14

10 0 0
                                    

Aku terduduk diatas kursi plastik putih di ujung tempat jemuran lantai 3. Mataku sedikit menyipit saat menengadah menatap langit pagi yang cerah. Sudah sejak subuh tadi aku duduk di sini dan sampai sekarang belum ada satu orang pun yang terbangun. Sudah lebih dari dua jam aku duduk dan mengumpat di dalam hati.

Dasar bodoh, perempuan gak tahu diri !

Ya ya ya, aku memang pantas diberi predikat perempuan murahan, atau perempuan sial. Aku melepas kepergian tunanganku dengan fakta pengkhianatan yang sangat menyakitkan.  Tapi mungkin mereka tak tahu bahwa sebenarnya hatiku saat ini sangat hancur.

Angin pagi menerpa wajahku, bukan dalam artian sejuk. Tapi rasanya sangat dingin sampai menusuk tulang. Suasana apa pun yang ada di sekitarku akan menjadi salah dan tidak nyaman.

Aku beranjak meninggalkan tempat yang “menyedihkan” itu. Berjalan menuju kamar untuk mengambil jaket dan kunci motor.

Aku menjalankan motor dengan tenang dan perlahan, menyusuri jalan yang belum begitu ramai. Hanya satu tempat yang terlintas di pikiranku sekarang, tempat yang membuatku sangat ingin dan berharap kebetulan bertemu Vidi di sana.

Sesampainya di cafe cowboy. Aku berjalan menuju salah satu meja yang menghadap langsung ke arah pagar kosan Vidi. Aku lihat disana masih sepi. Tidak seperti biasanya, angin pagi ini terasa lebih dingin dan sedikit kencang. Aku merapatkan jaket kulit yang aku pakai.

Sebetulnya aku tak begitu suka makan bubur ayam, tapi demi berada di tempat ini aku harus memesan. Aku meminta semangkok bubur ayam dan segelas teh tawar pada seorang pria berkaos merah yang wajahnya sudah tak asing bagiku.

Aku mendengar dua orang pria sedang ngobrol. Mereka duduk tak jauh dari tempatku. Aku tak peduli, mataku masih mengunci ke arah rumah bercat kuning di depanku. Sebenarnya aku sangat ingin berteriak memanggil Vidi lalu berlari segera setelah melihatnya keluar dari pintu itu. Pemikiran yang sangat mustahil.

“ Neng kangen bubur buatan saya ya ?” Pria berkaos merah berkata sambil meletakan pesananku di atas meja.

“ Iya nih bang.” Aku menoleh ke arahnya dengan sedikit senyum. Beruntung ada pelanggan lain memanggilnya. Aku berhasil bebas dari obrolan yang tidak diinginkan.

Tak banyak yang aku makan, karena memang bukan itu tujuanku ke tempat ini. Aku berjalan menuju meja dimana teko aluminium berada. Kupikir segelas teh hangat tadi masih belum cukup. Pria berkaos merah tadi membantuku menuangkan teh ke dalam gelas tanpa berkata apa – apa. Aku seruput minuman di tanganku sambil berjuang menguasai perasaan hatiku yang tak karuan.

Oh ya ampun !

Aku menjalankan motorku meninggalkan tempat itu, dan tujuanku berikutnya adalah caringin tilu. Tempat dimana biasa aku dan Vidi datangi. Di sana ada kedai kopi dengan kursi bambu yang akan menemani lamunanku. Jika ada yang bertanya hal apa yang membuatku kacau seperti ini, jawabannya tentu saja perasaan sakit dan penyesalan yang dalam. Perasaan sakit karena menyakiti.

Aku merasa hampa dan kosong. Apa saja yang aku lakukan saat ini rasanya tak berarti. Perasaan rindu dan takut sering datang menyelimuti. Aku hampir tidak bisa membedakan mana siang dan yang mana malam. Keduanya sama saja bagiku, begitu sepi dan gelap.
Melanjutkan skripsi dan selesai sidang dengan nilai sangat memuaskan, itu adalah hal luar biasa di tengah kondisi emosiku yang labil seperti ini. Setidaknya aku masih bertanggung jawab dan memikirkan kedua orang tuaku. Aku berusaha keras membuktikan kemampuanku demi membuat mereka bangga.

Aku duduk di atas kursi bambu yang biasa aku dan Vidi tempati. Menghadap lembah dengan pemandangan kota Bandung yang cerah. Mataku menerawang sambil membayangkan saat ini Vidi duduk di sebelahku.

Suara Hp mengganggu lamunanku. Aku biarkan saja berdering untuk beberapa saat sampai berhenti berbunyi. Tapi sepertinya si penelepon tidak menyerah begitu saja. Hpku kembali berdering. Dengan malas aku mengeluarkannya dari dalam saku celana.

“ Sadira. Apa kabar ?”
“ Saya sehat mas.”

“ kamu lagi dimana? Aku telepon ke kosan, katanya kamu keluar dari tadi pagi.”  Suaranya terdengar cemas.

“ aku hanya keluar untuk berolah raga.”

“ kamu dimana ? aku nyamperin situ ya.”

“ gak usah mas. Lebih baik kita tak usah bertemu lagi.”

“ Sadira.” Gena menarik nafas “ Tak perlu berlari untuk menghindariku. Aku tahu situasimu saat ini sedang tak baik. Kamu terguncang karena merasa bersalah. Tapi, setidaknya kamu harus berpikir rasional. Terima saja kenyataan bahwa yang ada di hadapan kamu saat ini adalah aku. Akulah pria yang kamu butuhkan saat ini. Cukup kamu jujur saja pada perasaanmu, jujur bahwa kamu juga mencintaiku.”

“ mas, aku sekarang mengerti apa arti mencintai. Mencintai adalah dimana ketika aku merasa bahagia, aku langsung memikirkannya. Saat merasa putus asa, aku memikirkannya. Dia adalah orang pertama yang selalu ingin aku lihat saat aku membuka mata. Dan dia juga orang yang selalu ada dalam ingatan.” Tanpa diperintah Air mataku jatuh. “ Mas, aku memang menyukaimu dan saat ini pun aku masih menyukaimu. Tapi hanya karena aku menyukaimu, bukan berarti aku akan menyukaimu selamanya. Apalagi mengalihkan cintaku padamu. Apa yang kita lakukan hari itu adalah kesalahan. Aku mohon maaf jika hal itu membuat segalanya diantara kita menjadi sangat rumit.”

“ Sadira ....”

“ Aku mohon maaf mas. Hanya itu yang bisa aku katakan saat ini. Selamat tinggal .” aku segera mengakhiri telepon.

Aku menunduk dan menangis sambil menutup wajahku dengan kedua telapak tangan. Aku berusaha menahan isak agar tidak terdengar oleh pengunjung lain.

“ Woi ! ngapain di situ ?” Suara seorang dari belakang mengejutkanku. Dengan ragu aku menoleh ke belakang. Rendi berdiri sambil membuka helm yang dia pakai. Tubuh jangkung dengan senyuman khas menatapku.

“Lagi nyanyi ! udah jelas lagi nangis, pake tanya lagi.”  Setengah kaget aku menjawab.

Rendi berjalan ke arahku. Langkah kakinya membuat lantai kayu sedikit berderit.

“ Ah ! cakep kok bodoh. Sudah jelas ada aku disini.” Rendi menepuk bahunya sendiri “  ngapain nangis di situ ? Sini Dir, kamu boleh nangis di bahu aku.” Tanpa sadar, aku mendekat ke arahnya lalu menyembunyikan wajahku di dalam pelukannya.

“ kamu boleh nangis selama yang kamu mau, Dir” Rendi menepuk punggungku pelan.

Awalnya aku merasa ragu dan malu. Tapi akhirnya aku menangis terisak tanpa pedulikan sekeliling. Entah bagaimana sosok Rendi yang biasanya jahil dan menyebalkan. Hari ini berubah menjadi sosok penyelamat.

“ Dir, kamu cewek cantik, kulit putih, mata kayak boneka India dan pinter lagi. Ya walaupun kau bukan tipeku, tapi aku yakin. “ Rendi menjauhkan tubuhku agar bisa melihat wajahku “ Aku yakin, pasti banyak cowok yang naksir dan cinta mati sama kamu.” Rendi tersenyum imut, seolah dia sedang berbicara dengan bayi.

“ Pesenin aku kopi !” Aku meminta sambil membuang muka. Beruntung sekali rasanya aku punya sahabat seperti dia.

“ Oke Dir ! aku temenin minum ya ? aku yakin setelah lama menangis , kamu pasti kehausan. “

Aku terkekeh kemudian menoleh ke arahnya. “ Kamu tuh ya Ren. Masih aja nyebelin.”

“ Aku memang nyebelin, tapi gak pernah bikin cewek nangis lho !”

“ Iya karena lu gak pernah punya cewek.”

“ aiiish kok tahu ?” Rendi mengernyit.

“ Tampang begini mana ada yang mau ,  Ren.” Aku menepuk bahunya.

“ Aku tahu, kamu lagi dalam masa yang sulit.” Wajah ya berubah muram. “ Tapi Dir, bagaimanapun hidup ini berjalan terus. Dan kamu harus move on menjalani hidup, bertahan hidup dan terus hidup. Pokoknya HIDUP !” Rendi mengepalkan tangannya.
Rendi merangkul bahuku. Sementara kepalaku bersandar di bahunya dengan nyaman.

“ Ternyata kamu bisa ngomong kayak orang waras juga ya Ren.”
“ Aku memang waras. Sejauh ini belum pernah ada orang apalagi cewek yang bikin aku gak waras. “ nada suaranya terdengar sedikit bangga.

“ Ngomong – ngomong, kok kamu bisa ada si sini ?”

“ Tadi aku lagi konvoi sama anak – anak motor. Kebetulan liat motor kamu. Makanya langsung berhenti di sini.” Rendi menjelaskan. Tangannya masih merangkul bahuku, “ Eh tahunya emang bener . Dir, lain kali gak boleh keluar begini. “

“ Keluar begini. Gimana maksudnya ?” Aku mengangkat kepalaku menatap ke arahnya.

“ Kamu keliatan banget lagi galau, patah hati. Kalau ada orang jahat gimana ?” Rendi membalas tatapanku. Mata kami terkunci untuk beberapa saat, secara refleks aku menjauh dan melepaskan tangannya dari bahuku.

“ Nah kamu, kenapa  rangkul aku ?”

“Lah kan kamu tadi yang peluk aku duluan.” Rendi menggeleng.

“ Iya sih.” Segera aku menyadari bahwa memang aku yang menangis di pelukannya.

“ Pokoknya Dir, jangan pernah kayak gini lagi. Kamu kalau mau nangis di rumah aja, atau kalau mau pergi ya ajak aku atau siapa saja untuk nemenin. Dunia ini jahat Dir.” Rendi mengambil kopi dan mengangkatnya ke arahku. “ Minum !”

“ Di situasi begini, kamu bisa saja bertemu dengan cowok. Kamu kenalan lalu ngobrol. Kamu bisa saja merasa nyaman karena memang lagi butuh teman untuk mengalihkan perasaan kacau. Bagaimana jika ternyata cowok yang kamu kenal itu bukan cowok baik – baik. Dia Cuma bajingan yang berpura – pura baik. “

Aku duduk dengan gelas kopi hangat di tanganku. Aku berusaha mencerna perkataan Rendi. Semua yang dia katakan memang ada benarnya.

“ Lapar ? udah sarapan belum ?” Rendi melihat jam tangannya lalu ke arahku.” Aku gak mau lihat kamu kurus apalagi mati kelaparan.” Belakangan dia memang lebih cerewet melebihi ibuku.

“ itu masih ada air mata. “ Rendi menyodorkan selembar tissue ke arahku. “ tar dikira aku yang bikin kamu nangis.”

Aku melihat sekeliling. Ada beberapa pasang duduk di kedai ini. Selewat mungkin mereka akan berpikir bahwa aku dan Rendi pasangan kekasih.

“ Ih, najis. “ aku segera bergeser  menjauh dari Rendi.

“ Apaan sih ? gak jelas gini.” Rendi mengernyit.

“ Kita kok kayak orang pacaran sih ?” ogah ah. Jangan duduk deketan !” kataku galak.

“ Tadi kamu yang peluk – peluk. Sekarang udah gak butuh bilang najis. Awas ya !” Rendi menarik rambutku.


****

SADIRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang