Hari-hari yang paling aku nanti-nanti seumur hidupku akhirnya tiba juga. Hari dimana aku akan disunting menjadi istri seseorang. Hari dimana aku akan menyerahkan jiwa dan ragaku untuknya. Menemaninya menjalani sisa hidup, melengkapi kekurangannya, meringankan beban yang dipikulnya, menjaga hati hanya untuknya.
Tampak seperti mimpi. Kini, hari itu telah tiba. Aku benar-benar akan menikah dengan pria yang aku cinta. Pria yang dari dulu selalu aku impikan akan menjadi teman hidupku. Pria yang aku cinta dari dulu hingga nanti ajal memisahkan kami. Willis Hilton.
Aku masih tak dapat percaya, kini aku berdiri dengan gaun pengantin yang sudah melekat ditubuhku dan memegang buket bunga, menatap Willis yang berdiri di atas altar menungguku. Dari jarak sejauh ini, ketampanannya benar-benar membuatku terpesona. Senyum cerahnya menyilaukan mata. Aku dibuat jatuh cinta untuk kesekian kalinya.
Musik yang lembut dan tatapan dari para undangan mengiringi langkah kakiku yang sebenarnya gemetar setengah mati. Langkahku pelan, namun pasti. Mataku tak lepas darinya. Aku tak peduli meski Egi sepertinya tersenyum jahil padaku. Aku hanya menatap lurus ke depan. Ke arah mata Willis yang menatapku dengan tatapan memujanya.
Aku tersenyum semanis mungkin ke arahnya, seolah memberi tahu perasaan yang bergemuruh di dadaku. Rasa bahagia membuncah yang tak dapat didekskripsikan dengan kata-kata.
Ketika aku sampai di hadapannya, Willis tersenyum menerima uluran tanganku. Aku terkekeh pelan melihat keringat dingin yang mengalir di keningnya. Meski dia terlihat baik-baik saja, aku tahu dia juga menahan debaran di dadanya yang seolah akan membuatnya mati berdiri. Maka, aku ulurkan tanganku untuk menghapus keringat di keningnya sambil tersenyum hangat. Dia nampak agak terkejut, namun akhirnya tersenyum. Aku tak peduli dengan tawa kecil dari para undangan.
"Kau manusia?" Willis berbisik pelan di telingaku, yang membuatku menatapnya kesal. Jika aku bukan manusia, lalu apa?
"Bukan bidadari?" Ketika mendengar kelanjutannya, aku dibuat terkekeh pelan.
Aku alihkan pandangan ke arah tamu undangan. Banyak rekan kerjaku dan juga Willis yang hadir. Ada murid-muridku. Ada kelurga Klause juga. Ibu dan ayah Klause nampak tersenyum hangat ke arahku, apalagi Egi yang sedari tadi malah kelihatan lebih bahagia daripada aku sendiri. Ketika melihat ke arah Klause, aku mendapatinya yang hanya menatap kosong entah kemana. Saat sadar bahwa aku menatapnya, dia tersenyum. Ah, aku melukainya lagi.
Suara dari pendeta menginterupsi, membuatku menoleh. Ketika ditanya apakah aku dan Willis sudah siap, kami segera mengangguk. Meski seluruh tubuh bergetar dan rasanya aku nyaris pingsan. Kini, tiba saatnya kami akan mengucapkan sumpah janji sehidup semati. Saat yang ditunggu-tunggu.
"Saya, Willis Hilton menerima Irene Valencia untuk menjadi istri saya, untuk memiliki dan menerima, mulai hari ini dan seterusnya, dalam suka dan duka, kaya maupun miskin, sakit dan sehat, untuk saling menyayangi dan menghargai, hingga maut memisahkan."
Mataku tak lepas darinya ketika dia mengucapkan sumpahnya dengan lantang. Matanya berbinar, menatapku dengan penuh cinta. Seolah mengatakan akulah pelabuhan terakhirnya. Bahwa akulah yang akan menjadi wanita satu-satunya di dalam hidupnya. Airmataku menggenang.
Dengan bibir bergetar, aku mengucapkan sumpahku pula. "Saya, Irene Valencia menerima Willis Hilton untuk menjadi suami saya, untuk memiliki dan menerima, mulai hari ini dan seterusnya, dalam suka dan duka, kaya maupun miskin, sakit dan sehat, untuk saling menyayangi dan menghargai, hingga maut memisahkan."
KAMU SEDANG MEMBACA
CLARITY [TELAH TERBIT] ✔
RomanceIrene Valencia adalah namaku. Kisah hidupku bukanlah sebuah kisah percintaan klasik. Willis Hilton berhasil memporak-porandakan seluruh jagat rayaku. Membuatku jatuh terjerembab pada dasar jurang tak berujung. Sayap-sayapku telah patah untuk kembali...