri tahu arahnya akan ke mana.

"Hey ... yak! Sejak kapan kamu memanggil Pak Andi dengan embel-embel 'Mas'?" tanya Fitri, menghampiri Indri untuk memunggut sepatu dan memakainya kembali.

"Hor-or-hormatin aja, Mbak," jawab Indri terbata, berharap alasannya bisa diterima karena sebenarnya perempuan itu sudah terbiasa memanggil Andi dengan embel-embel 'Mas' sejak keduanya berbagi keintiman bersama.

Fitri mengangguk paham. "Oh, oke. Tapi, mulai sekarang panggilan itu dilarang untukmu. Yang berhak hanya Wulan."

"Iy-Iya, Mbak," sahut Indri pelan. Kemudian dia menoleh ke arah Wulan dan berkata, "Maaf, Mbak Wulan."

"Iya," jawab Wulan singkat. Tadinya agak shock ada yang memanggil Andi seperti itu karena biasanya penghuni-penghuni pabrik roti ini selalu memanggil 'Pak Andi' meski umurnya tidak begitu tua dari yang memanggil.

Tari merangkul Indri sok akrab. "Ngomong-ngomong, aku masih penasaran soal kemarin."

Indri ketar-ketir. Dia takut tidak bisa menjawab jika itu hubungannya dengan Andi.

"Jadi, kamu lesbi atau nggak?" tanya Reni begitu mendapat kode dari Tari untuk bertanya soal kejadian kemarin.

Diam-diam Indri menghela napas lega. Matanya tanpa diminta melirik ke arah Andi yang tidak menatapnya. Diteguknya ludah dengan susah payah.

Kapan pandangan itu hanya menatapku seorang? batin Indri bertanya tanpa ada jawaban.

"Kemarin hanya salah paham," jawab Indri lemah.

"Iya sih, aku juga nebaknya gitu," kata Risma. "Yakali kamu suka sama Wulan. Geli kan bayanginnya."

"Kalau kamu normal, bisa dibuktikan?" tantang Fitri.

Indri hanya menatap Fitri lama. Menunggu ucapan selanjutnya dari perempuan berambut pendek itu.

"Coba pegang tangannya Pak Andi," ujar Fitri nyaris tanpa berpikir.

Seketika jantung Indri serasa berhenti berdetak, kemudian detaknya berpacu sangat cepat sampai dia memegangi dadanya. Upaya untuk meredam detaknya karena takut bakal ada yang mendengar.

"Ih, Fit, apaan sih?" protes Wulan.

"Bentar doang kok," kata Fitri. "Masa kamu cemburu sama Indri?"

"Aku menolak." Andi yang tadi diam saja ikut angkat bicara.

Fitri menatap Andi. "Bentar doang."

"Aku tetap menolak," tegas Andi. "Sekarang ada hati yang harus kujaga."

Semua yang mendengar, kecuali Indri dan Wulan, langsung melakukan adegan orang muntah-muntah. Wulan tersenyum malu-malu. Dua jari Andi dengan perlahan menyentuh jari kelingking Wulan dan lama-kelamaan tangan mereka sudah saling bertautan erat.

"Eeeaaaakkkk," ucap Risma spontan, melihat adegan bagaimana tangan Wulan dan Andi saling menggenggam.

"Ngakak deh," timpal Tari cekikikan.

"Wulan, cuma bentar doang. Kita pengin tahu ekspresi Indri gimana? Emangnya kamu mau diem-diem ditaksir cewek?" bujuk Fitri tidak mau menyerah.

Wulan menyipitkan mata lucu. "Bentar, ya?"

"Iya."

"Kasih, Yang," kata Wulan kepada Andi.

"Nggak mau," tolak Andi.

"Nggak apa-apa." Wulan meyakinkan Andi.

"Tap--"

"Bentar doang, Yang," renggek Wulan.

Andi mendesah pasrah. "Kalau itu mau kamu."

Andi menyodorkan kedua tangan ke depan tanpa minat. Matanya menatap tajam Indri yang menangkap tatapannya. Seketika perempuan berambut singa itu menunduk. Tidak berani menerima tantangan yang sejatinya memberi sedikit rasa senang. Fitri menyenggol Indri, memberi isyarat untuk menyambut tangan Andi.

Di antara rasa bahagia dan sakit, Indri meraih kedua tangan Andi dan menggenggamnya.

Andi menoleh ke arah Wulan. Memasang wajah pura-pura sengsara yang lucu dan minta segera ditolong. Wulan tertawa saja sambil menyelipkan kedua tangannya untuk memeluk Andi dari samping lalu menyandarkan kepalanya di bahu Andi dengan nyaman. Tak memedulikan teman-temannya yang langsung memaki dan meninggalkannya setelah melihat perbuatannya.

Wulan tidak menyadari dengan kebahagiaan yang dirasakannya sekarang, ada perasaan perempuan lain yang terluka. Indri semakin mengeratkan genggaman tangannya seolah tak ingin melepaskan Andi. Hatinya hancur berkeping-keping, melihat lelaki pertamanya dipeluk oleh perempuan lain tepat di pelupuk mata.

Love me, Marry me (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang