9

23 0 0
                                    

Bab 9

" Brengsek, dasar perempuan murahan ! tak tau diri!" teriakan seorang perempuan dari luar rumah begitu keras sehingga menembus alam bawah sadarku. " Kau tak lihat, aku ini istrinya dan ini anaknya." Teriakan itu semakin nyaring terdengar diiringi suara isak tangis seorang anak perempuan.

Setengah sadar, aku duduk di atas tempat tidur. Suara cacian perempuan itu masih terdengar semakin tajam mengerikan. Aku menoleh jam dinding. Pukul 16.30, artinya aku tertidur sekitar 30 menit.

Suara keributan dari luar rumah semakin menjadi, entah siapa dengan siapa. Aku melangkah keluar kamar sambil mengikat rambutku yang acak - acakan. Ternyata, di ruang tamu sudah ada Yeni, Uni, bang Parlin dan Yudi. Mereka berdiri di depan jendela sambil melihat keluar penuh penasaran.

" Ada apa sih, berisik amat ?" Aku bertanya kepada siapa saja yang mau menjawab.

" Ssssstttt !" Yeni menempelkan jari telunjuk ke bibirnya." Sini !" Yeni menarik tanganku.

Aku berjalan lalu menempatkan diri diantara mereka, berdiri di depan jendela sambil menyaksikan dua orang perempuan sedang bergelut dan saling jambak. Seorang anak perempuan menangis histeris, dia tampak bingung dan ketakutan. Tak ada seorang pun yang melerai perkelahian itu.

" Bang Parlin, kenapa gak keluar aja ? kalau ada yang celaka gimana ?" entah kenapa aku merasa iba pada perempuan muda yang berbaju hitam, sepertinya ia kewalahan membendung serangan perempuan satunya.

" Sssstt ! jangan ikut campur Dira, ini urusan keluarga. Siapa suruh dia selingkuh." Kata Parlin setengah berbisik.

" Siapa yang selingkuh ?" aku kaget.

" Itu, bapak polisi yang tinggal di kontrakan depan." Yeni menjawab.

" Pak polisi yang ganteng itu ?"

" Iya betul Dir, yang gemuk itu istrinya dan itu anaknya." Yeni menjelaskan.

" Parah !! kok bisa ?"

" Si bapak itu lagi indehoy sama pacarnya, istrinya datang lalu beginilah jadinya " Bang Parlin menambahkan.

" Tapi bang, apa gak kasian sama anaknya? Dia kan gak ngerti apa - apa." Aku memperhatikan anak perempuan berjaket merah yang sedang menangis diantara ibu dan pacar ayahnya.

" Tuh tuh Pak RT datang, syukurlah !" Yeni terdengar lega." Sialan kemana suaminya ? "

" Banci kali cowok itu, apa dia kabur ?" Bang Parlin berkata sambil tetap melihat keluar jendela.

" Oh itu dia keluar." Aku menunjuk seorang pria berwajah tampan keluar dari kamar dengan telanjang dada. " Oh kenapa jidatnya si bapak itu ?" Aku menunjuk wajah pria itu.

" Bagus lah, suami begitu memang pantas dihajar. Menurutku itu masih kurang, harusnya dikebiri sekalian." Yeni berkata penuh amarah.

" Sadis banget kak." Yadi menoleh sambil tersenyum ngeri.

Keributan di luar perlahan mereda setelah pak RT mengajak mereka bertiga masuk ke dalam kamar, sedangkan anak perempuan tadi masih duduk di teras dengan wajah bingung. Aku sangat iba melihatnya, sehingga berinisiatif untuk keluar dan menghampirinya.

" Hey de, namanya siapa ? " aku duduk di sebelahnya.

" Aku Tessa " anak itu menatapku dengan mata berair.

" Main ke rumah kakak yuk, disana !" aku menunjuk ke arah depan. Anak itu melihatku lagi, tapi aku tak tega untuk membalas tatapannya. " Kamu haus gak ?" aku bertanya lagi, berusaha membujuk.
" Iya " jawabnya.

Aku berdiri sambil menarik tangannya pelan, Tessa pun ikut berdiri dan mengikutiku memasuki rumah.

" Tessa ikut ke atas aja, kita minum sambil nonton kartun, Gimana ? " Aku sedikit tidak yakin jika jam segini masih ada film kartun.

SADIRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang