Bagian 20 : Salah Paham

19K 854 26
                                    

"Sakit hati itu seperti luka di punggung, kita bisa menutupnya sendiri, tapi luka itu tidak tertutup sempurna. Kita membutuhkan tangan lain, menuntun tangan kita untuk menutup luka itu dengan sempurna."

***

Beby mengedarkan pandangannya yang masih sedikit buram tersebut. Suasana putih, dan bau obat-obatan tercium, dia yakin bahwa dia sekarang berada di UKS. Matanya bertemu Rival yang sedang terduduk diam, saat guru mereka, yaitu bu Titik sedang memotong rambutnya sedikit demi sedikit. Jangan lupa, kantong asoy besar berwarna putih, yang diikat di leher Rival untuk rambutnya nanti.

"By? Kamu udah sadar?" tanya Rival khawatir.

Tumben ni bocah nggak manggil gue ‘Beb', batin Beby.

"Kamu jangan gerak-gerak, Rival, apa mau rambutmu sekalian Ibu botakin?" geram bu Titik, masih dengan menipiskan rambut Rival secara abstrak.

Sedangkan Rival, tidak menggubris perkataan bu Titik. Rival sudah tidak peduli dengan rambutnya. Pikirannya sekarang, hanya ada Beby. Bu Titik pun cukup kewalahan dengan sikap Rival yang kekanakan. Dia mau rambutnya dipotong, asalkan bu Titik memotongnya di UKS. Alasannya, Rival mau menunggu Beby, sampai dia sadar. Memang, si Rival suka mengada-ada.

"Mana yang sakit? Kepala? Mau aku pijatin?" tanya Rival, masih dengan raut wajah khawatirnya.

Sekhawatir itukah dia? Bahkan, nyokap-bokap gue nggak akan peduli, batin Beby sambil menatap lekat Rival.

"By?" panggil Rival, membubarkan lamunan Beby.

"Eh, em, gue udah nggak pa-pa," kata Beby cuek, Beby memilih menatap langit-langit UKS.

Pikirannya berkecamuk, sungguh dia tidak ingin merusak ketulusan Rival. Dia pun tak berdaya, hatinya masih terisi oleh sosok yang lain. Dan Beby jujur mengakuinya, jika ia pun mulai tertarik dengan Rival.

"Nah, sudah, Ibu sudah memberi batas untuk rambut kamu. Jangan dipanjangin lagi nih rambut, kayak banci lampu merah kamu," kata bu Titik sambil sedikit membersihkan rambut Rival yang mengenai celana kulot hitamnya.

"Ibu tau banget sih, suka mangkal juga, ya?" kata Rival asal.

Pletak!

"Aw."

"Kamu ini kurang ajar banget, ya, saya ini guru kamu. Rambut kamu juga lengket banget kayak adonan pempek," celetuk bu Titik.

"Ibu mah gitu, nggak tau fashion anak muda zaman sekarang. Yang taunya cuma adonan pempek, masih gaulan bunda aku loh, Bu," ucap Rival.

"Kalo dibilangin aja, jawab kamu, ya! Mau saya adukan dengan bundamu? Biar kamu diomelin sekalian," ancam bu Titik.

"..." Tidak ada jawaban dari Rival.

"Kenapa diam? Abis baterai kamu? Jawab! Mau Ibu adukan dengan bundamu kalo kamu tiap hari buat ulah melulu?" geram bu Titik.

"Memang, ya, cowok selalu salah, dan cewek selalu benar. Ibu maunya apa, sih? Tadi nggak boleh jawab, sekarang dipaksa suruh jawab. Aku serbah salah loh, Bu! Rival tuh nggak bisa diginiin," kata Rival dramatis.

Beby memilih memejamkan matanya, dibanding melihat drama yang ada di depannya ini. Fisiknya capek, dan batinnya pun ikut-ikutan capek. Bukannya sembuh, ia malah mendapat tekanan di UKS.

"Udahlah, Ibu capek debat sama kamu, Ibu mau ke kantor," kata bu Titik, lalu pergi meninggalkan Rival dan Beby di UKS.

"Yee, padahal ‘kan dia yang ngajak debat," gumam Rival, sedikit mencibir bu Titik.

Rival menoleh ke arah Beby, menatap lekat Beby yang sedang memejamkan matanya, sungguh pesona dari seorang Beby tidak bisa ditolak. Merasa keadaan sudah tenang, Beby membuka matanya, dan melihat Rival yang sedang menatapnya dengan senyum manisnya.

"Kenapa?" tanya Beby dengan sedikit menaikkan sebelah alisnya.

"Cantik."

"Nggak usah mulai deh, kepala gue pusing," kesal Beby.

"Nambah cantik deh, kalo lagi kesel," goda Rival dengan sesekali mencolek dagu Beby.

"Gue serius!!"

"Cie, yang udah ngajak serius, tunggu aku sukses, ya, Beb. Entar aku bawa orang tua aku buat minta restu ke orang tua kamu," kata Rival mantap.

"

Stres."

***

"Ayo sini, aku bantu," kata Rival, lalu membantu memapah Beby ke kamarnya.

Dengan segala cara, akhirnya Rival bisa membujuk Beby supaya mau istirahat di rumah. Dan dengan segala cara pula, dia meyakinkan bu Titik untuk mengizinkan dia mengantar Beby pulang ke rumah, menggunakan mobil sekolah.

Flashback on

"Ayolah, Bu, cuma sampe bebeb bocan di kamarnya," bujuk Rival.

"bocan?" tanya bu Titik bingung.

"Bobo cantik gitu, Bu, ya elah, Bu, hidup di tahun berapa, sih," kata Rival santai.

"Kamu hina saya?" tanya bu Titik sedikit berteriak.

"Kata-kata saya nggak ada unsur menghina, ya, Bu," jawab Rival santai.

"Huff ... pokoknya, nggak boleh, biar sopir dari sekolah yang mengantar Beby. Tidak ada jaminannya juga jika kamu akan kembali ke sekolah, Rival," tolak bu Titik.

"Ayolah, Bu, saya ini pacarnya Beby loh, calon mantu pemilik sekolah loh, Bu. Ibu mau dimarahi pemilik sekolah karena camannya (calon mantu) nggak dibolehin nganter pulang ca'is?" ucap Rival sambil mengerjapkan matanya.

"Kamu ngancam saya?" geram bu Titik.

"Loh, siapa yang ngancam Ibu. Pengin banget gitu Ibu saya ancam?" goda Rival.

Bu Titik memijat pelipisnya pelan, mengembuskan napas berat. Sungguh, berdebat dengan Rival sama seperti merokok. Membunuhmu.

"Huff, ya udah, kamu boleh antar Beby. Tapi, syaratnya kamu harus sudah di sekolah dalam waktu tiga puluh menit." Keputusan bu Titik.

"Tiga puluh menit? Ibu pikir, rumah Beby di kantin? Ya, nggak cukup waktunya, Ibu. Tiga puluh menit cuma sampe pertigaan deket halte. Saya mapah orang sakit loh, Bu, bukan mapah Hulk yang nggak pa-pa kalo dibanting," ucap Rival.

"Ya udah, satu jam." Keputusan mutlak bu Titik.

"Ya, Bu, in—"

"Satu jam, atau tidak sama sekali!" Keputusan bu Titik memotong protes yang ingin dilontarkan oleh Rival.

"Ya udah, deh, makasih, Ibu Titik cuantik ... aku pergi dulu, ya, Bu, jangan kangen."

Dengan cepat, Rival ngacir keluar ruangan bu Titik, sebelum bencana besar terjadi.

Astagfirullah, ya Allah, gini banget nyari duit, batin bu Titik sambil mengelus dadanya sabar.

Flashback off

"Aw," ringis Beby, saat jari-jari kaki kirinya
menyandung tangga.

"Pelan-pelan, Beb."

"Lo tuh dari tadi ngelamunin apaan, sih? Sampe sampe jalan gue kayak gini!" kesal Beby.

"Ya, maap, Beb, aku lagi mikirin masa depan kita ...," ucap Rival. Mereka sudah sampai di depan pintu kamar Beby, perlahan Rival membuka pintu itu, lalu memapah Beby untuk berjalan ke kasurnya.

"Ngomong-ngomong, kamu mau punya anak berapa nanti?" tanya Rival santai.

Beby membulatkan matanya, mendengar pertanyaan ngawur Rival. Spontan saja, Beby langsung mendorong Rival sampai terjungkal ke belakang. Refleks, sungguh Beby hanya refleks. Lagian ini semua salah Rival, kenapa ia menanyakan hal seperti itu di saat keadaan seperti ini.

"Aduh ...," ringis Rival sambil mengusap pantatnya.

Sedetik kemudian, tubuh Rival menegang, dan wajahnya yang awalnya penuh dengan kekonyolan, berubah seketika menjadi dingin.

Apa gue dorongnya terlalu kuat ya? Kok dia diam aja sih, batin Beby, saat Rival masih terdiam, dan belum beranjak dari tempat terjatuhnya dia.

"Em, maaf," ucap Beby merasa bersalah.

Sedetik kemudian, Rival sadar dari lamunannya, berdiri menghadap Beby. Rival mengusap kepala Beby pelan, masih dengan wajah datarnya. Hal itu semakin membuat Beby merasa bersalah.

"Nggak pa-pa, kamu istirahat aja. Aku balik ke sekolah," ucap Rival, lalu pergi tanpa mendengarkan jawaban dari Beby.

Rival kenapa sih? batin Beby penasaran.

***

My Ice Girl (Hello Princess)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang