Clarity || 14. Orang Asing

1.7K 181 23
                                    

"Pagi, Bu?"

"Pagi."

"Pagi, Bu Irene yang cantik?"

"Pagi juga."

Aku berjalan menyusuri koridor sekolah dengan santai sambil sesekali menjawab sapaan murid-muridku ketika berpapasan diiringi senyum manis. Meski tak jarang ada murid laki-laki yang menggoda, tapi aku tak mempedulikannya. Semuanya masih dalam taraf wajar.

Masih pagi. Tapi, koridor sekolah sudah mulai ramai. Dari kejauhan, kulihat Ben yang sedang memegang sapu sambil melotot ke arah tiga murid laki-laki dengan penampilan urakan ala begundal jalanan. Pasti sedang Ben tegur.

Aku berjalan mendekati mereka. Ketika sampai, Ben masih sibuk menceramahi tiga siswa di hadapannya itu. "Kalian ini kalau sudah dewasa nanti mau menjadi apa? Copet? Berandal jalanan? Bintang Rock? Penampilan urakan seperti ini mau belajar? Tidak pantas. Kalian ini di sekolah ini dididik untuk rapi dan mematuhi aturan yang berlaku. Kalian ini ingin dididik menjadi orang yang disiplin. Tapi, rasanya susah sekali hanya untuk berpenampilan selayaknya murid biasa. Malah lebih memilih tampil compang-camping seperti gembel. Ingin dijadikan lebih tampan dengan tampil rapi, malah tidak mau."

Ya begitulah Ben. Meski tampangnya cute, tapi Ben ini guru yang disiplin. Tidak bisa melihat kejanggalan pada seragam siswa dan siswinya sedikit saja. Apalagi yang parah seperti ini, pasti dia akan mengamuk.Tidak ada kata telat dalam kamusnya. 'Waktu adalah uang' itu adalah pegangangnya.

Aku menatap tiga siswa itu. Pantas saja Ben sangat marah. Penampilan mereka benar-benar tak bisa disebut siswa. Celana super ketat, tidak ada dasi, tidak ada almameter, kancing dibuka, pakai kalung dan tindik yang memenuhi telinga, kemeja mereka juga digulung dan sepatu yang warnanya berbeda dari ketentuan yang sudah ditetapkan. Seperti akan tawuran saja. Aku geleng-geleng kepala.

Murid-murid jaman sekarang memang suka bereksperimen. Bukan bereksperimen dalam hal kebaikan untuk dirinya dan yang lain, malah melanggar pertaturan yang sudah ditetapkan dengan seenak jidat mereka.

"Sekarang, kalian lari keliling lapangan 100 kali tanpa sepatu. Sepatu dan aksesoris kalian saya sita sampai waktu yang tidak ditentukan. Kalau perlu saya buang." ucap Ben mutlak.

"Jangan, Pak!" Anak-anak itu berteriak serempak. "Kami janji tidak akan mengulangi."

"Saya kenyang makan janji-janji palsu. Kalian sudah berjanji entah yang keberapa puluh kali, tapi tetap diulangi lagi. Sudah sana lari!"

"100 banyak sekali. Lapangan sekolah ini luas, pak," keluh salah satu siswa di antara tiga siswa itu.

"Kalau mengeluh, saya tambah 50 lagi. Jadi 150."

"Jangan, Pak. Tapi-"

"200."

"Baik Pak, Baik. 100 oke. Kami akan lari 100 putaran. Tapi-"

"SEKARANG!!!

"SIAP!!!" Tiga siswa itu segera berlari terbirit tanpa alas kaki usai menjawab bentakan Ben dengan reflek.

Suara Ben nyaring. Aku saja sampai terperanjat. Selain menjadi Guru BK, Ben ini juga Guru Seni Music. Jadi, jangan heran jika nada tingginya luar biasa. Luar biasa membuat telinga bengkak maksudnya. Tapi aslinya, suaranya sangat merdu.

"Pagi, Irene?" Wajah Ben kembali ceria seperti biasa. Berbanding terbalik dengan wajah garagnya tadi. Aku tersenyum membalasnya.

"Pagi, Ben."

"Bagaimana pagimu?" tanya Ben sambil melangkah duluan di depanku. Sedangkan aku berjalan di belakangnya.

"Pagiku baik. Tapi, tidak denganmu sepertinya," ucapku terkekeh pelan.

CLARITY [TELAH TERBIT] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang