Angin pagi yang berdesir membuatku lebih merapatkan mantel. Terasa dingin dan cukup menusuk karena musim penghujan telah tiba. Aku terdiam di depan rumah sambil menatap seorang lelaki yang kini berdiri di depan mobil sambil mengecek keadaan mobilnya. Memastikan mesinnya baik-baik saja.
Dia Christian, Kakakku. Kami berencana akan pergi ke Boston, rumah Nenek. Kakak ingin bertemu Nenek dan mengkonfirmasi bahwa dia masih hidup. Mungkin ini akan menjadi kejutan luar biasa untuk Nenek.
Aku akan menginap di sana. Selain karena merindukan Nenek, aku juga ingin menenangkan diri untuk sementara dan tak ingin bertemu dengan Willis. Tidak. Aku tidak berniat akan meninggalkannya. Aku hanya ingin menyendiri untuk beberapa hari. Paling untuk tiga hari saja. Aku akan kembali lagi. Aku tak akan meninggalkannya. Aku sudah bersumpah.
Willis benar-benar tak pulang semalam. Bahkan, ia seperti tak ada niatan sama sekali untuk menjelaskan semuanya. Ia seolah tak menganggap bahwa perselingkuhannya yang terungkap itu adalah sebuah masalah besar. Ia menganggapnya hanya angin lalu.
Sekali lagi, aku tak mempermasalahkannya.
Dan untuk masalah aku yang akan pergi ke rumah Nenek, aku sudah meminta izin padanya. Aku sudah mengiriminya sms dan dia membalasnya dengan kata 'iya'. Cukup singkat. Tapi, aku tak apa.
Semalam aku langsung mengiyakan ajakan kakak minggu lalu yang sempat ku tolak. Awalnya aku berniat akan pergi akhir bulan bersama Willis. Tapi, semalam aku langsung menelepon kakak dan mengatakan bahwa aku ingin segera pergi ke rumah Nenek. Aku ingin pergi hari ini.
Untuk sementara, aku hanya tak ingin melihat wajah Willis. Aku takut. Aku takut akan membencinya. Karena aku yakin, ketika aku menatapnya, maka kejadian di kantor ketika ia bercumbu dengan Kayla lah yang akan muncul. Aku benar-benar takut rasa cintaku menjelma menjadi rasa benci dan dendam terhadapnya. Aku tak mau itu terjadi. Aku tak ingin membencinya.
"Mana tasmu?" Pertanyaan Kakak membuatku tersadar dari lamunanku, lalu menatapnya yang kini telah berdiri di depanku dengan senyum cerah.
"Aku hanya membawa tas kecil ini. Pakaianku masih banyak di rumah Nenek," jawabku sambil menunjukkan tasku.
"Oh oke. Willis mana?" Kakak mengarahkan pandangannya pada pintu rumah yang tertutup di belakangku. Aku ikut menoleh dan menghela napas, lalu kembali menatapnya yang menyusuri seluruh penjuru seolah mencari seseorang.
"Willis di kantor," jawabku. Kakak kelihatan megernyit.
"Dia tak ikut?" Pertanyaannya aku jawab dengan gelengan pelan. "Aku belum bertemu dengannya padahal. Pokoknya, aku harus bertemu dengannya setelah pulang dari rumah Nenek."
Benar. Aku memang belum mempertemukan kakak dengan Willis. Setelah keadaan seperti ini, aku harus bagaimana? Aku tidak khawatir dengan Willis. Tapi, aku khawatir pada kakak. Aku takut dia malah berpikir macam-macam karena melihat sikap dingin Willis padaku nanti.
"Iya. Kalian akan bertemu nanti," ujarku.
"Bailah. Ayo berangkat." Kakak berjalan menuju mobilnya dan aku mengikuti dari belakang.
Selama tiga hari ini, kuharap Willis baik-baik saja di rumah sendiri. Aku akan tetap mengkhawatirkannya seolah akan mati jika tak mendengar kabarnya. Meski aku tahu, dia pasti akan baik-baik saja meski tanpaku.
🌹🌹🌹
"Ireeeene!!!"
Aku tersenyum melihat Nenek yang berlari keluar rumah sambil berteriak senang. Ia merentangkan tangannya dan segera memelukku erat. Aku balas memeluknya tak kalah erat dengan senyum mengembang. Rasanya kerinduanku terbayar ketika melihat Nenek sehat-sehat saja dan masih seceria ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
CLARITY [TELAH TERBIT] ✔
RomanceIrene Valencia adalah namaku. Kisah hidupku bukanlah sebuah kisah percintaan klasik. Willis Hilton berhasil memporak-porandakan seluruh jagat rayaku. Membuatku jatuh terjerembab pada dasar jurang tak berujung. Sayap-sayapku telah patah untuk kembali...