16

9 1 0
                                    


Aku menghempas tas begitu saja. Terdengar suara berisik saat menghantam jam walker di atas nakas. Sudah hampir setahun aku tak bertemu dengan Gena, paling hanya telpon atau sms . Aku biasa menaggapinya dengan ala kadarnya. Kehadiran dia beberapa jam lalu membuat perasaanku mellow gak jelas. Rasanya sudah betul, selama ini aku menghapus segala tentang Gena dengan sangat mudah. Sekarang tiba – tiba saja dia menampakkan diri di hadapanku. Hampir mirip virus flu yang datang di musim yang salah.

Cerita – cerita lama kembali muncul di kepalaku bergantian. Hampir semua kenanganku dengan Gena adalah kenangan manis, tapi semanis apapun itu tetap saja aku tak ingin mengingatnya lagi. Dengan memandangi foto Vidi aku berbaring sambil memeluk guling. Perasaan bersalah semakin menyiksa setiap kali aku melihatnya. Aku selalu berpikir bahwa aku adalah cewek menyeramkan yang wajib di hindari oleh cowok baik seperti Vidi. Kalau Yeni bilang sih, " Dira cantik, Cuma kasian cowok –cowok kalau deket sama kamu mah."

" Lho, kasian kenapa ? Dira kan cewek baik –baik."Aku menyanggah.

" Memang baik sih, Cuma kamu tipe cewek yang akan dengan mudah memporak - porandakan perasaan cowok. " . Kalimat itu memang harus digaris bawahi. Kalimat bersayap yang artinya dalam banget. Beruntung Yeni gak bilang begitu pas kejadian cinta segi tiga ku terciduk. Kalau dia berani ngomong begitu sudah pasti aku tabok.

Ting tong ! suara bel memecahkan lamunanku. Paling juga temannya kang Iwan atau bang Parlin yang datang. Cuma mereka yang bertamu dengan memencet bel terlebih dahulu. Si tamu sepertinya sedikit tidak sabaran, ia menekan bel sekali lagi. Membuatku berubah pikiran untuk menunggu orang dari lantai 2 saja yang membuka pintu.

" Ya, Sebentar ! " Aku sedikit berteriak sambil berjalan menuju pintu. Dengan malas aku memutar kunci dan menarik pintu sampai terbuka lebar. Sosok pria jangkung berkulit putih yang tadi aku temui di kantor sedang berdiri di sana. Senyumnya mengembang dengan tatapan berbinar.

Aku mengerjap. Masih mencoba meyakinkan dengan apa yang aku lihat. " Mas Gena." Aku terbata, merasa kaget dengan kehadirannya. Sejenak aku masih berdiri sambil memikirkan apakah dia harus dipersilahkan masuk atau tidak. Beberapa saat mata kami beradu pandang tanpa satu pun bersuara. Pandangan kami terlepas saat Gena berdeham. Aku segera melangkah mundur dengan canggung. Suasana terasa sangat tidak nyaman.

" Mau masuk, mas ?" Tanyaku datar. Aku tak berniat mempersilahkan dia masuk,jadi lebih baik mengajukan pertanyaan begitu agar dia sadar dengan ke enggananku.

" Boleh, aku gak lama kok." Jawabnya.

Aku bergerak membiarkannya masuk dan mengambil tempat duduk. Gena duduk di atas sofa dengan nyaman. Matanya bergerak menyapu seluruh ruangan, lalu memandangku yang masih berdiri sambil memegang handle pintu.

" Kamu gak duduk,Dir ?"

Ketika aku melangkah, dia mengeser seolah memintaku untuk duduk di debelahnya. Aku berhenti tepat di depannya. Menatap kedua bola mata berwarna coklat miliknya. Aku biarkan dia membalas tatapanku, dan berpikir keras menilai perasaanku saat ini.

Aku lebih memilih duduk di depannya. Ini lebih baik dan adil.

" Tadi kenapa pulang duluan ?" Gena bertanya.

Pertanyaan aneh. Kenapa dia berpikir aku harus menunggunya untuk pulang bersama. Aku merasa tak perlu menjawab pertanyaan tersebut. Hanya menatap untuk mempelajari ekspresi wajahnya. Ternyata masih tetap seperti dulu, tak ada yang berubah sedikitpun. Termasuk cara dia duduk, berbicara dan bersikap. Semuanya masih sama seolah tak pernah terjadi apa-apa.

" Tadi aku pulang sama teman, mas. Dia sudah nungguin di basement." Jawabku.

" Oh, temen yang selalu jemput kamu setiap hari itu ya ? yang kadang nungguin sampe ketiduran di ruang depan ?" Gena tahu sedetil itu. " Cowok jangkung yang pake motor Ninja."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 28, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SADIRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang