Clarity || 16. Air Mata

1.9K 187 21
                                    

Air mata terus meleleh melewati pipiku tanpa bisa aku cegah. Sedari terbangun, aku terus menangis mengingat kejadian tadi malam. Aku duduk meringkuk di atas ranjang sambil menangis sesenggukan dan merapatkan selimut yang menutupi tubuh polosku.

Rasa perih masih aku rasakan di bagian bawah. Seluruh tubuhku rasanya remuk. Bahkan, untuk bangkit dari tidur tadi saja, rasanya sangat sakit seperti baru di hantam mobil.

Aku melirik ke arah Willis yang masih tertidur dengan damai di sampingku, nampak tak terusik sama sekali. Wajahnya polos, seperti bayi. Berbanding terbalik dengannya tadi malam yang menatap tajam ke arahku. Kuusap air mataku kasar. Entah mengapa, dadaku rasanya sesak sekali.

Melihat dia tertidur seperti ini, aku jadi ingat kejadian semalam. Dia begitu kasar. Berbeda dari Willis yang ku kenal. Bahkan, dia berani menamparku. 23 tahun aku hidup, tak ada satupun orang yang berani melayangkan tangan untuk memukulku. Tak ada satupun. Nenek sekalipun. Dan selama kami saling kenal, tidak satu kalipun dia bersikap kasar padaku. Berciuman pun tidak pernah sekasar itu.

Airmataku masih terus meleleh dan aku merutuki kecengenganku ini. Mengingat bahwa yang mengantar Willis adalah Kayla, dadaku semakin nyeri. Aku tak bisa bernapas. Hatiku sakit.

Aku tak mau percaya akan apa yang aku pikirkan. Aku tak mau percaya dengan tebakanku sendiri. Aku tak mau percaya bahwa Willis selingkuh.

Ku singkap selimut, lalu kucoba untuk bangkit. "Akh!" Aku meringis menahan sakit di daerah kewanitaanku.

Dengan susah payah aku turun dari ranjang. Aku memungut pakaian-pakaianku dan Willis yang berserekan di lantai. Setelah selesai, aku berjalan dengan langkah tertatih menuju kamar mandi. Ketika telah sampai, aku berdiri di depan cermin wastaffel.

Aku menghela napas. Seluruh tubuhku penuh dengan bekas gigitan. Apalagi leher dan dada. Semua masih merah, bahkan mengeluarkan darah. Sudut bibirku juga luka dengan darah yang sudah mengering. Airmataku kembali menetes. Aku tak pernah merasa hina. Dan kali ini, meski Willis adalah suamiku sendiri, aku merasa sangat sakit hati.

Dia memperkosaku dengan paksa.

"K-kenapa kau m-menyakitiku seperti ini hiks."

Bibirku bergetar. Rasa sakit yang aku rasakan di seluruh tubuh sama sekali tak berarti apa-apa dibanding sakit hatiku. Perih dadaku menjalar ke seluruh inti syaraf, membuat tubuhku sangat lemas. Aku tak mampu berdiri.

Aku segera masuk dalam bath-up. Kembali meringis menahan perih ketika luka-lukaku menyentuh air. Aku berendam di bath-up sambil memeluk lututku dan menangis dibalik lipatan tangan.

"Nek, aku merindukanmu." Dan airmataku tumpah. Aku menyebut nama Nenek berulang kali berharap dia ada di sini dan mengelus punggungku. Membisikkan kata-kata penenang, bahwa semua akan baik-baik saja.

"I'm gonna be okay. Everything will be okay, Irene." Mantra itulah yang terus aku rapal. Sambil memegang dada, berusaha menahan sakit yang menghentak-hentak luar bisa.

Beberapa menit ku habiskan di kamar mandi dengan menangis. Setelah merasa cukup, aku memutuskan untuk keluar. Aku membalut tubuhku dengan handuk dengan hati-hati, karena luka-lukaku masih perih. Ku buka pintu kamar mandi, mataku terhenti pada sosok Willis yang sudah duduk di ranjang dengan mata mengarah ke padaku.

Aku menunduk, memutuskan untuk bersikap biasa. Aku berjalan menuju ranjang, namun rasanya sangat sulit. Aku tak bisa berjalan dengan benar. Willis kelihatan masih diam di ranjang menatapku. Beberapa langkah, aku hendak ambruk. Namun dengan sigap, Willis segera bangkit dan menahan tubuhku.

Aku tak mau mengangkat kepala karena aku tak mau bersitatap dengan matanya. Karena ketika menatapnya, aku kembali mengingat tatapan tajamnya yang menusuk tadi malam ketika bertindak kasar padaku.

CLARITY [TELAH TERBIT] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang