"Aku mengandung anak Willis."
Seolah disambar pertih di siang bolong, tubuhku rasanya kaku terkena sengatan listrik berkekuatan dahsyat. Bagai dihantam kerasnya beton, mendadak duniaku seolah runtuh begitu saja. Pengakuan yang keluar dari bibir Kayla seolah memukulku telak untuk tersadar bahwa ini adalah dunia nyata, bukanlah mimpi seperti apa yang aku harapkan. Bahkan, semua ini terlalu menyakitkan untuk menjadi mimpi.
Tatapan mataku yang kuyakini kosong menatap lurus wanita di depanku yang kelihatan sama sekali tak merasa bersalah telah mengakui sebuah dosa yang telah ia dan suamiku perbuat. Seolah hanya mengakui kesalahan kecil berupa tak sengaja mengambil makanan ringan orang yang kenyataannya ia mengambil suami orang.
Diriku masih tak mengeluarkan reaksi apa-apa. Agaknya tubuhku masih memproses apa yang sebenarnya terjadi untuk menggerakan setiap inti sel syaraf alat gerakku yang tampaknya masih beku untuk sementara waktu.
"Irene, kau mendengarku?"
"Iya." Akhirnya suaraku keluar. Anehnya tubuh ini masih tenang. Aku tak mengamuk atau mencakar-cakar Kayla seperti apa yang sempat aku bayangkan. Reaksiku terlampau santai seolah telah tahu bahwa semua ini akan terjadi.
"Reaksimu jauh dari ekspektasiku ternyata," ujar Kayla menatapku heran. Jangankan dia, aku saja masih tak mengerti dengan reaksi tubuhku. Masih tetap duduk santai, seolah berbicara dengan seorang kenalan, bukanlah perebut suami orang.
"Menurutmu aku akan bagaimana?" tanyaku datar.
"Menamparku, memakiku, menjambak atau hal lain yang bisa kau lakukan."
"Kau mau aku melakukannya?" tanyaku datar. Kulihat dia terdiam. "Itu semua hanya membuang tenaga. Mau aku seperti itu juga tak akan merubah keadaan. Semua sudah terjadi." Suaraku melemah di akhir kalimat.
Sekarang aku dapat merasakan nyeri yang mulai menjalar di dadaku. Rasa sakit itu mulai terasa menyayat dan kini aku benar-benar tak ingin kembali menangis. Sudah cukup dengan semua airmata yang aku keluarkan selama ini. Sudah cukup dengan setiap malam yang aku habiskan untuk menangisi Willis. Rasanya airmataku telah kering untuk kembali mengeluarkan liquid bening itu kembali.
Aku sudah lelah.
"Irene…" Kayla nampak menjeda ucapannya. Aku sudah bisa menebak kalimat apa yang selanjutnya akan ia keluarkan. "Apa kau bisa melepas Willis untukku?" Pertanyaan itu meluncur dengan begitu mudah dari bibirnya. Seolah ia hanya membicarakan untuk melepas anak anjing peliharaan yang bisa kubeli kembali.
"Melepasnya? Semudah itu kau mengatakan ini?" tanyaku tenang.
"Apa kau masih akan bertahan setelah tahu fakta ini?"
Hening, karena aku tak menjawab pertanyaannya dan hanya menatap lurus ke arah matanya. Dari tatapannya, ia kelihatan frustrasi.
"Aku hamil, Rene. Anak dalam kandunganku butuh Ayah. Aku harus menikah dengan Willis. Aku tak mau anakku lahir tanpa Ayah." Ia berujar dengan mata merah berkaca, menahan airmatanya yang sudah membendung.
Anak? Rasanya aku ingin berteriak di depan wajahnya bahwa aku juga mengandung anak Willis. Anak yang diperoleh dari pernikahan sah dimata hukum dan agama, bukan hasil hubungan gelap seperti dirinya. Tapi, aku tak melakukan itu. Aku tak mau siapapun tahu bahwa aku hamil. Demi keselamatan anakku aku melakukan ini. Karena aku tahu banyak orang yang ingin melenyapkannya, termasuk Willis.
"Lalu kenapa kau melakukan itu dengan lelaki yang jelas-jelas sudah memiliki istri?" tanyaku dengan nada suara yang mulai tak bersahabat.
"Aku mencintainya. Dari dulu hingga saat ini. Dia juga demikian. Seharusnya kau mengerti."
KAMU SEDANG MEMBACA
CLARITY [TELAH TERBIT] ✔
RomanceIrene Valencia adalah namaku. Kisah hidupku bukanlah sebuah kisah percintaan klasik. Willis Hilton berhasil memporak-porandakan seluruh jagat rayaku. Membuatku jatuh terjerembab pada dasar jurang tak berujung. Sayap-sayapku telah patah untuk kembali...