Tiga

104 11 0
                                    

hari ini next dua part heheh, maaf ya ngaret.

Sivia membaca wall – wall post balasan dari teman – temannya. Sheilla, Daniel, Devan, dan Emily. Cukup banyak, dan ia sedang malas untuk membalasnya satu per satu. Namun, belum sempat ia menutup akun facebooknya, ada notifikasi masuk. Ia mendesah pelan, lantas membukanya.

Tararara Ingin Kembali

Ayo hari jumat kumpul bahas tugas drama!

Ia mendengus kesal, teringat atas tugas yang baru saja diberikan guru bahasnaya tadi. Tugas yang paling dibencinya sejak Sekolah Dasar, yaitu tugas drama. Persis seperti hidupnya, yang penuh drama. Drama yang sengaja dibuatnya sendiri. Sudahkah ia bercerita bahwa ia sangat benci hidupnya?

Serius, ini kedengarannya sangat klise. Namun, rasanya memang begini. Bersekolah di tempat yang jauh dari kedua orang tuanya, tinggal di tempat bibinya yang sangat cuek dan pelit – menyalakan kipas angin pun tidak boleh terlalu lama –, dan hidup di tengah orang – orang yang menyebalkan (menurutnya kota ini sangat menyebalkan; termasuk dengan teman – teman di sekolahnya sendiri).

Dan pulang ke rumah neneknya tiap akhir pekan. Untung saja ia masih memiliki nenek yang baik dan sayang padanya. Rumah neneknya berada di pinggir kota, hanya memerlukan waktu kurang lebih setengah jam untuk sampai disana. Menurutnya, disanalah surganya. Tiap ia pulang ke rumah neneknya, beragam masakan favoritnya pun ditawarkan. Di samping rumah neneknya, ada rumah milik Bibi Martha, bibinya yang lain yang juga baik padanya. Selalu menyambutnya ketika kembali dengan senang hati.

"Sivia, punya duit? Aku lapar."

Seorang anak laki – laki berbadan tinggi dengan kulit agak pucat secara tiba – tiba membuka dan menyelonong masuk ke dalam kamar Sivia. Gadis itu hampir saja menjatuhkan ponselnya saking terkejutnya. Sivia mendengus pelan, kemudian kembali melakukan aktivitasnya yang sempat terhenti karena lamunannya.

Jika kalian bertanya, kenapa tak tinggal di rumah neneknya saja yang hanya berselisih setengah jam dari rumah bibi jahatnya? Laki – laki inilah jawabannya.

Namanya Angga, salah satu kakak sepupu laki – lakinya. Dia adalah anak dari bibinya disana, yang justru memilih untuk tinggal disini dan pulang ketika akhir pecan, sama sepertinya. Hal itu ia lakukan selama hampir enam tahun sejak SMP hingga SMA. Lalu, bagaimana dengan dirinya?

"Enggak,"

"Heish, ayolah Siv. Lapar, nih!" Laki – laki itu terus mendesaknya. Mendekatkan diri pada Sivia sambil menarik – narik lengan kaosnya. Tipikal Angga, ketika permintaannya tak dituruti.

"Iya – iya. Memangnya mau makan apa?"

Laki – laki itu menyeringai senang, lantas menyodorkan tangannya pada gadis yang berusia tiga tahun di bawahnya. Meminta uang, maksudnya. Sivia mendesah, lantas merogoh tas sekolahnaya dan mengambil sejumlah uang disana.

"Yes! Makasih, Sivia!" serunya sembari bangkit dari kamar tersebut dengan langkahnya yang cepat.

"Aku kasih juga!" seru Sivia nyaring, sebelum lelaki itu benar – benar menghilang dari tempatnya saat ini.

*

"Ini enak!" seru Sivia senang. Sepupunya tadi kembali setelah setengah jam sejak acara minta – meminta uang dan membawa dua buah plastik ukuran sedang. Yang dia yakini berisi makanan dari luar.

Angga tersenyum, "Iya, dong. Murah pula."

Sivia mengangguk – angguk santai, sambil melahap sesendok nasi dengan lauk. Rasanya senang, memiliki sepupu laki – laki yang lebih tua darinya. Apalagi dalam situasi seperti ini (lapar), dia jadi bisa diandalkan.

Tapi, ia langsung tersadar. Angga sudah kelas tiga SMA. Dan sebentar lagi akan lulus, kemudian mengenyam pendidikan yang lebih lanjut. Kapan lagi ia bisa merasakan momen – momen yang seperti ini?

Tanpa sadar, ia mendesah pelan.

"Heh, kenapa?" lelaki di depannya tiba – tiba mengetuk kepalanya, sambil mengernyit bingung. Gadis itu tiba – tiba diam, setelah mengatakan bahwa makanan yang dibelinya enak.

Sivia mengerjap pelan. Lantas menggeleng kuat – kuat. "Eh, apaan, sih. By the way, nggak sama Shirena?" tanyanya berusaha mengalihkan bahasan.

Sepupunya menggeleng lemah. "Nggak jelas, deh."

Sivia mengernyit bingung. Biasanya, jika ia membahas tentang Sherina Johnson aka gebetan – atau sudah menjadi pacar – dari sepupunya ini, dia langsung tersenyum malu. Salah tingkah, bahasa bagusnya.

"Lah, kenapa?"

Ia menggeleng lagi. Sivia berdehem maklum, sepertinya Angga memang tengah malas untuk membahas gadis itu. Mungkinkah mereka bertengkar? Atau ada masalah lain? Atau bahkan putus? Eh, jangan, dong. Kasihan, Angga sudah menunggu bertahun – tahun lamanya untuk bisa menjadi dekat dengan Sherina. Atau bahkan berpacaran seperti ini.

Akhirnya, sesi makanitu dinikmati mereka berdua dengan suasana hening. Dan tak lupa, Sivia yang mengabadikannyapada status di laman facebook. 

**

aku mau buat lapak baru, nih. enaknya  kisah dari salah satu pemeran disini (selain Sivia), atau buat pemeran lainnya, ya?

tolong dijawab, ya, heheh

Oiya, jgn lupa jejaknya, ya! Vcommentnya ditunggu ;))

Sivia's StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang