Makan siang. Perutku rasanya sudah sangat lapar dan berbunyi sedari tadi. Makan di kantin sekolah tak nyaman untukku. Selain karena menjadi pusat perhatian murid laki-laki, juga tak ada teman. Mendadak Egi menghilang. Dia hanya pamit padaku bahwa akan pergi bersama Ben. Entah kemana. Evan sedang ke luar Kota, pantas dia mau diajak Ben. Kalau Evan ada, sudah dipastikan ia lebih memilih jalan dengan Evan.
Ini sudah waktunya pulang untukku, tapi Egi tak ada. Terpaksa aku harus bejalan ke halte seorang diri untuk menunggu kendaraan umum. Willis tak bisa menjemputku. Sudah dipastikan dia sangat sibuk. Semoga ia tak melupakan makan siangnya. Aku tak mau dia sakit.
Kini, aku berdiri di depan gerbang sekolah sambil mendengus mengingat sahabatku yang malah pergi pacaran itu. Ya, anggap saja dia pacaran dengan Ben meski sebenarnya tidak.
Tiba-tiba sebuah mobil hitam berhenti tepat di depanku, membuatku mengernyit heran menatap mobil itu. Aku pernah melihatnya. Kaca mobil terbuka dan benar tebakanku. Itu mobil milik Klause yang pernah dipakai menjemput Egi waktu itu.
"Hai, Irene?" sapa Klause sambil tersenyum.
"Hai?" Aku menyapa balik.
Mata Klause terlihat menelusuri ke dalam sekolah, membuatku ikut menoleh ke dalam. Banyak anak-anak didikku yang berseliweran. Aku kembali menatap Klause. Dia kelihatan seperti sedang mencari seseorang.
"Kau mencari siapa?" tanyaku. Klause mengarahkan pandanganya ke arahku.
"Regina. Dia belum pulang?"
"Eh? Egi pulang duluan."
"Dengan siapa?"
"Ben."
"Astaga, anak itu." Klause tersungut-sungut. Pasti Egi tak memberi tahu kakaknya bahwa ia pergi dengan Ben.
"Kau mau menjemput Egi?"
"Iya. Ah sudahlah kalau dia sudah pulang." Dari ekspresinya, Klause kelihatan masih sebal. Tapi, akhirnya ia tersenyum ke arahku. "Kau pulang dengan siapa?"
"Aku akan menunggu taksi," jawabku.
"Willis tak jemput?"
"Dia bekerja."
"Ayo naik. Aku antar."
"Tidak usah. Aku naik taksi saja."
"Tidak usah membuang-buang uang. Lagian, aku sedang senggang. Tidak banyak pasien hari ini." Klause menyengir ke arahku, memperlihatkan gigi putihnya yang berjejer rapi.
"Baiklah."
Benar juga katanya. Aku juga malas untuk menunggu taksi. Jadi, aku segera masuk ke mobilnya dan duduk di kursi sebelahnya.
"Sudah jam makan siang. Mau makan dulu?" tawar Klause.
"Ah tidak, aku-"
KRIUK.
Ah sial. Perutku malah berbunyi. Aku memang benar-benar sudah lapar. Tapi, tidak mau merepotkan Klause. Klause melirik ke arah perutku dan dia tertawa pelan, membuatku menyengir malu.
"Oke, kita makan terlebih dahulu sebelum pulang." Klause memutuskan.
Ia mulai menghidupkan mesin mobilnya dan menjalankannya. Memecah jalanan kota yang lumayan ramai di siang hari ini.
Tak selang beberapa menit perjalanan, mobil berhenti di depan sebuah kaffe. Aku dan Klause turun dari mobil, lalu masuk ke kaffe itu untuk makan siang seperti katanya tadi.
Ketika sampai di dalam, aku langsung memilih duduk di salah satu meja dekat jendela, tempat favoritku ketika ke kaffe atau restaurant. Aku mengambil duduk, sementara Klause memesan makanan. Dia tak perlu bertanya apa yang mau aku makan. Dia sudah sangat hapal apa yang akan aku pesan. Klause sudah mengenalku sejak kecil, dan sepertinya dia tak melupakan apa yang aku suka.
KAMU SEDANG MEMBACA
CLARITY [TELAH TERBIT] ✔
RomanceIrene Valencia adalah namaku. Kisah hidupku bukanlah sebuah kisah percintaan klasik. Willis Hilton berhasil memporak-porandakan seluruh jagat rayaku. Membuatku jatuh terjerembab pada dasar jurang tak berujung. Sayap-sayapku telah patah untuk kembali...