Dua minggu telah kulalui. Semua terlihat baik-baik saja di luar, seolah tak ada masalah. Aku dan Willis bersikap biasa, seperti tak terjadi apa-apa di antara kami. Semua kewajibanku sebagai seorang istri masih kujalani. Dan perlahan, aku mulai terbiasa dengan sifat dingin Willis.
Selama dua minggu ini, aku tak pernah mempermasalahkannya yang pulang malam atau bahkan tak pulang. Aku juga tak masalah dengan dia yang lebih memilih makan di luar daripada masakanku, atau yang tak pernah mau menatapku dan selalu membuang muka. Entah dia terlalu jijik atau apa. Tapi, aku tak pernah mendebatnya akan hal itu. Aku hanya tak mau memicu pertengkaran. Lebih baik aku yang mengalah.
Dan lagi masalah anak. Setiap aku menyinggung masalah itu, pasti akan berakhir dengan kemarahannya. Dia begitu menentang jika aku hamil. Aku tak mengerti. Apa dia sudah tak mencintaiku? Apa rasa cintanya pudar dengan secepat itu?
Tak pernah ada percakapan yang berarti di antara kami akhir-akhir ini meski kami serumah dan masih tidur di ranjang yang sama. Hanya sekedar percakapan biasa yang luar bisa singkat. Tapi, lagi-lagi aku tak masalah. Aku sudah bahagia mendengar suaranya meski amat singkat.
Kami masih berhubungan suami istri layaknya pasangan seperti biasa. Aku selalu melayaninya. Aku tak pernah menolak ketika dia meminta. Itu sudah kewajibanku sebagai seorang istri. Semarah apapun aku padanya, kewajiban tetaplah kewajiban bagiku. Dan lagi, aku memang tak pernah marah padanya.
Willis masih mengantarku ke sekolah seperti biasa. Meski ia sudah tak sarapan di rumah, aku masih bersyukur dia masih mau mengantarku. Memastikan aku sampai ke tempat kerjaku dengan selamat.
"Ayo." Sambil berucap dingin, Willis berjalan mendahuluiku yang berdiri di dekat sofa. Aku tersenyum menguatkan diriku sendiri sebelum akhirnya melangkah mengikutinya.
Ya, hanya sabatas itulah suaranya. Selama dua minggu, tak pernah kudengar kalimat panjang darinya. Hanya sepatah kata dan itupun dengan nada dingin pula.
Apakah ini masih bisa dikatakan bahwa rumah tangga kami baik-baik saja?
🌹🌹🌹
Aku duduk di salah satu meja kaffe, berhadapan dengan seorang pria yang wajahnya amat berbinar cerah di pagi ini. Christian Dixon, kakakku. Pria yang baru aku temui dua minggu lalu.
Aku benar-benar dibuat tak percaya saat itu. Mendapati kakakku masih hidup dan menghirup udara yang sama denganku. 10 tahun kami berpisah dan semua orang menganggapnya sudah mati. Tapi, tidak denganku. Aku percaya kakakku masih hidup.
Dan untuk masalah nama, dulu namaku Irene Dixon. Tapi, semenjak tinggal dengan Nenek, aku tak lagi memakai marga Ayahku. Aku memakai marga Nenek, yaitu Valencia. Aku tak tahu menahu mengapa Nenek mengubah margaku.
Well, aku tak mengajar hari ini karena sekolah dipulangkan. Aku tak tahu ada apa. Intinya, kepala sekolah memulangkan seluruh murid dan para guru. Kebetulan ini masih pukul 7 pagi. Tadi, saat aku baru tiba di sekolah dan hendak duduk, tiba-tiba Kepala Sekolah datang dan menyuruh para guru pulang. Jadi, sekarang aku berada di sini.
"Cita-citamu berubah. Dulu, kau ingin menjadi model. Kenapa sekarang menjadi polisi? Jauh sekali," ujarku pada kakak.
Kakakku ini sekarang menjadi seorang detektif handal di kepolisian. Aku tak mengerti kenapa sangat berbanding terbalik dengan cita-citanya di masa lalu. Kakakku tinggi dan tampan. Dia sudah menjadi model sejak dari SMA dulu. Sekarang, dia banting stir menjadi seorang detektif.
Kakak sempat terkekeh pelan sebelum menjawab. "Aku punya alasan untuk itu," jawabnya. "Dan ini semua masih seperti mimpi."
"Aku rasanya benar-benar tak percaya bahwa kau masih hidup." Ya, benar. Aku sempat tak percaya dengan apa yang aku lihat.
KAMU SEDANG MEMBACA
CLARITY [TELAH TERBIT] ✔
Storie d'amoreIrene Valencia adalah namaku. Kisah hidupku bukanlah sebuah kisah percintaan klasik. Willis Hilton berhasil memporak-porandakan seluruh jagat rayaku. Membuatku jatuh terjerembab pada dasar jurang tak berujung. Sayap-sayapku telah patah untuk kembali...