7

14 0 0
                                    

Vidi menjalankan motor dengan kecepatan sedang, meluncur melalui jalan yang tidak pernah aku lalui sebelumnya. Sore itu cuaca cerah. Aku mendekap tubuhnya dari belakang sambil menyandarkan kepalaku di punggungnya. Aku menikmati aroma deodorannya yang bercampur keringat. Tubuhnya sedikit berisi karena terbalut jaket parasit berwarna hijau armi.
“ Jangan tidur !” katanya
“ Gak tidur kok. Peluk aja “ jawabku “ Mau kemana kita ?”
“ Cartil. Ngopi .” jawabnya singkat.
Aku tak ingat jalan yang kami lalui. Yang aku tahu, kami melalui jalan yang sama ke daerah kosanku. Melaju terus melalui jalan Cicaheum menuju Caringin tilu. Menempuh jalan menanjak. Kami berhenti di sebuah kedai kopi sederhana di pinggir jalan. Kami memasuki kedai, duduk lesehan beralas tikar menghadap ke arah lembah. Dari sini kami bisa melihat kota Bandung, menghampar luas. Aku membayangkan sebuah maket yang terbuat dari karton.

Vidi menghirup kopi yang di sajikan dalam sebuah gelas bening dengan gambar bunga berwarna kuning. Sejenak matanya melirik usil ke arahku. Matanya berkilau melalui sela gelas yang menempel di bibirnya. Vidi meletakan gelas tersebut sambil menyeringai. Lalu memandang ke arah kota.
“ Coba lu cari. Mana mesjid Agung ?”
“ Em..... “ Aku mencermati pemandangan di depanku “ Aku tahu yang itu kan ?” aku menunjuk sebuah bangunan yang sangat jauh. Berwarna putih dengan sebuah bola mengkilat di atasnya.
“ Oh oya bener. Sekarang mana kosan gue ya ? “ Vidi mengernyit. Matanya bergerak mencari
“ Gak keliatan Vid. Terhalang bangunan lain.” Kataku.” Vid ...”
“ Ya Dir.” Dia memberi pandangan padaku
“ Gimana bisa kepikir. Eeem maksud Dira, apa gak terlalu cepat ?”
“ apanya ?” aku tahu Vidi pura – pura tak mengerti arah pertanyaanku
“ Ya Tunangan. Kita kan masih belum lulus, Vidi juga Manajemen masih belum selesai. “ aku berhenti sebentar. Mengamati wajahnya yang tenang “ apa gak buru – buru ?”
“ Buru – buru ?” Vidi menggeser posisi duduknya “ Kita pacaran dari tahun 99 Dir, sekarang sudah mau 2002. Sudah hampir tiga tahun Dira sayang.” Vidi meraih gelas dan memainkan jarinya di atas gelas.” Lu takut gue gak mampu ?”
“ Bukan itu maksudnya Vid. Umur kita masih 20an. Apa gak terlalu muda ?”
“ gak lah. Kan gue bukan langsung ngajak nikah. Gue Cuma mau lebih tenang aja, dan menunjukan keseriusan gue.” Ia berhenti sejenak, menatapku serius “ Dengar ya Dir, gue dari kecil diajari tanggung jawab. Komitmen dan bersungguh – sungguh dengan apa yang gue jalani. Hari Senin kemarin, Gue sudah resmi jadi karyawan di kantor itu. Gue sudah resmi menandatangani kontrak kerja. Artinya secara materi gue bisa menafkahi lu nanti. Lu khawatir manajemen gue gak selesai?”
“ Iya “
“ Selesai UAS semester ini, Gue mau pindah ke kelas malam. Jadi gue bisa kuliah tanpa meninggalkan pekerjaan. Aman kan ?” Vidi mengangkat kedua alisnya.
Aku diam. Sebenarnya bukan itu inti dari pertanyaanku. Aku bahagia Vidi melamarku, tapi disisi lain aku merasa kalau ini terlalu cepat. “ Terus ?”
“ Terus apanya ? “ Vidi balik bertanya “ Oh gue ngerti. Lu mau bahas masalah orang tua kita kan ?”
“ Iya.” Sepertinya Vidi menangkap  isi pikiranku
“ Kalau boleh sih. Lamaran resmi ke orang tua nanti aja bulan Januari di tanggal yang sama. “ Vidi melemparkan senyuman penuh arti.
Aku bisa mengerti maksudnya. Vidi ingin melamarku secara resmi di tanggal yang sama. 24 Januari.
“ Gue sudah bicara sama ayah.”
“ oh ya ?” aku terkejut
“ Iya. Waktu terakhir ketemu itu. “
“ Oh ini yang di sebut pembicaraan pria dewasa. “ aku mengerlingkan mata
“ ha ha ha iya lah. Gue dah dewasa. Sudah punya SIM dan gaji tetap. Jadi gue gak akan bikin lu kelaparan Dir. “
“ Lalu, nikahnya kapan?”
“ Lah. Lamaran resmi aja belum. Lu udah pengen nikah aja langsung.” Vidi menarik tanganku “ ketahuan nih. Dira yang ngebet pengen nikah ha ha “ dia tertawa renyah
“ Iiih siapa bilang. Kan Cuma tanya .”
“ Itu kita bahas kalau Lamaran sudah selesai. Yang pasti gue gak akan buru – buru minta nikah. Kita kan masih harus sidang dulu, dapat ijazah, wisuda baru IZAB SAH .” kata terakhirnya membuatku tertawa.

Vidi menarikku semakin dekat dengannya. Aku melipat kedua  tanganku di atas meja, aku meletakan dagu diatasnya. Pandangan lurus memperhatikan miniatur kota Bandung yang sudah mulai bercahaya. Vidi mencium kepalaku dengan lembut lalu memainkan rambutku dengan satu tangan, sementara tangan yang lainnya memegang gelas. Aku membalikkan wajahku ke arahnya, masih bertumpu pada kedua tangan. Vidi mengusap wajahku lembut. Darahku mengirimkan pesan kenyamanan ke seluruh tubuh. Tatapan matanya terasa begitu intens membuat tenggorokanku mendadak kering. Aku menelan ludah sambil berusaha melarikan diri dari tatapannya.  Aku menyaksikan wajahnya memerah. Vidi mencondongkan wajahnya, membungkuk ke arahku. Aku memejamkan mata “ Jangan mikir macem – macem “ aku terkejut. Aku pikir dia akan menciumku. Sialan !
Aku hanya tersenyum. Merasa konyol “ Dira mikir satu macem aja kok. “
“ Mikirin apa.” Nafasnya begitu dekat
“ em ... “  menutup sebelah mataku. Mengeryit “ apa ya ? ha ha ha “
“ I LOVE YOU SADIRA “ Vidi menciumku. Bibirnya mendarat dengan cepat di pipiku. Akhirnya dia menciumku. Yes ! aku bersorak dalam hati.

SADIRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang