Clarity || 3. Pengakuan Cinta

4.8K 325 18
                                    

"WHAT THE HELL!!!"

Aku menjauhkan ponselku dari telinga ketika teriakan keras di seberang sana membuat telingaku berdengung untuk sesaat.

"Kau bisa tidak, tak usah berteriak seperti itu?" tanyaku kesal sambil mengusap telinga.

"Are you kidding me, Irene?" Suara gadis di seberang sana nampak masih tak percaya dengan apa yang baru saja aku utarakan.

"I'm so serious, Egi," jawabku malas. Aku meraih segelas minuman starbuck di mejaku sebelum akhirnya duduk. Kebetulan ruang Guru sedang kosong, karena sedang mengajar jam pertama. Dan aku yang pada dasarnya bisa datang nanti, memilih datang lebih awal karena sungguh tak ingin berlama-lama di rumah. Aku hanya ingin menjernihkan pikiran dengan mengajar. Setidaknya, melihat wajah murid-muridku untuk sejenak bisa membantu mengurangi stres yang melanda. Meski wajah mereka tidak ada imut-imutnya.

"Kau dijodohkan dengan Klause? Kakakku? Yang benar saja." Regina masih tak percaya. Aku heran saja, ternyata dia tak tahu mengenai ini. Jangan-jangan ini hanya rencana Nenek semata, dan Klause juga tak tahu dan malah menurut saja karena terlalu sayang pada Nenek.

"Aku juga tak percaya. Tapi, Nenek sudah menjelaskan padaku tadi malam. Katanya Klause setuju untuk menikah denganku."

"Oh Lord, aku masih belum dapat membayangkan."

"Aku tahu, aku tak pantas untuk Kakakmu yang sempurna."

"Bukan itu. Kau kan punya Willis. Lagian, Kakakku itu sangat terkenal di kalangan wanita di Jerman sana. Mana mungkin dia masih sendiri dengan tampang seperti itu? Tambah lagi dia sudah mapan dan berpenghasilan. Dia sepantaran dengan Willis. Willis saja sudah memilikimu, kan?"

"Ya, aku juga berpikir dia sudah memiliki kekasih. Tidak mungkin lelaki seperti dia masih lajang. Setidaknya pasti dia punya wanita yang disukai." Aku meraih minumanku, kemudian menyedotnya sambil meyandarkan punggungku pada sandaran kursi.

"Nah, itu kau tahu. Masa kau mau membuang Willis begitu saja?"

"Tentu tidak. Gila saja, aku mencintainya sama seperti mencintai diriku sendiri. Mana mungkin aku melepasnya begitu saja?"

"So, kau akan menolak perjodohan itu, kan?"

"Tentu, awalnya. Tapi, Nenek memaksa. Aku tak dapat berkutik. Ini juga sudah dibicarakan dengan Ayahmu." Aku menundukkan kepala sedih, menatap sepatu hitamku yang warnanya amat kontras dengan lantai putih yang dipijakku saat ini.

"Astaga, jadi bagaimana?"

"Aku bilang akan menjalaninya dulu. Nanti malam, aku akan pergi dengan Klause," ujarku sambil mengingat percakapanku dengan Nenek semalam. Dia memintaku untuk menjalani terlebih dahulu. Jadi, aku mengiyakan.

Terdengar helaan napas dari seberang. Aku tahu, Egi memikirkan perasaanku dan tentu juga kakaknya. Aku hanya berharap, Klause mau diajak bersekongkol untuk menggagalkan perjodohan ini. Semoga saja.

"Baiklah. Pilihan ada padamu." Aku tersenyum mendengarnya.

"Oke, maaf mengganggu dengan meneleponmu," ucapku merasa bersalah. Aku mendengar kekehan pelannya.

"Ah, tidak. Murid-muridku anteng-anteng saja kok."

"Hah? Jadi kau sedang mengajar? Jangan bilang tadi kau berteriak di kelas, tepat di depan murid-muridmu."

"Hehehe, ya itu memang benar." Aku geleng-geleng kepala mendengar jawabannya.

"Apa mereka tak bertanya kau kenapa?"

CLARITY [TELAH TERBIT] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang