12

12 0 0
                                    

Aku masih berbaring dengan mata setengah terbuka, sementara hidungku mencium bau enak dari lantai bawah. Aku ingat semalam Gena tidur di sampingku. Aku mengangkat selimut memperhatikan pakaianku, memastikan bahwa semalam tidak terjadi sesuatu. “ Oh Syukurlah !” aku melihat ke arah jendela, di luar sudah sangat terang.

Aku beranjak dari tempat tidur, melangkah menuju lantai satu sambil berusaha merapikan rambut dengan jemariku. Rambutku sudah biasa menjengkelkan seperti ini.
Aku mendapati Gena sedang memasak di dapur. Tubuhnya masih basah keringat, pasti dia tadi keluar untuk joging. Aku duduk sambil diam – diam memperhatikannya. Seorang pria di dapur dengan tubuh basah keringat. Sudah jelas ini pemandangan seksi dan langka. Sempurna !

“ Ya Ampun !” Gena memekik,  terkejut melihat kehadiranku.

“ Kenapa ?” aku bertanya.

“ Aku kaget.” Katanya sambil mengelus dada, “ Kenapa kau turun ?mengganggu kesenanganku saja. “ Katanya. Gena berbalik kembali meneruskan pekerjaannya.

“ Aku mencium bau makanan enak dari bawah sini. Makanya, aku segera turun.  Takut kamu habiskan semua makanannya.”

Gena berbalik ke arahku, “ Dira, kamu menggagalkan kejutan yang mau aku buat.”

“ Oh iya ? Sorry !” Aku menangkupkan kedua telapak tangan ke arahnya.

Gena tidak menjawab, ia hanya melambaikan tangannya ke arahku. Lalu berbalik kembali memunggungiku.

Aku penasaran dengan apa yang sedang dia masak. Aku berjalan menghampirinya. Tapi, kaos oblong yang dia pakai sangat menggangguku. Sedikit basah, menempel di punggungnya yang berotot. Tulang belikatnya bergerak setiap kali Gena memotong sayuran.

Aku berdiri tepat di belakangnya sambil menikmati gerakan punggungnya. Aku berdiri cukup lama, sampai akhirnya tak mampu menahan diri. Tanganku bergerak melingkar di pinggangnya. Memeluknya dari belakang, menempelkan wajahku di punggungnya. Seketika itu juga Gena berhenti, tangannya meremas tanganku yang masih melingkar diperutnya. Gena berbalik ke arahku. Dengan ringan tanganku meraih wajahnya. Sambil berjinjit aku mencium bibirnya dengan lembut tanpa memberi kesempatan dia untuk bernafas atau membalas ciumanku.

Oh ya tuhan ! aku segera menghentikan ciumanku. Melepaskan tangan dari wajahnya sambil melangkah mundur. Napasku tersenggal dan gugup. Aku segera berbalik berlari meninggalkannya sambil menutup wajah dengan kedua tangan.

“ Hey, Sadira. Mau kemana ?” Gena tampak masih kebingungan.
Aku tak mau menjawabnya. Aku malu dengan serangan yang baru saja aku lakukan. Seperti orang kerasukan tiba – tiba mencium seorang pria di dapur. Baru bangun tidur, belum juga cuci muka apalagi gosok gigi.

“ Aaah bodoh !” aku menatap wajahku di cermin, “ Sadira bodoh !” aku berjongkok, merengek sambil mengacak – acak rambutku sendiri. Aku sangat menyesali perbuatan sesatku.

Aku berdiam diri di dalam kamar mandi. Merasa tak sanggup untuk keluar dan bertemu Gena.

“ Sampai kapan kamu mau di sana terus Dir ?” Gena berteriak dari luar. “ Ayo sarapan !”

“ Iya !” perlahan aku membuka pintu kamar mandi. Berjalan tertunduk menuju meja makan. Gena sudah berada disana. Dia duduk dengan tenang menatapku seolah tidak pernah terjadi apa - apa “ Nasi goreng dan teh manis.” Katanya sambil menunjuk ke atas meja makan.

“ iya.” Aku menjawabnya pelan, tanganku gemetar.

Gena makan tanpa berbicara sepatah kata pun. Dia sengaja mengabaikanku. Itu membuatku sedikit kesal, apakah ciumanku barusan tidak berarti apa – apa baginya ? aku merasa seperti tidak di inginkan.

“ Sadira, “ akhirnya Gena bersuara. “ Kenapa bersikap impulsif ?” Gena meletakkan sendok, lalu menatapku.

“ Aku ?” aku bingung.

“ Kamu bertindak impulsif dan harus bertanggung jawab.” Dia mengulangi perkataannya lagi.

“ Tanggung jawab ?”

“ Ya. Kenapa kamu menciumku ? “ Gena menatapku tajam.

“ Maaf, aku bertindak tanpa menyadarinya. Itu terjadi begitu saja.” Aku balas menatapnya, “ Aku hanya menciummu, kenapa aku harus bertanggung jawab ?” aku tak terima jika dia memintaku bertanggung jawab hanya karena satu ciuman.

“ Jadi kamu pikir aku ini apa ? sebuah hologram ? yang benar saja Sadira. Memang kau anggap aku ini siapa ?”

Aku diam. Otakku sama sekali tidak bisa mencerna perkataan Gena. Aku masih memikirkan tindakan memalukan tadi.

“ Ciuman tadi aku anggap bahwa kita sepakat berpacaran.” Ada sebuah penegasan dari nada bicaranya, “ Hari ini kamu menjadikan aku pacarmu dan meninggalkan Vidi. Begitu ?”

Aku tak menyangka Gena akan menyimpulkan begitu.

“ Ok. Aku anggap kita sepakat berpacaran ! ” Gena mengangguk sambil mengetukkan telunjuknya ke atas meja.

Aku hanya melihat ke arahnya dengan pikiran kacau. “ Ciuman gitu aja. Gak begitu enak pun.” Aku bergumam.

“ Jadi, aku harus menciummu lagi dengan lebih bergairah agar kita bisa menikmatinya ? “ Gena membelalak. Dia meletakkan sendok, lalu berdiri.

“ Bukan, bukan begitu maksudku.” Sial ternyata Gena mendengar ucapanku, “ jangan mendekat !” aku mengacungkan sendok kearahnya. Gena menuruti perintahku, ia kembali duduk.

“ Aku bukan pria yang penurut. Jadi, kamu harus berhati – hati !” Gena menatap kearahku, “ tapi aku orang yang sabar dan gigih.” Tambahnya sambil tersenyum licik. Ekspresi wajahnya berubah hanya dalam waktu  sekejap.

“ Iya.” Aku memasukkan nasi goreng ke dalam mulutku, lalu mengunyahnya perlahan. Aku menunduk memperhatikan piring. Nasi goreng ini sangat tidak enak. Teh manisnya juga tidak enak. apalagi suasana di ruangan ini, sangat tidak enak. Apa yang salah ? sementara aku lihat Gena makan dengan lahap.

Ciuman bergairah ? hanya kalimat itu yang bisa masuk ke otakku. Yang lainnya aku tidak bisa begitu mengingatnya. Bahkan sampai selesai makan dan mencuci piring.  Aku masih mengingat dua kata itu. Saat aku akan berbalik mengambil beberapa piring di atas meja, tiba – tiba Gena sudah berada di depanku dengan sebuah gelas kotor di tangannya.

“ Sorry.” Katanya.
Aku segera bergeser menjauh tanpa melihat wajahnya. Aku berjalan meninggalkannya sambil mengatur napas. 

“ Sadira !” Gena memanggilku. Aku berbalik ke arahnya. Dia sedang berjalan ke arahku.  Ada sedikit senyum di bibirnya. Entah ada rencana apa lagi kali ini. “ Lanjutin yang tadi yuk !”

“ Yang mana ?” aku mengernyit.

“ Itu yang kamu bilang gak enak.”
“ What ?” aku membelalak. Sepertinya Gena memang terlahir untuk membuatku kena serangan jantung. Aku mundur perlahan sedangkan Gena tetap melangkah dengan pasti.

“ Sadira.” Gena berhenti tepat di depanku. “ apa yang kamu pikirkan ?”

“ Gak ada .” jawabku pendek.

“ Kenapa kamu tidak berusaha jujur saja. Katakan kalau kamu juga jatuh cinta padaku.” Suaranya begitu tenang. “ seribu kali kamu berkata tidak, tapi sikapmu itu sudah sangat jelas terlihat.”

“ mas, tolong jangan memulai pembicaraan ini lagi. “ aku selalu merasa sulit setiap kali Gena membahas masalah ini.

“ Berhentilah bersikap kekanakan Dir, bukankah kita sudah sama – sama memulai ? bahkan pagi ini pun, kamu yang memulai.” Gena menatapku.

“ Maafkan aku mas.”

“ Jangan minta maaf. Gak ada yang salah Dir. Kita akhiri saja permainan ini, kita mulai hubungan baru dengan status yang lebih jelas. Untukku dan juga untukmu.”

Aku menunduk, menarik napas dalam dan berat, “ Aku sudah bertunangan mas.”

“ Persetan dengan statusmu itu.” Suaranya meninggi, “ orang yang sudah menikah puluhan tahun saja bisa bercerai. Itu lebih baik daripada terus dipertahankan dan lebih menyakiti.”

“ Vidi cowok baik mas. Aku tak mungkin menyakitinya.”

“ Sadira, apa sekarang kita tidak sedang menyakitinya ? dia bahagia dengan kebohonganmu.” Ucapan Gena memang ada benarnya.

“ Yang kamu rasakan saat ini bukan sayang atau cinta, tapi kamu kasihan padanya.” Gena menambahkan. “ Kamu gak tega berkata jujur karena takut dia terluka. Iya kan?”

Aku menunduk menahan air mata. Gena menarik tubuhku ke dalam pelukannya. Aku menenggelamkan kepalaku di dalam pelukannya dan akhirnya menangis. Tangan Gena mengelus rambut dan menepuk punggungku pelan. Beberapa kali pembicaraan seperti ini selalu berakhir dengan air mata. Aku sadar semua ini bagaikan gelembung yang akan pecah kapan saja.

“ Kita sudah melangkah sejauh ini Dir.” Suaranya lirih. “ Kita sudah sering mencoba. Tapi, akhirnya kita kembali saling mencari. Aku yakin, kita bukan orang yang hanya menginginkan kehadiran fisik satu sama lain“

Aku melepaskan pelukan, berjalan meninggalkan Gena begitu saja di ruangan itu. Kenyataan saat ini sangat berbeda dengan apa yang aku pikirkan kemarin. Ucapan Gena seolah menyadarkan aku untuk segera mengakhiri hubunganku dengan Vidi. Situasi berubah total hanya dalam semalam. Atau mungkin hanya dalam hitungan detik saja, saat aku menciumnya tadi.

Aku berdiri menatap kosong ke luar jendela. Melihat beberapa rumah di seberang jalan dengan acak. Pikiranku kosong. Aku mengambil Hp dari atas nakas, tak ada panggilan atau sms masuk.
Aku berjalan menuju pintu keluar. Setelah membuka pintu, ternyata Gena sedang berdiri di depan pintu. Dia sedikit terkejut dengan kehadiranku.

“ Ngapain mas ? sejak kapan berdiri di sini ?” Aku bertanya.

“ Sejak kamu masuk tadi.” Jawabnya, “ apa rencana kita hari ini ?” Gena berusaha mencairkan suasana.

“ Emmmm, no idea.” Jawabku. Sepertinya Gena sedang berusaha memperbaiki suasana hatiku.

“ Kita jalan keluar kota atau mau di rumah saja ?” sejenak Gena terdiam “ atau kita bisa jalan ke hutan, cari udara segar. Gimana ?”

“ Gimana kalau aku pikirkan sambil mandi ?”  aku berjalan cepat meninggalkannya.

“ lho kok. Pergi gitu aja ?” Gena mengikutiku dari belakang.

“ sorry mas, aku kebelet mau pipis. “ langkahku makin cepat “ bentar, sebentar aja please !” aku masuk kamar mandi dengan tergesa dan menutup pintu dengan sedikit keras.

“ Kamu marah ya Dir ?” Terdengar suara Gena dari depan pintu.

“ Marah kenapa ? gak marah kok mas.” Aku menjawab sambil membuka tutup closet “ Aku mandi dulu. Sabar ya !”

“ Maafin aku Dir, tadi aku sedikit keras.” Gena masih di depan pintu. Dia bertingkah seperti anak kecil.

Sesaat aku berdiri, bersandar pada pintu kamar mandi. Dengan ragu aku memutar kenop dan membukanya. Gena sedang duduk di atas sofa, ia menengadah dengan sebelah tangan di bawah kepalanya. Ia mendongak, wajahnya sedikit cemas tapi segera melembut ketika melihatku. Dia menatapku hati – hati. Hatiku luluh dengan sikapnya. Tanpa berkedip, matanya menyapu dari kaki hingga ujung kepalaku.

“ Kamu harusnya memakai baju rumah yang lebih pantas. Bukan kaos oblong kebesaran.”  Gena mendesah.

Aku merasa bukan pakaian ini yang dia maksud.

Dia bangkit perlahan berjalan ke arahku. Aku menunggunya dengan penuh antisipasi. Dia berdiri tepat di depanku. Matanya bersinar menatapku dalam, dia tersenyum yang lagi -lagi membuatku bergetar.

“ Cewek cantik dan wangi begini, bagusnya diapain ya?”  Gena mengedipkan sebelah matanya. Tangannya meraih helaian rambut di wajahku dan menyelipkannya ke belakang telinga.

“ Makanya mandi. Biar ganteng dan harum juga.” Bisikku. Suaraku tak dapat menyembunyikan getaran kacau yang sedang aku rasakan. Mataku bergerak menelusuri tubuhnya yang terlihat kekar. Lalu berhenti saat matanya menangkap basah mataku. Matanya meleber, menatapku penuh tanya.
Aku memberikan handuk dan memberinya jalan. “ Mandi dulu gih !”  aku mendorongnya ke kamar mandi.

“ Kenapa harus mandi ?” Dia bertanya, cemberut ke arahku.

Lucu sekali melihat Gena dengan ekspresi begitu. Sama sekali tidak seperti seorang Manajer HRD. Aku tersenyum sambil menarik pintu, memastikan pintu itu tertutup.

Aku meninggalkan Gena di sana. Berjalan menuju kamar untuk berganti pakaian. Mengenakan kembali kemeja dan jeans yang aku pakai kemarin. Kali ini sudah bersih, Gena mencucinya sekalian dengan pakaian dalamku. Sekali lagi aku berdiri di depan jendela, menatap keluar. Mencoba menata pikiranku agar lebih rasional.

Terdengar suara pintu dibuka dari luar, diiringi aroma segar dari sabun mandi yang Gena pakai. Dia menyembul dari balik pintu dengan bertelanjang dada.  Aku berkedip ke arahnya, tampilan dada yang seksi dan segar. Aku tak ingin menyentuhnya. Oh sial ! aku sangat ingin menyentuhnya.

“ Jangan salah paham. Pakaianku ada di sini.” Gena menunjuk ke arah lemari besar di pojok sana.

Aku tak menghiraukannya dan segera keluar meninggalkan Gena untuk berpakaian. Aku mendesah, menutup mataku sejenak sambil berjalan menuruni anak tangga. Apakah aku akan terus begini ? hatiku tiba – tiba menegang. Aku berdiri di ujung balkon sambil menatap ke bawah.

“ Kenapa Dir ?” terdengar suara Gena dari arah belakang. Aku segera  berbalik ke arahnya. “ Kamu kenapa Dir ?” Gena mengulanginya dengan nada cemas.

“ Gak apa – apa.” Jawabku.

“ Ada apa Dir ? cerita dong.” Gena membujukku.

Saat Gena berdiri di sampingku, aku merasa benar – benar konyol. Ada apa dengan suasana hatinya saat ini ? Gena tiba – tiba meraih tanganku. Tanpa alasan yang jelas menempatkan tanganku di antara kedua tangannya.

“ Kamu yang kenapa ?” aku merasa aneh.

Aku mendongak dan hanya menemukan sedikit senyum di bibirnya.

“ aku juga gak tau kenapa.” Gena tersenyum ke arahku. “ Kamu gak nelpon ?” Gena bertanya.

“ Nelpon siapa?” Aku mengernyit. “ Oh iya ...” Aku segera mengerti maksudnya. Gena ingin tahu kapan Vidi kira – kira sampai di Bandung.
Aku melepaskan tangan Gena, lalu berjalan sambil mengeluarkan Hp dari dalam saku celanaku.

“ Halo, Dir.” Terdengar suara Vidi dari ujung sana.

“ Vidi. Masih di rumah ?” Aku bertanya sambil melirik ke arah Gena. Dia sudah tidak ada disana.

“ Baru nanti rencana jam 2an dari sini.” Vidi menjawab “ Kangen ya ?”

“ Gak tuh. Maaf ya !”

“ Yakin ? nanti gue tinggal lu sedih.” Vidi mengolokku.

“ ih Vidi. Apaan sih ?”

“ Ya udah, nanti gue langsung ke kosan lu ya Dir.”

“Ok Vid. Bye.”

“ Bye Sadira sayang.”

Aku berjalan mencari keberadaan Gena. Ternyata dia sedang di halaman memanaskan mobil. Dia segera keluar saat melihatku. “ Kita jalan aja muter yuk ! melewati kebun dan hutan karet. Dari Padasuka sini, kalau diteruskan kita bisa sampai ke Lembang. “ Gena menjelaskan.

Sepertinya menarik, “ Oke ! “ aku mengangguk. “ Tapi, nanti aku langsung pulang ya mas.”
Gena mengangguk, lalu berjalan mengikutiku.

“ kita bisa makan siang di sana aja nanti.” Katanya sambil tetap berjalan menuju dapur. Aku hanya menolehnya sebentar sebelum menaiki anak tangga.

Aku menjejalkan pakaian dalam yang Gena belikan kemarin, sementara untuk baju dan wedgesnya sengaja aku tinggalkan saja di sini. Aku segera keluar setelah memastikan tak ada barang yang tertinggal, bergegas keluar dan menempatkan tas ranselku di jok belakang.

Aroma mobil ini sudah begitu familiar, sebentar lagi bercampur aroma parfume Gena. Pikirku sambil memperhatikan Gena yang sedang mengunci pintu. Dari luar, Gena menyadari tatapanku. Dia tersenyum sambil balas menatapku.

“ Kenapa ?” Gena bertanya. Dia duduk sambil menutup pintu mobil perlahan. Tiba – tiba dia mencondongkan tubuhnya ke arahku, tanpa melepaskan tatapnya ia mendekatkan wajahnya. Aku hanya terdiam kaku sambil menahan nafas. Oh tuhan, jantungku ! lalu memejamkan mata. Tangan Gena bergerak mengambil ujung seat belt dari sisi sebelah kiri tempat dudukku, lalu memasangkannya sampai terdengar suara klik.

Aku membuka mata, wajahnya masih sangat dekat dengan wajahku. wajah tampan dengan cukuran yang rapih.

“ Kenapa ? “ Gena menjauh setelah menyentuh ujung hidungku dengan telunjuknya. “ tatapan mata itu, sepertinya kamu kecewa.”

“ Kecewa ?” aku mengerjap.

“ Kecewa, karena aku hanya memasangkan seat belt.” Katanya tanpa melihat ke arahku lalu menghidupkan mesin mobil. “ Begitupun perasaanku saat kamu bersikap seperti tadi.”

“ Dasar pria pendendam !”aku berdesis.

“ Bukan dendam. Aku Cuma mau menunjukkan, bahwa kita pada dasarnya punya perasaan dan keinginan yang sama.” Dengan tenang dia berkata sambil menyetir. “ kita tidak hanya sedang menikmati kehadiran fisik satu sama lain saja kan ? “

Aku diam, bingung harus menjawab apa.

“ ada perasaan yang mendasari setiap sikap yang kita lakukan. Seperti tadi, tiba – tiba saja aku menerima ciuman. Ah ! harusnya kamu kasi sinyal dulu kalau mau cium, agar aku siap dan bisa menikmatinya dengan benar. “ Gena melihatku sebentar lalu kembali ke jalan.

“ Balik lagi aja yuk !” Gena sedikit merajuk.

“ Mas apaan sih ?” aku tersenyum melihat ekspresi wajahnya yang konyol. Seperti bukan dia.

Gena membawaku memasuki jalan perkampungan yang sempit dan menanjak. Semakin menanjak saat meninggalkan pemukiman penduduk.  Yang ada hanya kebun di sepanjang jalan. Aku menurunkan kaca mobil, menikmati udara segar.

Cuaca pagi cerah dengan udara sejuk seperti ini mengingatkanku pada kampung halaman ibu di daerah Garut selatan, bau tanah pertanian bercampur pupuk kandang menggugah kenangan masa kecilku.

Aku sangat menikmati pemandangan ini. Tenang dan damai. Memperhatikan deretan pohon tomat yang berjajar rapih diatas petak berlapis plastik mulsa. pohon cabe juga tak kalah subur, sepertinya sudah siap di panen. Aku jadi ingat ayah. Dulu kami tinggal di kampung dengan halaman belakang yang lumayan luas, hingga cukup untuk memelihara dua ekor sapi dan menanam cabe. Waktu panen adalah saat yang paling menyenangkan, ikut memetik cabe dan mengumpulkannya ke dalam keranjang bambu. Tak banyak yang kami panen, tapi itu sangat berkesan buatku. Melihat ayah yang sangat rajin dan bertangan dingin, mau mengerjakan banyak hal setiap sore setelah pulang kantor.

“ Segar kan ?” Suara Gena memecahkan lamunanku.

“ Iya segar, aku jadi ingat kampung halaman. “ aku membetulkan kembali posisi dudukku.

“ Mau pulang sekarang ?” Gena melirik jam tangannya, “ perjalanan sekitar 2jam. Gimana ?”

“ Mmmm, gak usah. Lain kali aja, mas.” Yang benar saja. Masa aku bawa Gena pulang, bisa – bisa ibu menggantung leherku.

“ enak kalau tinggal di tempat begini. Di kampung sejuk, tenang dan udara juga bersih. Tapi income kota. “

“ iya betul. Gak ada mall jadi uang kita banyak mengendap di bawah bantal.” Aku sangat setuju dengan pemikirannya.

“ Pernah bikin steak ?” entah dari mana datangnya, tiba – tiba Gena tanya begituan.

“ Gak pernah.” Aku menjawab aneh. Aku langsung teringat saat dimana Gena pertama kali mengajakku makan siang. Air liurku sedikit meleleh,  Tapi bukan steak itu yang aku bayangkan. Kalimat Gena membuatku membayangkan potongan daging besar diatas piring keramik yang akan mengeluarkan cairan beraroma khas dengan warna coklat bergradasi pink. Aroma daging yang dimasak sempurna pasti akan memanjakan lidahku.

Aku melirik ke arah Gena, air liurku meleleh semakin menjadi. “ Kenapa jadi ngomongin makanan ? “

“ Pas lewat kandang sapi tadi, aku  terpikir pengen coba masak steak, sepertinya mudah sih. Tapi bikin saosnya yang susah.”

“ Aaah pengen ! ini liur jadi menetes.” Aku benar – benar mengusap bibirku.

Gena menghentikan mobil dan berputar begitu saja, “ kita turun aja yuk ! belanja bahan buat bikin steak.”

“ lho kok ?” aku bingung dengan sikapnya yang tiba – tiba, “ kapan -kapan aja mas. “ tapi percuma, Gena tak akan menggubrisku. Dia memang seperti itu, kalau sudah ada rencana pasti langsung di jalankan.
Perjalanan pulang memang selalu terasa lebih cepat dari pada waktu berangkat. Terlebih jalan yang dilalui menurun. Gena membawaku berhenti di parkiran sebuah  supermarket di jalan Dago.

Aku berjalan di samping Gena yang sedang mendorong sebuah troli berukuran sedang. Tempat pertama yang kami datangi tentu saja sebuah kotak pendingin berukuran besar yang berada di ujung tempat ini. Gena memilih 4 pak daging has dalam berukuran sedang.

“ bumbunya ?” aku bertanya.

“ Sebelah sama .” Gena menunjuk rak aneka bumbu dapur. “ Kamu bisa masak ?”

“ Gak bisa.” Jawabku.

“ Gak bisa bukan berarti gak mau kan ?” Gena memiringkan kepalanya ke arahku, lalu menghentikan langkahnya. Dia berdiri di depan  rak berisi  botol – botol. Dia mengambil sebuah dan mengangkatnya ke arahku. Aku hanya menganggukkan kepala walau tak paham maksudnya. Dia tersenyum lalu bergerak mengambil kembali beberapa bahan yang dia butuhkan. Melihat tangannya penuh, aku menghampiri sambil mendorong troli.

“ kita butuh sayuran mas.” Aku mengingatkan.

“ Iya. Bawang bombai dan paprika. ” Tambahnya. “ jamur juga.” Sepertinya dia pecinta jamur.

SADIRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang