Clarity || 15. Berubah

1.9K 187 30
                                    

Rasa makanan terasa hambar di lidah, benar-benar tak terasa pagi ini. Makanan yang seharusnya dapat ku makan dengan lahap, bahkan seolah tak bisa masuk ke tenggorokan. Rasanya sulit, padahal aku hanya tinggal mengunyah, lalu menelannya.

Aku makan dengan tenang tanpa suara di meja makan, berdua dengan Willis yang kini duduk tepat di depanku. Tiga hari berlalu dan komunikasi kami masih baik hingga pagi ini. Aku masih tersenyum seperti biasa, memasak untuknya, menyiapkan keperluannya seperti biasa. Kabar baiknya dia sarapan di rumah pagi ini.

Selepas aku keluar dari kamar mandi malam itu, dia tak bertanya apa-apa. Aku pun langsung memasak makan malam untuk kami berdua. Meski sudah membaca pesan mesra itu, aku sama sekali tak marah padanya. Tidak. Bukan tak marah. Tapi, hanya menahannya saja. Tak ingin ada pertengkaran di antara kami. Aku akan menunggu sampai dia menjelaskan sendiri padaku apa maksud dari pesan itu.

Rasanya tak mungkin seorang Sekretaris memanggis 'sayang' pada bosnya sendiri. Terlebih, yang membuatku sakit hati, dalam pesan itu, Kayla meminta Willis agar menceraikanku untuk membuktikan cintanya.

Aku tak tahu harus bereaksi bagaimana. Aku ingin marah. Aku ingin berkata padanya bahwa aku adalah istri sahnya. Tapi, aku tak mau ada masalah. Maka, aku diam saja. Bukti pesan itu belum cukup akurat. Itu hanya sebuah pesan. Aku ingin bukti nyata. Ah, rasanya kepalaku pusing bila mengingatnya.

"Rene..."

Aku mengangkat kepala untuk menatap Willis yang memanggilku lirih. Entah kenapa ada bagian dalam dadaku yang nyeri saat dia memanggilku dengan namaku seperti itu. Padahal, dulu saat kami masih pacaran, itu hal biasa. Mendadak pagi ini aku jadi lebih sensitif hanya karena sebuah panggilan.

"Iya? Ada apa?" tanyaku diiringi senyum.

"Tak apa. Aku hanya memastikan kau baik-baik saja."

Aku tersenyum paksa dan terkekeh pelan.

Kau tahu aku tak baik-baik saja sebelum kau menjelaskan semuanya.

"Aku baik. Makanlah," ucapku. Willis mengangguk dan kembali melanjutkan makan.

Tiba-tiba aku teringat sesuatu.

"Will?" panggilku pelan. Willis mengalihkan pandangan dari piringnya ke arahku.

"Iya?"

"Emmm... aku ingin segera memiliki anak."

Kulihat Willis berhenti mengunyah makanan. Matanya setajam elangnya menatapku lekat. Bahkan, ia menaruh sendok dan garpunya.

"Kenapa kau ingin segera memiliki anak?" tanyanya datar.

"Apa salah jika seorang wanita yang sudah bersuami ingin segera hamil?" Aku bertanya balik, berusaha sabar menghadapinya yang mendadak dingin.

"Tidak."

"Kau bagaimana?" tanyaku. Aku sudah menghentikan acara makanku sejak tadi, dan kini lebih memilih menatap lekat padanya.

Willis terdiam sejenak sebelum menjawab,"aku belum siap."

Aku mengernyit mendegar jawabannya. Lantas aku bertanya, "kau belum siap?"

"Ya. Aku belum mau menjadi Ayah."

"Tapi kau bilang sewaktu kita-"

"Itu sudah berlalu. Sekarang, aku belum siap."

Kulihat tatapannya datar tak berekspresi. Ada apa dengannya? Dia berubah dengan cepat. Belum ada satu tahun dia mengucapkan bahwa ingin segera memiliki keturunan dan sekarang dia malah berkata belum siap. Apa ini alasannya ia selalu memakai pengaman ketika kami berhubungan suami istri?

CLARITY [TELAH TERBIT] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang