Chap. 2 : Awal Tangan Kanan

1K 117 53
                                    

Goo, dengan seragam putih abu-abunya berjalan melewati genangan-genangan air yang terkapar di jalan. Cuaca hari ini mendung, membuatnya tak terlalu berkeringat ketika harus pulang dengan berjalan kaki. Datang dan kembali hanya dengan mengandalkan tulang keringnya adalah hal yang biasa. Sejak lulus SMP, jadwal ayahnya, Pak Fedra, semakin padat saja untuk menafkahi keluarga dengan menjabat sebagai Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM).

Ketika sampai di depan perumahannya dengan tulisan BEAUTIFUL PALM yang terpampang besar di kiri jalan, Goo berjalan sedikit menunduk karena angin mulai kencang. Tanpa ia sadari, seorang pria dengan jaket abu bertopi tengah melangkah di depannya.

"Aduh." Goo menyenggol tangan kanan pria itu.

Dia akhirnya mendongak. Tetapi terlambat, karena si pria sudah berlalu kembali tanpa menatapnya.

Siapa sih itu, pikirnya.

Saat akan melanjutkan perjalanan, dilihatnya secarik kertas yang tergeletak di depannya. Tanpa pikir panjang, Goo langsung mengambil kertas itu dan mengantonginya.

**********

Delvian menghapus bercak darah yang menempel di sarung tangan putihnya. Matanya menatap nanar dan kasihan pada seorang pria yang sudah meninggal digiring dengan ranjang menuju ruangan pembersihan mayit. Ada rasa penyesalan di dada, karena telah gagal menyelamatkan pasiennya itu.

Perlahan dia lepaskan sarung tangan beserta pakaian operasinya. Penyakit arteri jantung koroner yang merusak jantung pasiennya sudah benar-benar parah, dan akhirnya perlu jalan pembedahan untuk mengakhirinya. Tetapi ternyata, jalan akhir untuk akhir kehidupan.

Delvian berjalan linglung ke ruang kerjanya. Tak menyapa siapa pun rekan yang dilewatinya. Sedih ... apakah kegagalan operasi hingga menghilangkan nyawa pasien adalah kesalahannya? Apa dalam arti lain, dialah pembunuhnya? Pikiran Delvian begitu kacau. Hingga duduk di depan meja kerjanya ditemani udara AC yang dingin, pikiran Delvian masih berkecamuk.

"Aakh ... kenapa jadi begini?" Delvian mengacak rambutnya sendiri.

Ini pertama kalinya ia gagal operasi sejak mulai bekerja. Nyawa seseorang baginya sangatlah berharga. Ilmu dan amalan yang ia dapat selama bersekolah di kedokteran, membuatnya meyayangkan kehidupan siapa pun, tak peduli bagaimana sifat orang itu.

"Aku harus datang berbelasungkawa ke rumah keluarganya. Ya ... itu benar."

Ia menghapus bulir-bulir air matanya dan beranjak menuju keluarga pasien. Tetapi, saat baru saja membuka pintu, asistennya datang.

"Ada apa?"

"A—ada pasien darurat!"

Mata Delvian melebar, "Di mana?"

Asisten yang berpakaian putih-putih itu segera berlari menuju tempat sang pasien. Delvian mengikuti dari belakang.

"Di sana, Dok!" Asisten itu berhenti dan menunjuk ke salah satu kamar dengan batas-batas korden di UGD.

Delvian mengangguk, dan dengan cepat masuk ke kamar itu karena tak ingin melakukan hal yang sama dengan pasien sebelumnya. Tetapi saat berada di dalam, tak ada seorang pun yang terbaring di ranjang rumah sakit.

Delvian mengernyit ketika menemukan selembar kertas yang dilipat dua di atas ranjang, "Apa ini?"

Bersamaan saat Delvian akan membukanya, asisten pria berkacamata itu menyusul masuk. Delvian cepat-cepat menyembunyikan lembaran itu di balik jas dokternya.

"Loh, pasiennya ke mana?" terlihat raut kebingungan di wajah asisten itu.

"Kamu tidak bohong kan, kalau ada pasien di sini?"

Who's Next [H I A T U S]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang