Sebenarnya, masalah dalam hidup ini akan terasa ringan jika kita mau menerima dan menjalaninya saja sesuai alur yang telah ditentukan Tuhan. Jika dilihat-lihat, semua terasa berat jika kita terus berkeluh kesah. Jalan terbaik hanyalah jalani saja semuanya. Seperti halnya yang terjadi padaku saat ini.
Kadang aku berpikir, betapa beruntungnya hidup orang-orang yang tidak sepertiku. Aku yatim. Tak memiliki Ayah Ibu. Tapi sekarang aku sadar. Setiap manusia memiliki masalah mereka masing-masing. Akan ada fasenya mereka berada di titik terbawah dan juga ada fasenya mereka naik ke atas.
Hidup itu seperti roda, right?
Usia kandunganku sudah menginjak angka 3 bulan lebih, hampir 4 bulan. Dan selama itu aku belum memberi tahu Willis. Lagian, perutku juga belum membesar. Hanya sedikit lebih gemuk saja. Dan masih belum ada niatan dalam hatiku untuk memberi tahu keberadaan makhluk kecil dalam perutku ini. Berita yang menurutku bahagia bisa saja menjadi buruk di matanya. Aku hanya takut dia tak menerimanya.
Mungkin istri lain akan bersikap dingin atau bahkan tak akan lagi melayani suami mereka yang sudah ketahuan selingkuh. Jangankan melayani, menatap wajah mereka saja tidak sudi. Ya, itu seharusnya juga terjadi padaku. Sayangnya tidak. Aku juga bingung dengan diriku sendiri. Entah kekuatan darimana aku masih dapat melayani Willis dengan sedemikian baik seolah dia adalah suami paling sempurna di dunia. Membuatnya seolah menjadi Raja-yang nyatanya dia memang Raja di hatiku- sementara aku budaknya. Bukan pemilik hatinya. Ya, budak cintanya.
Terdengar gila ketika aku memutuskan untuk tetap bertahan di sisinya sementara dia sudah menyakitiku sedemikian parah dan sudah memiliki tambatan hati lain. Ku anggap aku sudah hilang akal sehat. Tapi bukankah kadang wanita memang lebih memilih bertahan di sisi lelaki yang sudah menyakitinya berulang hanya demi satu alasan? Yaitu kenyamanan. Juga, rasa bencinya tak sebanding dengan rasa cintanya.
Istilahnya, aku sudah tahu bahwa dia adalah bara api. Tapi aku nekat berada di sekitarnya. Aku tahu bahwa dia adalah ujung sebuah pisau tajam yang dapat melukaiku. Tapi aku nekat menggenggamnya erat. Cinta kadang sebodoh itu.
Langit yang biasanya jingga di ufuk barat efek matahari akan terbenam kini menjadi gelap tertutup awan, pertanda akan segera turun hujan. Aku yang baru keluar dari gedung sekolah lantas mendesah pelan karena tak membawa payung dan harus menunggu taksi di halte seorang diri.
Aku bersyukur adik bayi di dalam perutku tidak rewel meski aku bekerja hingga sore. Ya, pekerjaanku kan tidak berat. Hanya sekedar duduk dan mengajar. Lagian aku suka melihat wajah murid-muridku. Dapat menghilangkan stres.
Tiba-tiba sebuah mobil berhenti tepat di depanku ketika aku berdiri di depan gerbang sekolah. Sepertinya aku kenal mobil ini. Benar saja. Kulihat seorang pria yang amat kukenal kini tengah melambai dengan senyum khas dari balik kaca mobilnya. Ia segera keluar dan kini berdiri di hadapanku.
"Hai, Irene? Apa kabar? Kau lebih berisi ya sekarang." Evan tertawa pelan sambil melihat penampilanku dari atas ke bawah. "Sepertinya sehat sekali." Ia kembali tertawa.
Jelas saja, kan aku berbadan dua. Batinku dalam hati.
"Hai juga, Evan. Aku baik dan mungkin aku memang sering makan tengah malam akhir-akhir ini," jawabku sambil tersenyum ke arahnya, namun diiringi delikan tajam. Seolah marah, tapi aku hanya ingin bercanda.
"Santai saja, Nyonya. Kau tetap cantik meskipun berat badanmu tambah naik. Hahaha." Evan terlihat menyusuri sepenjuru sekolah, seolah mencari seseorang. "Egi mana?" Benar saja. Dia pasti mencari pujaan hatinya.
"Masih di dalam," jawabku sambil membenarkan letak tas.
"Dengan si sipit itu?" tanya Evan mendadak mengeluarkan ekspresi tak suka.
KAMU SEDANG MEMBACA
CLARITY [TELAH TERBIT] ✔
RomanceIrene Valencia adalah namaku. Kisah hidupku bukanlah sebuah kisah percintaan klasik. Willis Hilton berhasil memporak-porandakan seluruh jagat rayaku. Membuatku jatuh terjerembab pada dasar jurang tak berujung. Sayap-sayapku telah patah untuk kembali...