6

34 2 0
                                    

Bab 6
Sabtu, 14-04-2018

Aku mulai terjaga. Aku sadar bahwa sekarang aku sedang berada di dalam sebuah ruangan yang tenang. Yang pertama kali aku lihat adalah lampu neon panjang yang menempel pada langit - langit berwarna putih. Suara beberapa orang sedang berdialog dengan pelan. Suara benda yang di seret. Aku tahu, sekarang aku sedang berada di dalam sebuah rumah sakit. Ya, aku tahu kain pemisah berwarna biru muda ini. Kain yang dipakai untuk memisahkan antar tempat tidur di ruangan UGD.

Sedikit mengangkat kepalaku. Aku bisa melihat Vidi dan Jaung. Vidi berdiri canggung dengan wajah penuh khawatir. Sedangkan Juang, dia berdiri dengan tatapan kosong dan lemah.

Aku berusaha duduk " Auuuwh " mengerang. Kepalaku sakit sekali.

Vidi terperanjat dan segera menghampiriku. Jaung berjalan hampir bersamaan " Diam. Lu gak boleh masuk. Bangsat !" Vidi mengacungkan tangannya. Setelah Jaung mundur, Vidi masuk menemuiku.

Segera Vidi memegang tanganku, wajahnya pucat, air mata bergelayut di matanya. Vidi mencium tanganku berkali - kali " Maafin gue Sadira !" Vidi pun menangis.

Aku masih belum bisa mengerti, apa yang sebenarnya terjadi diantara mereka. Sambil mengusap kepala Vidi, aku melihat ke arah Jaung yang tengah berdiri kaku.

" Tolong Vid ." Aku meminta Vidi menegakkan tempat tidur. Dengan segera Vidi melakukannya. Dia mengatur tempat tidur agar badanku bisa sedikit lebih tegak.

Sekarang aku bisa melihat Jaung dengan jelas. Dia menatap lemah ke arahku, untuk beberapa saat pandangan kami terkunci. Lalu Jaung membuang muka.

Aku bertanya " Ada apa Vid?". Vidi hanya menggeleng

" Lu istirahat dulu Dir. " suaranya lembut.

Aku tak bisa menunggu untuk mengetahui semuanya. " Vidi mau cerita? Atau Dira minta Jaung yang cerita ?"

" Nanti gue cerita Dir. Nanti !" Vidi mengusap kepalaku.

" Dira mau ngomong sama Jaung !" kataku sambil mencermati wajah Vidi. " Please...!". akhirnya Vidi mau menuruti permintaanku. Dia pergi untuk memanggil Jaung lalu menunggu di luar

Jaung melangkah dengan ragu. Dia perlahan mendekatiku. Masih tak bersuara, Jaung mengusap sikutku yang sekarang sudah mulai terasa perih, lalu menciumnya. Tangannya bergerak mengusap wajahku, Jaung mengusap dan mencium pipiku " Maafin gue Sadira !" Suaranya serak dan berat. Aku bisa merasakan tubuhnya bergetar lalu menangis di atas bahuku. Aku tahu Jaung merasa sangat bersalah. Lebih dari sekedar perasaan bersalah.

" Jaung ini kecelakaan. Nanti juga sembuh." Kataku. Perlahan mendorong tubuh Jaung agar aku bisa melihat wajahnya. " Apa yang terjadi ? Kenapa kalian berkelahi ?" aku tidak sabar

" Gue yang salah Dir. " Jaung mengelap air matanya " Gue yang salah, gue merasa marah tadi. Gue cemburu. Gue merasa kalau Vidi menghianati gue."

" Maksudnya ? menghianati gimana?"

" Vidi tahu gue sayang lu Dir. Tapi ternyata...." Jaung tidak menyelesaikan ucapannya.

" Dira bingung. Maksud Jaung gimana?"

" Gue tadi mau ngomong sama lu Dir. Tadi gue mau nembak lu jadi cewek gue."

Entah mengapa aku merasa sedih mendengar kalimat itu. Masih membingungkan. Aku masih sulit mencerna ucapannya, cowok yang selama ini aku anggap teman. Ternyata diam - diam sayang.

" Selama ini gue bodoh. Gue gak sadar kalau lu dan Vidi dekat. Bukan sekedar sahabat." Jaung menarik nafas panjang " Hari ini, gue baru tahu dari Yeni bahwa kalian sudah pacaran dari tahun 99."

SADIRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang