Empat Belas

62 8 1
                                    

Daniel berjalan dengan tergesa menuju ruang kelasnya. Untung saja gerbang depan belum dikunci sehingga ia tak harus berurusan dengan guru BK alias Bimbingan Konseling yang diam – diam menghanyutkan. Wajahnya saja yang terlihat sangat kalem, namun berbanding terbalik saat mendapati siswa yang melanggar aturan di sekolah ini.

"Syukur, deh, nggak telat." Celetuk Abner saat ia tengah mendudukkan diri di bangku favoritnya, bangku kedua yang berhadapan langsung dengan papan tulis.

"Iya, untung aja." Balasnya tenang, kemudian mengernyit saat melihat teman – temannya ramai seperti biasa.

"Kosong, nih, kelasnya."ujar Abner lagi, seakan bisa membaca pikiran dari Daniel. Yang kemudian berjalan ke kursi bagian belakang tempat teman – teman laki – lakinya melakukan aktivitas wajib mereka, yaitu bermain game.

"Heh, serius? Tau gitu nggak ribet masuk." Gumamnya pelan sambil menelungkupkan kepalanya ke atas meja. Semalam ia baru tidur pukul satu dini hari, efek bermain game lawan Devan sambil menonton pertandingan sepak bola di televisi.

"Heee! Kalian tahu nggak, sih, kalau dalam bulan ini bakalan ada pengacakan kelas?" seru Irene yang notabene merupakan salah satu anak dari guru di sekolah ini.

"Hah? Pengacakan kelas?"

Suasana kelas langsung gaduh setelahnya. Mereka mulai bertanya – tanya mengenai sistem tersebut. Ada yang tak paham dengan maksud si Irene, ada pula yang mengiyakan desas – desus mengenai sistem tersebut. meskipun belum diketahui kebenarannya.

"Yah, kalau kelas dipisah kita nggak satu kelas lagi, dong. Huhu," ujar salah satu anak perempuan, yang membuat kawan lainnya menyoraki karena setuju.

"Ah, males harus adaptasi lagi." Seru anak yang lain.

"Ih, nggak mau pisah sama kalian. Udah terlanjur nyaman disini,"

"Nggak apa, kan masih bisa ketemu lagi."

Sementara beberapa anak laki – laki hanya melengos tak menanggapi banyak. Mereka tipikal yang cuek dan biasa – biasa saja ditempatkan di kelas manapun. Asalkan orang – orangnya bisa diajak bermain game, semua tak menjadi masalah.

"Eh, kemarin aku ketemu cewenya si Daniel." Celetuk salah seroang anak laki – laki berambut cepak yang duduk di bangku belakang dan membuat beberapa temannya menoleh penasaran dan mulai mendekat ke arahnya.

Daniel yang merasa namanya disebut secara refleks menoleh ke arah teman laki – lakinya yang tengah berkumpul di belakang. "Apa Daniel – Daniel?"

"Kemarin aku ketemu Sivia sama si Ify,"

"Lah terus ngapain Daniel – Daniel?!" serunya sewot. Akhir – akhir ini ia agak sensitif jika nama gadis itu disebut.

"Eh iya? Ngapain si Ify?" tanya temannya yang lain, tak menggubris Daniel yang mulai kesal.

"Nggak tahu, paling berangkat bareng. Kemarin kan aku sama Alvin mau buang sampah. Eh, ketemu sama dua orang itu. Sivia teriak gitu ke Alvin, terus si Ify diem – diem salting gitu. Lucu banget mukanya waktu ketawa."

"Emang iya, Vin?" beberapa anak menoleh ke arah bangku belakang pojok tempat lelaki berkulit putih wajah oriental itu duduk dengan tenangnya.

Alvin mengangguk samar, tak terlalu peduli dengan teman – teman yang mulai menatapnya penasaran.

"Teriak gimana sih, Bas?" tanya Rio penasaran, disusul anggukan oleh yang lain. Memang, obrolan tentang Sivia selalu menarik di kelas ini – eh, lebih tepatnya di angkatan mereka.

"Alvin, dicari Ify, tuh. Dia teriak kaya gitu, kenceng banget sambil lari. Anak kelas lain juga ikutan noleh dengernya," ujar Bastian, si anak yang kemarin ikut Alvin membuang sampah di depan.

"Alvinnya gimana?" tanya Teresa, yang diam – diam ikut mendengarkan pembicaraan anak laki – laki di belakang.

"Tuh tanya anaknya aja. Gimana, Vin, rasanya dikangenin si Ify?" celetuk Bastian smabil menatap kembali ke arah Alvin.

"Apasih, kok malah Ify," sungut Alvin kesal. Ia paling tak suka diajak membahas si seinor yang suka mengejar – ngejarnya di Facebook. Bahkan semalam ia kembali dinotice gadis itu.

"WOO ATI – ATI SI GIA NTAR MARAH!" Seru Devan mulai mengompori Nagia yang duduk tak jauh dari Alvin yang membuat kedua mata belo gadis itu membelalak lebar. Gadis berambut pendek berhidung mancung tersebut langsung menghampiri lelaki bertubuh kurus kering itu, dan menjambak rambutnya beringas tiada ampun.

Nagia Weasley memang dikabarkan pernah dekat dengan Alvin. Bahkan menurut gosip yang beredar, Alvin pernah memberikan sebatang coklat untuk gadis itu saat dulu. Namun, Nagia menolaknya dan memilih berteman dengan lelaki berwajah oriental itu.

"Aampun Gi ampuun!" seru Devan, yang membuat teman – temannya tertawa kompak.

***

"Ooh, nggak jadi semester depan?" tanya Sivia setelah mendengar curhatan dari Rara dan Brenda mengenai perpindahan kelas yang kemungkinan akan dilakukan pada akhir bulan ini.

"Katanya gitu. Agak males aja udah enak disana. Anaknya rame bener," ujar Rara yang masuk di kelas B, kelas yang katanya punya anak – anak pintar, famous, dan berisik. Apalagi anak laki – lakinya yang rata – rata punya mulut ember.

"Terus gimana bisa tahu kamu masuk kelas Fisika, Olahraga, atau Matematika? Atau kelas reguler?" Sivia mulai tak paham dengan sistem sekolahnya yang baru. Di angkatannya, tak ada peminatan seperti itu. Semua disamaratakan, baik itu anak yang pandai dalam hal Matematika, Fisika, ataupun Olahraga. Bahkan di kelasnya sendiri, ketiganya ada.

Brenda refleks menegakkan tubuhnya, merasa setuju dengan pertanyaan Sivia. "Nah, itu. Katanya, pake nilai ulangan, sih. Dilihat nilai mana yang paling tinggi."

"Ribet banget, sih. Sebenernya buat apa coba?"

"Katanya, biar gampang kalau urusan OSN,"

"Tapi, kan kasihan yang nggak masuk kelas unggulan. I mean-"

"Nah! Itu maksudku!" ujar Rara menggebu – gebu. Menyetujui pendapat Sivia yang bahkan belum neyelesaikan kata – katanya.

"Aku ini yang khawatir. Kelasku, tuh, anaknya pinter – pinter. Pasti mereka banyak yang masuk ke kelas Fisika sama Matematika," ujar Rara pelan, wajahnya berubah menyendu.

Sivia menautkan kedua alisnya, agak bingung dengan kalimat Rara barusan. "Kamu, kan, juga pinter?"

"Cuma gara – gara nilai UN-ku bagus, bukan berarti aku sejenius mereka. Aku sampe harus ngimbangi biar nggak kalah sama mereka," ujarnya sambil mencuatkan bibir.

Memang, sih, Rara yang berada di kelas B alias kelas ungulan di angkatannya harus berjuang mati – matian agar tak tertinggal. Hampir semua murid kelasnya memiliki keunggulan di masing – masing bidang. Ada Daniel yang jago bicara di depan umum, Irene si anak guru yang bahasa asingnya kelewat lancar, Diandra yang setiap harinya berlatih soal fisika, hingga Abner si jago matematika. Murid lainnya pun juga memiliki keunggulan yang berbeda – beda.

Sivia's StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang