Clarity || 1. Aku

7.9K 469 24
                                    

Las Vegas, 10 tahun yang lalu.

Dari balik pintu, aku bersembunyi ketakutan dari para manusia tak berotak yang tengah mengamuk di luar ruangan. Mengintip dari sedikit celah di sana sambil menahan tangis. Terdengar makian dan umpatan kotor dari pria-pria berjas hitam itu memenuhi sepenjuru ruangan. Diriku terkejut bukan main ketika memutuskan untuk melihat dari celah pintu kamarku tadi. Satu hal yang aku tangkap.

Gila. Mereka semua gila, dan yang tengah terjadi saat ini adalah sebuah kegilaan.

Bagaimana aku tak menganggap mereka gila? Dari sini, aku dapat melihat warna merah yang lebih seperti cat tumpah di ruang tamu. Sangat kontras dengan lantai marmer berwarna putih rumahku. Mayat-mayat manusia tak bersalah bergelimpangan di mana-mana, dan mereka seolah menganggap mayat itu hanyalah seonggok sampah yang tak perlu dipedulikan eksistensinya. Mayat-mayat pekerja di rumahku.

Seorang lelaki botak yang tampak sebagai pimpinan memerintah agar anak buahnya untuk mendekat. "Bawa mereka kemari!!!" perintahnya sambil mengacungkan pistol di genggaman tangannya. Aku menahan napas dan semakin bersembunyi, takut ketahuan. Aku melihat dari celah kecil pintu.

Mataku membulat sempurna dan jantungku seolah berhenti berdetak ketika melihat beberapa lelaki itu menyeret dua orang yang sangat aku kenal. Menjatuhkan dua orang itu dengan kasar ke lantai, lalu menendangnya dengan kasar pula.

Ayah dan Ibuku.

Ayah dan Ibuku diseret paksa dengan tali yang mengikat leher dan tangan mereka, dan mereka terlihat kesulitan untuk melawan, bahkan tak bisa bergerak. Aku ingin menghampiri mereka, tapi mereka sempat berpesan padaku sebelum mereka meninggalkanku di kamar, bahwa aku tak boleh keluar dari ruangan ini. Aku tak boleh menampakkan diri pada orang-orang asing di luar. Dan aku harus patuh.

Tak ada ponsel di kamarku dan telepon rumah berada tepat di sofa yang ada di dekat penjahat-penjahat itu, sehingga aku tak dapat menghubungi polisi. Tak mungkin aku keluar dengan lewat jendela, sementara kamarku ada di lantai atas. Semua serasa amat memuakkan dan kepalaku hampir meledak memikirkan cara agar dapat memberi tahu siapapun agar orang-orang jahat itu tak menyakiti Ayah dan Ibuku. Aku berharap Kakak segera datang dari sekolah.

Mataku memanas ketika melihat perut Ayahku ditendang dan Ibuku ditampar. Bahkan, aku dapat melihat air mata Ibu jatuh dan membuat air mataku terjatuh juga. Aku ingin berteriak keras dan memeluk mereka, tapi aku tak bisa. Aku hanya dapat menahan tangis, melihat mereka yang disiksa dari sini.

Aku tak mengerti apa yang terjadi. Tiba-tiba ketika Ibu tengah memberikan obat padaku yang tengah demam, orang-orang asing itu datang. Menggedor rumah dengan kasar, menendang-nendangnya, membuat semua pekerja di rumahku ketakutan, lalu aku medengar teriakan kesakitan yang begitu memilukan, disusul tembakan pistol yang begitu memekakkan telinga. Ketika membuka sedikit celah pintu, yang aku dapati adalah pembantu-pembatu rumahku yang sudah tak bernyawa dengan kepala dan dada berlubang, juga beberapa kepala terpenggal.

"Bos kami lebih menginginkan kalian mati!" Aku mendengar si kepala botak memaki kedua orang tuaku sambil menendang-nendang tubuh Ayah dan Ibu yang sudah tak berdaya. Lilitan dileher mereka seolah mencekik dan aku seolah dapat merasakannya juga.

"Ayah... Ibu..." Ada sesuatu dalam dadaku yang seolah diremas dan wajahku sudah benar-benar banjir air mata. Mati-matian aku menahan isakan tangis dan menahan diri untuk tak berteriak membalas makian mereka. Mereka tak boleh menyakiti Ayah dan Ibuku seperti itu. Tak boleh. Siapapun mereka.

CLARITY [TELAH TERBIT] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang