12

755 99 13
                                        

Johnny terbatuk keras, asap rokok berhamburan keluar dari mulutnya. Tidak hanya itu, perasaannya terkejut bukan main.

Ibunya menendang kaki panjangnya kesal,

"Dia sudah punya pacar." Ujar Johnny mengundang kerutan di dahi ibunya.

"Ooh? Kau sudah kenal Avicena?!" Raut senang terlihat jelas di wajahnya. Johnny mengangguk kecil.

"Tenang saja John, pacarnya itu akan balik ke Kanada." Lanjutnya.

Johnny melebarkan matanya, terkejut untuk yang kedua kalinya.

"Tapi dia pasti tidak akan terima, Avi pasti lebih suka laki-laki yang seumuran dengannya!"

"Avicena tidak akan bisa menolak karena kakaknya. Lagipula mencoba saja belum."

Pada akhirnya Johnny setuju, setitik rasa bersalah menghampirinya, ia tidak tahu apa rasa bersalah itu akan tumbuh semakin besar atau malah menghilang.

Rasa herannya hilang mengapa ia merasa familiar dengan rumah Avicena.

Pusing menghampirinya saat sadar kejadian mendadak ini benar-benar terjadi,  bukan di mimpinya, orang tuanya dan orang tua atau kakak Avi menjodohkan mereka dan menyuruh Johnny untuk segera melamar gadis itu.

Ia tidak tahu bisa dianggap masuk akal atau tidak.

...

Tidak ada yang berbicara, Johnny maupun Avi. Acara lamaran hanya berisi obrolan antara ibunya, kakak laki-laki Avi dan beberapa orang lain yang menghadiri acara kecil-kecilan itu, Johnny bahkan tak peduli siapa saja yang datang.

Terlalu berat untuk mengeluarkan sepatah kata, perutnya terasa mual diisi terlalu banyak rasa bersalah melihat wajah sendu gadis yang terduduk tepat berseberangan darinya.

Lucas yang ikut hadir, dengan ekspresi sulit dijelaskannya tidak juga berani mengajak ngobrol Johnny.

...

"Lalu kenapa kau tetap melamarnya John?!"

Lucas bertanya dengan berapi-api karena benar-benar tak mengerti atas kejadian tempo hari.

"Dia gadis yang kusuka dan aku mendapatkan sebuah kesempatan emas untukku! Apa aku sepenuhnya salah?! Aku bahkan hanya mencoba dan kalau Avi menolaknya, yasudah. Tapi ternyata tidak kan? Aakkhhh."

Jelas Johnny panjang, mengusap kasar wajahnya frustasi.

Dengan tergesa-gesa meraih batangan kecil dan membakarnya.

Johnny kembali membuka kelopak matanya perlahan, tak ingin melewatkan momen kesukaannya di mana asap putih yang terlihat halus itu menguar dari mulutnya dan melewati wajahnya lalu menghilang.

"Yasudah jalani saja, selama kau merasa senang aku akan mendukungmu. Eh hmm tapi jika aku lihat Avicena itu benar-benar terluka..." Lucas terlihat bingung sendiri akan meneruskan kalimatnya.

"Ya aku tahu."

"Yea... dan siapa yang tahu apa yang akan terjadi nanti kan." Lucas menepuk-nepuk pundak lebar Johnny.

Johnny hanya tersenyum kecil sambil mengangguk.

.
.
.

Iris cokelat terangnya bergerak perlahan, menatap pemandangan di sekitarnya yang terlihat tak begitu berbeda dari sebelum-sebelumnya.

Johnny masih sedikit merasa tak percaya, ia akan mengalami kejadian ini sebanyak tiga kali dalam hidupnya. Ia merasa menjadi pria yang sangat brengsek.

Tapi bahkan Johnny sudah bersiap diri jika Avi meminta cerai, Johnny akan langsung menurutinya, dan ini akan menjadi acara pernikahannya yang terakhir.

Tak peduli jika ibunya kembali menjodohkannya lagi meski itu untuk kebaikan dirinya, Johnny bertekad akan menolaknya.

"Kau senang?"

Sebuah pertanyaan membuyarkan lamunannya.

Johnny melirik gadis berbalut dress putih di sebelahnya, lalu berdehem sebelum menjawab.

"Kalau kau bisa merasa senang, aku juga senang, dan sebaliknya."

Avi tertawa pahit mendengar jawaban Johnny, sambil menatap jari-jari rampingnya, yang kini salah satunya dilingkari sebuah cincin putih cantik.

"Aku pikir kejadian berkenalan denganmu di atap gedung waktu itu belum begitu lama..."

Ujar Avi, yang hanya bisa didengar oleh Johnny, kini giliran Johnny yang terkekeh.

"Hei..." Johnny meraih tangan Avi dan menggenggamnya lembut, membuat sang empunya menatap Johnny bingung.

"Aku tahu... tidak seharusnya ini terjadi padamu, jadi setelah ini.... lakukan saja apa yang kau mau, selama itu tidak kelewat batas di mataku." Lanjut Johnny.

"Thanks." Jawab Avi singkat.

...

"Di mana kamarku?"

Tanya Avi, menggenggam erat pegangan kopernya.

"Apa maksudmu?" Johnny balik bertanya, satu alisnya terangkat.

"Aku tanya di mana atau yang mana kamarku?"

"Maksudmu kamar kita-"

"No. Kamarku, kamarku sendiri."

Johnny menghela nafasnya panjang, Avi sadar rahang itu mengeras, gadis itu juga bersusah payah mengumpulkan semua keberaniannya.

"Jangan sampai ibuku tahu kamar kita terpisah." Ucap Johnny dingin sebelum mengantar Avi pada kamarnya yang sebelumnya adalah kamar tamu.

Avi hanya mengangguk kecil, Johnny tidak melakukan apapun walau Avi tahu pria itu marah, tapi sanggup membuat tangannya bergetar saat akan meraih kopernya lagi.

...

"Sudah kubilang aku tidak begitu pintar masak."

Avi memutar bola matanya, melihat Johnny yang terlihat terpaksa menghabiskan makanan buatannya.

"Hanya karena bukan seleraku saja, bukan berarti ini tidak enak juga."

Johnny menggeser mangkuk kosongnya, menatap balik Avi yang malah langsung membuang muka.

"Ya terserah. Tapi lebih baik beli makanan yang sesuai seleramu saja."

.
.
.

TBC~


Another Day - NCT JohnnyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang