Pagi itu saat sedang belajar, aku melihat Dani berjalan terburu - buru. Setengah berlari , Dani menuruni anak tangga menuju gerbang sekolah. Tidak lama, Rendi menyusul sambil berteriak memanggil Dani. Aku melihat mereka dengan bingung dari balik jendela, begitu juga dengan Bu Yanti yang saat itu sedang mengajar Akuntansi.
Selang beberapa menit, diluar terdengar keributan. Banyak siswa meneriakkan nama Dani dan Rendi. Bu Yanti bergegas keluar diikuti oleh aku dan teman - teman sekelas. Rupanya Rendi dan Dani berkelahi. Tepatnya Rendi memukuli Dani. Aku melihat Rendi menyeret Dani dan menghentakannya ke atas aspal disertai dengan kata - kata umpatan. Terhuyung Dani berusaha bangkit tapi Rendi tidak memberinya kesempatan. Rendi mendaratkan beberapa tinju di wajah Dani, darah mengalir dari hidung dan pelipis kanan Dani. Tanpa perlawanan, akhirnya Dani ambruk di atas aspal tepat di depan gerbang sekolah. Aku berusaha menembus kerumunan siswa yang sedang mencoba menghentikan Rendi. Tak lama Pak Dedi Guru BP dan beberapa orang guru laki - laki datang lalu membawa Rendi ke Ruang BP. Sementara guru lain di bantu beberapa orang siswa mengangkat Dani yang tak sadarkan diri menuju ruang UKS.******
Dua tahun berlalu, aku dan Rendi tetap berteman baik. Ya, Rendi tetap menjadi penolongmu saat aku kesulitan memanjat tembok sekolah ketika akan melarikan diri dari kejaran pak Dedi.
Masih segar di ingatanku, ketika itu aku sedang berusaha memanjat pohon belimbing di belakang kelasku karena tidak mau mengikuti ujian praktek shalat. Rendi Merelakan bahunya untuk membantuku. Atau ketika aku dan Rendi harus mendorong motor Vespa tuanya yang mogok sambil hujan - hujanan.
Sekarang Aku dan Rendi sedang menempuh Ujian Akhir Sekolah."Sadira!!!" Seseorang membuyarkan pikiranku.
"hey kamu Ren, gimana ujiannya tadi?" aku bertanya sambil tetap berjalan.
"gak tau ah "jawabnya singkat sambil mempercepat langkahnya agar bisa berjalan tepat disampingku.
Rendi ini anak kelas IPS2 dia teman sejak SMP. Nasib baik kami bisa masuk SMU negeri, mengingat catatan pendidikan kami yang sangat minim. Aku dan Rendi memang banyak kesamaan, sama - sama pergi sekolah hanya ngisi absen saja. Kalau ditanya belajar apa saja sehari ini jangan harap kami ingat pelajaran itu. Dulu sih kalo ada yang tanya cita - citaku pasti aku jawab ingin jadi arsitektur tapi kenyataannya gak nyambung banget karena sekarang aku ada di jurusan IPS ( jaman dulu tahun 1998 -an anak-anak yang masuk jurusan IPS pasti anak gak beres alias bandel).
"eh es campur yu !"
"malas ah jauh " jawabku singkat. aku tahu tukang es campur yang Rendi maksud itu letaknya di depan terminal dan butuh waktu 15 menit jalan kaki kesana, berat rasanya berjalan sejauh itu dibawah panas matahari begini.
"ah kamu ... mau di traktrir aja malas, apalagi kalo disuruh bayarin" kata Rendi
"gak juga sih Ren, aku mau belajar" jawab ku
" alah gaya amat belajar emang kamu punya buku?? catatan aja kamu pasti gak punya kan?"
"iya juga sih hahaha " aku tertawa " tapi aku mau langsung pulang aja Ren, ya setidaknya walaupun gak belajar kan aku pulang cepat buat bantuin emak cuci piring " kataku sambil tersenyum
Tepat di perempatan jalan sebrang kantor polisi aku melambaikan tangan kearah Rendi dan terus melangkah berbelok menuju rumahku. Bener juga sih kata Rendi jangankan catatan, buku aja cuma punya gak lebih dari 5 buah. Kalo ada tugas selalu minta contekan sama teman yang otaknya agak encer sekalian sama kertasnya.
"Buu....." aku berteriak sambil membuka pintu
" Assalamualaikm dong kalo masuk rumah " terdengar ibu berkata dari dalam rumah
" Oh iya Assalamualaikum bu "
"Waalaikum salam Sadira." ibu menjawab "gimana tadi ujianya?"
"Ya gitu deh bu" jawabku singkat
"Ibu doain semoga nilainya bagus ya Dir."
"Amin bu"
"Jadi kamu sudah mikir mau lanjut kuliah kemana?" ibu bertanya sambil menarik tanganku agar duduk disampingnya "pokoknya ibu mah dukung aja kamu mau kuliah kemana rejekimah Allah yang ngatur Dir kamu jangan kecil hati walaupun ayah bukan pejabat yang banyak uang." ibu berkata dengan logat sundanya.
"Nanti bu aku cari info dulu" jawabku.
Ujian akhir sekolah sudah berlalu. Saat menerima hasil ujian, yang lain berdebar tapi entah kenapa perasaan aku biasa aja. aku lihat ayah dan ibu juga gak begitu cerewet masalah nilai, mereka taunya aku pergi sekolah belajar dan jadi anak baik. Tak lama lagi statusku akan segera berubah yang asalnya anak pelajar SMU akan menjadi mahasiswa.
Berikutnya, hari - hariku sudah mulai disibukan dengan berbagai urusan dokumen mulai dari foto, izasah, akte kelahiran dan segala kebutuhan kuliah. Kedua orang tuaku sangat bersemangat dan mendukung apapun pilihanku walaupun sebenarnya aku masih belum ada gambaran mau mengambil jurusan apa.
"Jadi kapan mulai bayar pendaftaran UNPTN Dir?" tanya ibu (jaman tahun 1998 UNPTN kalo sekarang namanya sudah berubah tapi tujuannya tetap tes masuk perguruan tinggi negeri)
" Besok sudah bisa bayar bu, formulir pendaftaran kolektif disekolah bu " jawabku sambil menoleh ke arah ibu yang sedang berusaha memasukan benang kedalam jarum jahit.
"Harga berapa Dir?"
" 50 ribu bu, tapi aku rencana mau daftar 3 jurusan jadi bayarnya 150 ribu bu."
" Oh boleh lah besok ibu kasi uangnya ya Dir " ibu berkata tanpa melihatku. Tapi belakangan ibu tahu bahwa sebenarnya formulir pendaftaran cukup beli satu saja seharga 50 ribu dan hal itu membuat ibu ngomel lebih dari 3 hari.UNPTN berlalu begitu saja tanpa perjuangan yang berarti. Rasanya terlalu mudah bagiku untuk mengisi lembar jawaban tanpa harus membaca soal. Kalau mau tahu hasilnya, ya tentu saja hasilnya sangat ngawur. Ayah menyarankan aku untuk mendaftar ke universitas swasta dan ini yang aku bangga dari ayah, dia sedikitpun tidak pernah mengecilkan niatku untuk kuliah walaupun kalau dilihat dari segi ekonomi biaya kuliah di swasta itu diluar kemampuannya. Ayah sering cerita, setiap kali ada uang lebih ayah suka menyimpan uang tersebut di bawah jok mobil di garasi kantornya. Sengaja disimpan disana biar aman katanya. ( entah aman dari apa maksudnya aku tidak begitu mengerti ).
Selama masa pendaftaran aku pergi sendiri atau kadang ditemani Wita sahabatku. Ya Wita sahabatku yang setia memberi aku contekan dan anak ini juga yang selalu membagi uang jajannya setiap hari. Wita biasanya di beri uang jajan 500 rupiah sama mamanya dan setiap hari dia berikan setengahnya buat aku, kalau suatu hari Witta gak dikasih uang jajan berarti aku juga ikut puasa atau cuma mintain jajanan teman yang lain.
Aku biasa pulang pergi ke Bandung menggunakan kereta lokal. "jinwes" biasa kami menyebutnya, entah apa artinya nama itu tapi yang jelas ini adalah alat transportasi andalan di daerahku terlebih bagi mereka yang bekerja di Bandung. Bisa dibayangkan bagaimana penuhnya si jinwes ini berangkat dari stasiun Cibatu pukul 05.00 pagi dan sampai di Bandung pukul 08.30 pagi, perjalanan terasa sangat panjang untuk kereta ekonomi dengan tarif 3 ribu rupiah dengan tujuan akhir Purwakarta. Jangan ditanya bagaimana setianya kereta ini berhenti dan menaikan penumpang di setiap stasiun yang dilewatinya, belum lagi harus rela berhenti lama di sebuah stasiun demi untuk mempersilahkan kereta lain yang mau lewat. Berhubung ayahku bekerja di PT.KAI jadi waktu itu aku menggunakan kereta api tanpa harus membayar alias gratis angggap saja kereta milik nenek kakekku. Terlebih waktu itu aku lihat sistem managemen PT. KAI belum sebagus sekarang, kalau sekarang jangan harap bisa naik kereta gratis masuk ke dalam stasiun aja sudah susah. ( untuk perubahan besar ini saya acungkan jempol buat PT.KAI dengan segala perubahan dan kenyamannya semoga semakin maju yesss!!!).
Kali ini Witta pergi menemaniku ke Bandung, tujuanku hari ini mau daftar kuliah ke ITENAS (tapi sayang ternyata di sana tidak ada untuk jurusan IPS), STIE YPKP yang sekarang sudah berubah nama menjadi Universitas Sangga Buana, lalu STIMIK BANDUNG yang semuanya berada di jalan Ph. Mustopa atau biasa disebut Jl. Suci (Surapati-Cicaheum). Waktu itu aku masih belum berfikir untuk berhenti di stastun lain selain kota Bandung, dari sana aku betul -betul mengandalkan petunjuk dari orang yang aku temui dijalan tentang jalur angkot yang harus aku naiki untuk menuju ke Jl. suci " paling kalau kesasar aku duduk aja di angkot karena nanti pasti akan balik lagi ke tempat aku naik" pikirku.
Satu -satu aku datangi kampus itu ditemani Witta yang aku ingat betul waktu itu memakai kaos biru dan tas selempang kecil berwarna hitam. Tujuan terakhir aku hari itu ke STIMIK BANDUNG. setibanya disana aku tidak langsung menghampiri meja pendaftaran, rasanya aku mau bersantai sejenak sambil menikmati sejuknya AC yang seumur - umur belum pernah aku rasakan. aku dan Witta memutuskan untuk duduk sebentar di ruang tunggu sambil memenjangkan kaki
"Lapar gak wit?" tanyaku
"Lapar sih, tapi nanti aja kalau urusan sudah selesai baru kita makan." jawab Witta
"Ya udah kamu tunggu disini ya, aku mau kedalam" kataku
" oke" jawab Witta sambil menyodorkan map berisi dokumenku yang sedari tadi dia pegang.
Didepan meja pendaftaran aku melihat ada 5 orang sedang menunggu giliran "ah sepertinya gak akan lama" pikirku. Memang betul tak butuh waktu lama aku menyelesaikan urusan pendaftaran dan keluar dengan memegang kartu peserta tes. aku melangkah menuju ke tempat dimana aku tinggalkan Witta tadi " dimana dia?" gumamku sambil menoleh mencoba menemukan Witta. Aku berjalan menuju loby lalu keluar menuju tempat parkir barangkali Witta menunggu di luar tapi disana juga aku tidak menemukannya. Aku berdiri sejenak sambil tetap berusaha menemukan Witta, aku memutar badan kembali kedalam gedung berjalan kearah tangga berfikir kalau saja Witta menunggu di lantai 2 atau lantai 3. Aku mulai panik karena disana juga Witta tidak ada, aku duduk di sebuah kursi besi membelakangi kaca besar yang mengarah keluar. Aku berusaha menenangkan diri agar bisa berfikir jernih walau tetap saja panik karena satahuku Witta sama sekali tidak membawa uang. Aku berdiri lalu berjalan keluar gedung menuju jalan raya, berjalan ke arah kiri gedung siapa tau Witta ada disalah satu pedagang kaki lima yang ada disana. Aku masih belum melihat Witta, aku mulai cemas sambil berjalan ke arah sebaliknya kembali memasuki gedung dan duduk diatas kursi yang sama sebelum aku keluar mencari Witta. Kakiku mulai lemas,pikiranku kacau gak jelas, mencoba menebak dimana anak itu sekarang "braaaaak...." terdengar suara keras seperti benda jatuh dari arah belakangku, aku menoleh kebelakang mencoba mencari tahu suara apa yang tadi aku dengar.
"Witaaaaaa" aku berteriak sambil berlari menuju keluar. ternyata Witta sedang duduk dibalik kaca tepat dibelakangku. ya..posisi kami duduk saling membelakangi
"Sadira......kamu dari mana?? aku lihat tadi kamu keluar tapi aku kejar malah gak ada " Witta berkata dengan berlinang air mata. Kami berpelukan penuh haru adegan yang sangat dramatis mirip film india (karena waktu itu drama korea masih belum jaman).
KAMU SEDANG MEMBACA
SADIRA
Teen FictionPosting pertama : 24/03/2018. 00.17 up date setiap minggu " Sadira, kalau punya pacar harus sama cowok yang suka mobil antik." kata Vidi " Apa hubungannya ? " Lu bayangkan aja, Mobil tua aja dirawat sampe mengkilat. Disayang - sayang , apalagi paca...