Ketika membuka mata, hal pertama yang menyapa indera penglihatanku adalah cahaya silau yang berasal dari jendela. Mataku menyipit dan mengedip beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya yang seolah hendak menerobos retina mataku. Pelan, aku mulai merasakan nyeri di seluruh tubuh dan sakit yang mulai menyerang kepala.
Ku arahkan tangan ke kepala dan aku sadar bahwa kepalaku dibalut pereban. Saat mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru, aku mengernyit kala mendapati ruangan bernuansa putih yang amat asing. Dan ketika sadar bahwa ada selang yang menyumbat hidung dan menghias tanganku, aku akhirnya mengerti. Ini Rumah Sakit.
Ah, kepalaku rasanya berputar ketika berusaha mengingat apa yang terjadi sebelum aku terbaring di sini. Pertemuan dengan keluarga Klause, bertengkar dengan Nenek, kabur dari rumah, mengendara dengan keadaan marah sambil menangis, lalu aku tak ingat lagi. Pastinya aku kecelakaan.
Aku meraih selang di hidungku, kemudian melepasnya. Merasa tak nyaman. Meski seluruh tubuhku rasanya benar-benar sakit, aku berusaha bangkit. Namun, belum sempat duduk, sebuah pekikan dari arah pintu membuatku urung.
"ASTAGA!!! IRENE!!!"
Aku menoleh dan mendapati seorang gadis yang baru saja masuk ke dalam ruangan ssmbil berteriak histeris. Egi. Dia berdiri di ambang pintu dengan ekspresi seperti baru melihat sebuah barang mahal yang telah lama ia cari-cari. Terkejut sekaligus senang mungkin. Terbukti, kini dia berlari ke arahku dan langsung memelukku erat.
"Irene, kau sadar? Ya ampun, aku sangat khawatir." Dari nada suaranya, aku tahu bahwa dia sangat mencemaskanku.
"Egi, bisa lepas pelukanmu? Aku sesak," ujarku. Egi langsung melepas pelukannya, lalu tersenyum ke arahku dengan pelupuk mata basah. Dia menangis.
"Hei, kau menangis?" tanyaku sambil menatapnya. Egi yang berdiri di samping ranjang, mengusap air matanya.
"Jelas. Aku takut kau kenapa-napa. Seharusnya kau tak pergi dalam keadaan emosi seperti itu."
Aku hanya terkekeh pelan. Egi lucu. Hidungnya merah. Mungkin, dia telah menangisiku sejak aku masuk rumah sakit. Aku tak bermaksud membuatnya khawatir. Tidak untuk siapapun. Dan Nenek… ah ya, Nenek.
"Nenek…" Aku berusaha bangkit, namun Egi menahanku dan membuatku berbaring kembali.
"Sebentar. Dia tadi sedang di luar dengan Kak Klause. Kau berbaring saja. Jangan banyak gerak."
"Klause? Dia di sini? Jangan bilang orang tuamu juga."
"Jelas. Kau kira aku ke sini dengan siapa? Kau membuat semua orang kalang kabut. Nenek sampai pingsan."
"Nenek?" kagetku dengan mata membulat.
"Sudahlah tenang. Dia tak apa sekarang."
Bagaimana bisa aku membuat Nenek pingsan? Dia memiliki lemah jantung. Ah, karena tingkah bodohku, bukan hanya akan kehilangan nyawa sendiri. Tapi, juga akan membunuh Nenek secara tak langsung. Apa yang aku pikirkan saat itu?
CEKLEK.
Pintu terbuka. Wajah Klause yang nampak berbinar yang pertama ku lihat. Setelahnya, aku mengembangkan senyum ketika Nenek berlari ke arahku dengan wajah bahagianya.
"Sayang, kau sudah sadar?" Nenek berhambur memelukku. Aku balas memeluknya meski sulit dengan posisiku yang berbaring dan juga seluruh tubuh yang nyeri.
"Ma'afkan Nenek. Nenek tak bermaksud, sayang. Ma'af, Nak. Nenek tak akan mengulanginya lagi. Ma'af." Nenek melepas pelukan dan kulihat matanya basah. Aku membuat Nenek menangis.
"Tidak, Nek. Ini bukan salah Nenek. Aku yang salah karena tidak mendengarkan Nenek. Nenek pingsan gara-gara aku." Aku juga ikut menangis. Aku merasa sangat bersalah.
KAMU SEDANG MEMBACA
CLARITY [TELAH TERBIT] ✔
RomansaIrene Valencia adalah namaku. Kisah hidupku bukanlah sebuah kisah percintaan klasik. Willis Hilton berhasil memporak-porandakan seluruh jagat rayaku. Membuatku jatuh terjerembab pada dasar jurang tak berujung. Sayap-sayapku telah patah untuk kembali...