16. Beautiful -KJW

244 27 4
                                    

Aku rindu.

Aku merindukanmu.

Apa kamu dapat mendengarnya?

Hatiku berteriak memanggil namamu.

Kalau aku punya kesempatan, aku ingin sekali bertemu denganmu.

Menanyakan kabarmu disana.

Aku rindu,

Aku rindu,

Aku rindu sekali.

Aku ingin memelukmu erat, mendekapmu, seperti dahulu.

Sekarang, aku hanya bisa melihat langit malam bertabur bintang, dengan pemandangan bulan yang indah. Tanpamu.

"Permisi?" Suara yang tak asing ditelingaku membuatku menoleh.

Seorang gadis cantik berdiri di belakangku, dengan rambut sebahu yang digerai, membiarkan angin malam menyelip ke sela-sela uraian rambutnya.

Matanya cantik, struktur wajahnya juga demikian. Ia tersenyum ke arahku, lalu berkata, "bolehkah aku duduk disitu? Tempat duduk lain sudah terisi semua."

"Tentu," jawabku ramah lalu menggeser sedikit tubuhku ke pinggir agar ia dapat duduk di kursi panjang ini, ikut menikmati suasana di malam hari di taman kota.

Ia mendudukkan diri, ia juga meletakkan tas selempangnya di samping kirinya, sebagai sekat kecil antara kita.

"Terimakasih. Siapa namamu?" tanyanya lagi.

"Aku Jungwoo. Kamu?"

"Erina."

Dia tersenyum kecil kearahku sebelum kembali memandang langit bertabur bintang itu.

Aku ikut tersenyum, dia cantik, ramah, dan baik. Itu penglihatanku.

"Aku suka," celetukku asal, membuatnya menoleh kearahku. "Aku suka hal-hal cantik."

"Ya, langit malam ini memang cantik," balasnya.

"Bukan, aku suka denganmu," jelasku.

"Tapi kita baru berkenalan lima menit yang lalu, Tuan."

"Tapi aku suka. Kupikir kita akan bertemu lagi."

.
.
.

Siang hari itu aku pergi ke cafe yang biasa aku kunjungi. Memesan segelas Frappuccino untuk diriku sendiri, atau mungkin dengan dia?

"Mau pesan-- Jungwoo-ssi?" katanya dengan nada terkejut setengah tidak percaya.

Aku hanya tersenyum kecil. "Tidak disangka, ya, ucapanku benar terjadi, Erina."

Dia terkekeh.

Hari itu kami memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama, kami berjalan-jalan, mengobrol, sampai bermain beberapa permainan di mall.

Aku merasa bahagia. Kupikir begitu juga dengan Erina.

.
.
.

"Aku menyukaimu. Aku benar-benar suka," kataku lagi. Aku menyatakan perasaanku setelah dua minggu sejak aku mengutarakan perasaanku yang pertama kalinya.

She said, "yes. Me too."

Aku bahagia. Aku bahagia sekali. Aku merasa sebagai orang yang paling bahagia di bumi, ketika aku berhasil mendapatkan hatinya.

.
.
.

"Jungwoo, aku senang bisa mengenalmu, bersamamu seperti ini," katanya dan memainkan jemari tanganku.

Kepalanya yang menyandar di bahuku membuatku nyaman dan ikut menindih kepala kecilnya dengan kepalaku.

"Aku ingin kita bisa terus seperti ini." Kataku dan menggenggam erat tangannya. "Jangan pernah tinggalkan aku."

"Tidak. Aku tidak akan meninggalkanmu. Aku sudah terlalu nyaman denganmu, Jungwoo," ucapnya halus. Aku bisa merasakan ketulusan ucapannya itu.

Kulonggarkan genggaman tanganku, kini posisi dudukku jadi menghadap kearahnya. Aku memeluknya. Aku memeluknya erat, seperti tidak ingin kulepas.

.
.
.

Dua tahun berlalu, aku memutuskan menikah dengan Erina.

"I, Jungwoo Kim, take you, Erina Lee, for my lawful wife, to have and to hold from this day forward, for better, for worse, for richer, for poorer, in sickness and health, until death do us part."

Kupikir pernikahan kita akan berjalan sesuai ekspektasiku.

Hidup bahagia dengan keluarga kecil yang kalian punya, itu mimpi semua orang bukan?

Tapi siapa yang menyangka takdir sedang tidak memihakku.

Kami mengalami kecelakaan besar saat perjalanan pulang.

Semuanya meninggal, begitu pula Istriku, Erina. Namun, kenapa Tuhan masih memberiku hidup ketika yang lain bertemu kematiannya?

Dress putih itu bersimbah darah, begitu pula jas putih milikku.

Wajah cantik Erina yang mulanya terdandan indah kini penuh oleh luka-luka akibat pecahan kaca mobil.

Air mataku mengucur, aku menangis sebisanya. Aku tidak bisa menerima kenyataan pahit seperti ini.

.
.
.

Korek api yang kunyalakan telah padam. Aku kembali menangis.

Aku merindukannya. Erina-ku.

Hanya korek api pemberian seorang misterius itu yang dapat mengembalikanku pada masa lalu saat aku bersama Erina.

Disini, aku berdiri didepan gundukan tanah dengan sebuah batu nisan bertuliskan nama Erina Lee.

Aku meletakkan bunga tulip warna kuning kesukaannya. Aku berjongkok, mengusap lembut batu nisan itu.

Dadaku sesak setiap kali mengingat kejadian lima tahun lalu. Aku tersenyum getir menahan tangisku.

Tidak, aku tidak boleh sedih, seperti yang kamu ucapkan Erina.

Tapi aku rindu sekali denganmu.

Haruskah aku kembali disaat kita bertemu di taman kota dulu lagi, Sayang?

Aku kembali mengambil korek 'ajaib' itu.

Aku menyalakannya lagi.






-FIN-









A/N:
Inspired by:
-Film 'Tomorrow I'll date with Yesterday You'
-Drakor MIMI

Once Upon A Time ●NCTxWayVTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang