8

15 1 0
                                    



Sore itu, aku duduk di lantai atas sambil menikmati cemilan murahan yang aku beli di jalan. Langit masih berwarna biru cerah. Tiga bulan berlalu sejak pertunangan aku dan Vidi berlangsung. Tugas kerja praktek sudah selesai, begitu pun laporannya, jadi tidak ada alasan bagiku untuk datang kembali ke perusahaan itu. Harusnya semua sudah berakhir. Tapi ternyata tidak, sampai sekarang aku masih hidup di dua dunia. Aku telah mengikatkan janji dengan Vidi, bersedia menjadi calon istrinya.

Tapi Gena, sama sekali tidak bisa terpisahkan dari kehidupanku. Walau awalnya aku selalu merasa terintimidasi setiap kali berada di dekatnya Tapi sekarang perasaan itu berubah.

Beberapa kali aku mengatakan " telah berakhir". Tapi sekian kali juga kami saling mencari dan menemui. Entah ikatan apa yang terjalin diantara aku dan Gena. Gena seolah tak mau menyerah dengan statusku yang sudah bertunangan. Kemarahannya saat mengetahui pertunanganku waktu itu sebetulnya sudah cukup alasan buat kami berpisah. Tapi ternyata tidak semudah itu. Gena malah dengan percaya diri mengajak aku makan siang bersama kedua saudara dan iparnya.

" Kamu memang sudah bertunangan. Tapi bukan berarti aku menyerah." Kata - kata Gena masih aku ingat dengan jelas. Sekarang aku merasa menderita dan terbebani dengan permainan yang aku mulai sendiri.

Aku menarik nafas panjang, dadaku terasa sesak. Aku melihat bungkus rokok di atas meja. Pasti milik kang Iwan, karena hanya dia yang merokok merk itu. Aku mengeluarkan sebatang rokok dan menyelipkannya di bibirku, lalu menyalakannya. "aaaaaaah !" aku hisap dalam lalu menyemburkan asap ke atas sambil menengadah "pergilah tukang sihir !" aku bicara sendiri sambil mengawasi asap mengepul yang kemudian menghilang terbawa angin. aku tersenyum, bau rokok ini membuatku teringat waktu pertama kali mengenal Imas, saat itu dia sedang menangis sambil merokok di belakang mesjid kampus. Aku tak pernah bertanya alasan dia menangis, aku hanya duduk di sebelahnya dan menerima tatapan aneh dari seorang gadis yang sepertinya sedang depresi.

" Kalau semua lagi diluar kendali. Memang gak ada salahnya kita nangis. " aku berkata pada Imas tanpa menolehnya.

" Sok tau " Imas membuang rokoknya lalu mengusap air matanya

" Kenapa di buang ? masih panjang. " aku menunjuk ke arah rokok yang baru dia lemparkan. Imas tidak menjawab. Dia menangis kencang sambil memeluk lututnya. Aku diam diantara suara isak tangis Imas. Cukup lama dia menangis, hingga akhirnya reda dan berhenti.

" Kamu Sadira kan?" Imas bertanya dengan suara pelan dan serak

" Iya. " jawabku singkat " sebenarnya aku mau peluk kamu. Tapi kalau orang liat nanti jadi salah paham. Mending gak usah dipeluk. He he " aku berusaha melucu.

" peluk? Anjiiir gue cewek normal." Imas membelalak ke arahku " gue gak butuh pelukan !"

" Aiiits jangan salah sangka. Gue cewek normal juga, suka cowok ganteng, tajir dan brewokan. Makanya gue gak mau peluk lu Mas ." aku tersenyum.

" Rokok ?" Imas menyodorkan sebungkus rokok ke arahku.

" Dira gak ngerokok. " jawabku " tapi boleh deh, coba satu." Aku mengambil bungkus rokok lalu mengeluarkan sebatang dan menyelipkan di bibirku. Imas mengeluarkan korek gas dari saku celananya dan menyalakan rokokku.

" waaah Dira. Masa ngisap rokok begitu, kayak kuda !" Imas terkekeh " Gini nih." Segera Imas mengambil rokok dari tanganku. Ia menghisap dalam lalu menghembuskan asap perlahan , ia memonyongkan mulutnya sehingga asap yang keluar berbentuk lingkaran.

" hahah lucu " aku terkekeh melihat kelakuan Imas.

Wajah sedih Imas perlahan pergi bersama pembicaraan kami siang itu. Sampai sekarang kami masih berteman baik, hampir tak ada rahasia antara aku dan Imas. kecuali hubunganku dengan Gena, sepertinya akan tetap aku tutup rapat dari siapa pun.

Langit semakin gelap, aku segera beranjak dari tempat yang menyedihkan ini. Aku menuruni anak tangga, melalui ruang TV, ada kang Iwan dan Parlin sedang duduk.

" Habis merenung ya Dir ?. " Parlin berteriak ke arahku.

" Bang Parlin tau aja." Jawabku " Dira ke kamar ya bang !" aku melemparkan senyum ke arah mereka lalu berjalan ke lantai satu menuju kamar.

" Sadira !" Vidi memasuki ruang tamu. Lalu berjalan ke arahku.

" Vidi." Aku tersenyum. Entah kenapa aku tidak merasa begitu senang dengan kedatangannya. Aku sering merasa kesepian walau Vidi ada di sampingku. Begitu juga saat aku bersama Gena.

" Kok gak telepon dulu Vid ?" Aku bertanya.

" Tadi gue telepon. Tapi lu gak jawab."

" Oh iya. Hp dikamar, ini baru mau masuk."

" Emang dari mana ?"

" Dari atas. Jemur. " jawabku. Lalu duduk di atas sofa.

Vidi mendekat dan duduk di sampingku. " ada yang mau gue omongin Dir." Vidi memandang ke arahku.

" Serius amat. " aku mengedipkan mataku beberapa kali, mencoba menggodanya

" Emang serius." Vidi tidak melepaskan pandangannya dariku. " Tadi gue terima email dari kantor pusat. " Vidi menarik nafas panjang. Dia memiringkan duduknya ke arahku " Gue dapat tugas belajar di singapura."

" Wow ! keren Vid. Selamat ya. " Aku berkata sambil memegang bahu Vidi.

" Lho kok senang sih ?" Vidi membelalak ke arahku. " Aneh lu." Wajahnya berubah sebal.

" Kok aneh. Bukannya bagus kalau Vidi dapat tugas belajar ? "

" Singapura Dir. setahun lebih. " jawabnya.

" Singapura kan dekat Vid. Cuma 2 jam pake pesawat. Kenapa Vidi seperti gak senang dapat kesempatan begini ?"

Vidi diam, ia menarik nafas panjang dan berat. Aku juga diam, mencoba memahami apa yang dia pikirkan saat ini. Vidi menyandarkan kepalanya di bahuku sambil menggenggam tanganku.

" Gue senang tapi gue juga bingung." Suaranya pelan. Tidak seperti Vidi yang biasanya. " Kita jadi jauh. Gak mungkin juga gue pulang sebulan sekali."

" Maunya Vidi gimana ? Dira harus gimana ?" aku bertanya sambil mengusap punggung tangannya.

" Kalau lu mencegah, gue gak akan berangkat Dir. Gue bisa kabarkan ke kantor mumpung masih ada waktu buat cari pengganti gue. "

" Vid, Mencintai itu bukan berarti harus membatasi atau memaksakan kita harus bersama. Buat Dira saat ini memang lebih baik kita fokus buat karier masing - masing." Aku berkata selembut mungkin.Berusaha agar Vidi tidak salah paham " Toh kita juga butuh bekal buat berumah tangga. "

" Lu yakin gak apa - apa ditinggal ?" Vidi memandang ke arah ku.

" Yakin. Pokoknya Dira dukung yang terbaik buat Vidi. Dan Dira juga disini harus ngebut selesaikan skripsi. " Aku tersenyum ke arahnya. Menatap bola matanya mencoba meyakinkan.

" Tungguin gue ya Dir !" Vidi meraih tanganku dan menciumnya lembut. Cowok seperti Vidi bisa berubah menjadi begitu melankolis.

" Udah Vidi pergi yang tenang aja. Jangan banyak pikiran. " aku mengecup kepalanya.

" Bulan depan gue pergi Dir. "

" Ya bagus. Kita masih ada waktu satu bulan buat persiapkan segala keperluan buat ke sana."

" terutama gue harus persiapkan hati gue. Kita kan sebelumnya g pernah jauh. " Vidi berkata.

" Iya. " jawabku sambil menyandarkan pipiku diatas kepalanya.

" Gue gak mau pulang malam ini. Mau deket Sadira. "

" Huuus ngaco eh Vidi." Aku tertawa.

Sejenak suasana hening. Terdengar suara Parlin dan Kang Iwan sedang ngobrol dari lantai dua. Suara jarum jam bergerak berirama. Selebihnya, suara gerimis kecil dan lembut.

" Makan yuk !" Vidi mengangkat kepalanya

" Belum mandi " jawabku

" Gak usah mandi. Udah cantik kok."

" Gombal " Aku tersenyum ke arahnya " tapi ini masih hujan Vid " Aku menoleh ke arah jendela

" Gue bawa mobil kok Dir. " Vidi berdiri lalu menarik tanganku lembut.

Aku beranjak, melangkah mengikuti Vidi menuju keluar. Kami berjalan berpegangan tangan menyusuri gang menuju ke jalan besar. Aku merasakan perubahan sikap Vidi, dia menjadi sangat lembut dan pendiam.

Sepanjang perjalanan Vidi menyetir sambil diam. Aku pun tak berani memulai pembicaraan, hanya sesekali menoleh kearahnya untuk memperhatikan wajahnya. Matanya menerawang, ke arah jalan kemudian meraih tanganku saat menyadari bahwa aku sedang memperhatikannya.

" Kita makan sate di Simpang Lima aja. Gimana ?" Vidi bertanya

" Boleh. Lagian sudah lama kita gak ke sana."

" Iya. Gue terlalu sibuk sampe gak sempat ajak lu keluar. " lagi - lagi Vidi menghela nafas " Sorry ya Dir." Suaranya lirih

" Sorry ?? buat apa ?" aku bingung

" Kita gak banyak waktu buat ketemu. Mungkin gue terlalu fokus kerja dan skripsi."

" Dira gak pernah komplain. Selama ini kan Dira mengerti kesibukan Vidi."

" eh bentar lagi gue mau pergi. " sambungnya.

SADIRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang